Ia lantas membuang muka. Melanjutkan kembali makannya. Tidak mau menatapku lagi.
Namun semenjak hari itu aku memiliki keyakinan adanya ikatan batin yang erat diantara kami berdua. Saling mencintai, kokoh tak tergoyahkan. Kendati kami sama-sama punya hambatan untuk mengekspresikan perasaan tersebut.
***
Masa remaja pun tiba. Kakak yang introvert lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Senang membaca novel. Sementara aku lebih memilih menjalin kekariban bersama teman-teman sebaya dengan berbagai aktivitas di luar. Piknik, menghadiri pesta muda-mudi atau nongkrong di warung makan.
Satu-satunya aktivitas yang kami lakukan bersama adalah pergi ke bioskop. Menikmati filem mandarin: kisah drama percintaan atau silat. Biasanya setelah kedua orangtua yang nonton pertunjukan sore pulang. Bila filem yang ditonton dinilai bagus - tidak mengandung unsur sexual atau kekerasan - ibu akan memperbolehkan kami menyaksikan pertunjukan jam berikutnya. Maka dengan bersemangat kami berdua naik becak menuju bioskop Nusantara.
Berbeda dengan kakak, aku sangat impresif menikmati alur cerita maupun akting para tokoh dalam filem yang barusan kami tonton. Sepanjang perjalanan pulang kuungkapkan kesan maupun kritikku. Seperti biasa selalu dengan intonasi tinggi dan emosional. Sayang aku seperti berbicara kepada angin, tidak bergaung. Sesekali ia memandangiku yang asyik berceloteh. Lalu kembali mengalihkan tatapannya ke jalanan. Tidak menanggapi. Walau ia juga tidak menegurku.
Tak terasa waktu terus bergulir. Tiba saatnya bagi kami untuk berpisah. Karena aku harus pindah ke Bandung untuk kuliah. Larut dalam berbagai kesibukan aku jarang berkomunikasi dengannya.
Suatu ketika dalam liburan semester aku pulang. Diberi kejutan oleh ibu yang secara tiba-tiba menanyakan sosok salah satu teman mainku ketika SMP.
“Menurutmu orangnya gimana? Aku bermaksud menjodohkan dia dengan kakakmu.”
Aku bengong. Kuanggap ini hal yang aneh. Selama ini pemuda yang dia maksud lebih banyak mencariku ketika datang ke rumah. Aku tidak pernah melihatnya berkomunikasi dengan kakak. Ayahnya sudah meninggal. Sesekali ia datang ke rumah guna membeli barang dagangan ayah untuk dijajakan ke desa-desa sekitar kota kami. Waktu itu usaha ayahku sudah berkembang tambah besar.
“Ibunya juga sudah setuju,” kata ibu dengan antusias.