Ia tak menggubris omonganku. Membuatku yakin atas tekadnya untuk pergi.
Dengan tubuh gemetar aku lari ke kamar. Mengambil satu-satunya barang berharga yang kumiliki di bawah tumpukan baju. Itu adalah cincin kesayangan yang dihiasi mahkota batu berbentuk Aprikot berwarna merah. Aku membelinya dengan kumpulan angpao serta uang jajanku selama beberapa tahun.
Bergegas aku lari menghampirinya. Menyusupkan barang itu ke genggamannya.
“Kau bisa menjualnya bila kepepet uang,” kataku dengan mata berkaca-kaca.
Miris dan kekuatiran memenuhi benakku. Karena aku tahu betul kondisi keuangan kakakku. Semenjak mogok tidak mau sekolah ketika kelas empat SD karena sering mendapat perundungan teman-temannya, ia tidak pernah lagi diberi uang saku oleh ibu. Sehari-hari ia rajin mengumpulkan peti kayu bekas kemasan barang, kardus dan koran. Lalu menjualnya ke pengepul barang rongsok. Kurasa uangnya tidak banyak. Tidak akan mampu membiayai hidupnya kalau pergi dari rumah. Namun aku tidak mampu mencegahnya.
Jadi dalam keremangan fajar aku pergi mengiringinya hingga ke ujung gang. Ia memanggil becak. Melambai kepadaku seraya berjanji akan menyurati ku bila sudah sampai tujuan. Tapi ia tidak mau menyebut tujuannya kemana.
Demikianlah aku menyaksikan becak itu menjauh hingga akhirnya lenyap ditelan kabut pagi yang basah dan dingin.
Peristiwa itu terjadi tatkala aku duduk di kelas lima SD. Kususuri jalan lengang di kotaku yang sangat kuakrabi liku-liku maupun sudutnya dengan limbung.
Aku berharap becak yang dinaiki kakak tiba-tiba bannya meletus. Atau bis yang dia tumpangi mogok. Apapun jadi, asal kakak tidak jadi pergi. Sayang hari itu tetap berjalan bersama rutinitasnya. Tidak membawa perubahan apapun terhadap keberlangsungan hidup keluargaku.
Siang setiba dari sekolah aku masuk ke kamarnya yang terbuka dan lengang. Lantainya nampak mengkilap karena terlalu sering dipel. Sangat berbeda dengan kondisi rumah secara keseluruhan yang kasar dan kusam, karena seluruh lantainya masih terbuat dari tegel berbahan semen.
Ku telungkupkan tubuhku di lantai yang dingin. Menumpahkan rasa kehilangan itu dalam isak yang tertahan. Hari itu aku disadarkan oleh kenyataan yang menyakitkan, bahwa aku ternyata begitu membutuhkan dan merindukan kakak yang selama ini sering kuabaikan kehadirannya.