Aku punya firasat kali ini kepergiannya bukan hal biasa lagi. Ia benar-benar pergi tanpa berniat pulang lagi. Pergi atas kemauan sendiri. Bukan diculik atau dibawa paksa.
Itu kusimpulkan dari jejak-jejak yang ia tinggalkan. Rupanya sebelum pergi ia masih ingin meninggalkan kesan baik untukku dengan menyelesaikan pekerjaan rumahtangga yang sekian tahun ia abaikan. Ia tidak meninggalkan secarik pesan untukku atau ayah. Pergi begitu saja!
Kali ini aku sungguh tidak siap menghadapi kenyataan sedramatis itu. Kujatuhkan diriku di lantai dengan tubuh gemetar. Menumpahkan isak tangisku sendirian.
Aku masih duduk  meringkuk di pojok kamar antara sadar dan tidak tatkala merasakan seseorang mengangkat tubuhku dan memelukku dengan tubuhnya yang gemetar. Hari sudah gelap. Namun dari bau tubuhnya yang asam aku tahu dia ayahku.
Ayahku yang pendiam tidak tahu bagaimana menghiburku. Ia hanya membalut tubuhku dengan tubuhnya yang pipih begitu lama. Tubuh yang gemetar menguarkan hawa panas karena timbunan kemarahan yang tak bisa diledakkan.
"Kita akan saling mengatasinya bersama," bisiknya berulang kali.
Dalam kegelapan malam itulah kucermati wajah lelahnya. Wajah lelaki paling tidak bahagia bersama istri yang tidak pernah mencintainya.
Samar-samar teringat beberapa hari lalu sebelum berangkat berjudi ibu mengatakan kepadaku.
"Ibarat permainan gaplek ayahmu itu itu seperti kartu tengah. Kita terjepit tanpa tahu akan menang atau kalah. Begitu membosankan!"
Jadi selama ini ibu menganggap kehidupan perkawinannya hanya sebagai arena perjudian. Bila ia menganggap ayah sebagai kartu tengah lantas baginya aku ini kartu apa?
Pertanyaan ini terus menghantui hidupku hingga dewasa.
Sepergi ibu aku menderita demam. Ayah terpaksa tidak bisa pergi ke toko kakek demi merawatku. Kami terjebak dalam kebisuan yang memedihkan sebagai orang-orang yang diterlantarkan oleh orang yang paling kita cintai.Â