Seorang pendendang berkostum seronok dan atraktif tampil di panggung. Diiringi organ tunggal ia mendendangkan lagi-lagu melayu sambil berjoget. Salah satu tangannya mengocok tabung  kaleng berisi kumpulan koin berisi angka 1 sampai 90.  Menimbulkan bunyi nyaring cring ..... cring yang menciptakan harmoni dengan dendangnya yang berirama cepat dan riang.  Tabung lantas ia letakkan di meja. Mengambil sebuah koin yang ditunjukkannya ke pengunjung.
"Syamsudin anak Minang tinggal di rumah gadang..... punya itik 35 jumlahnya...."
Atau "Mari berdendang sambil berlaga..... 86 dicoret saja...."
Pengunjung tidak boleh lengah untuk mencoret angka yang didendangkan dan mungkin tertera di kupon masing-masing . Bila satu baris yang berisi lima angka berhasil tercoret maka ia berhak mendapat hadiah yang sudah ditunjukkan lewat slide di awal permainan. Atau menukarnya dengan uang yang jumlahnya sesuai nilai barang tersebut setelah dipotong 20%.
Aku tidak tahu berapa banyak  ibu menang setiap berkunjung. Yang jelas ia jadi kecanduan. Hampir tiap malam pergi ke sana. Mengabaikan larangan ayah.  Ia akan berangkat sekitar jam enam sore. Pulang tengah malam.
Semenjak kecil aku begitu takut kegelapan. Daripada ditinggal sendirian di rumah aku terpaksa sering ikut pergi dengan ibu. Padahal tidak bisa masuk ke arena permainan KIM yang terlarang bagi anak-anak di bawah usia tujuh belas tahun. Kami baru tiba di rumah setelah ayah lelap tertidur.
Tiap malam aku pergi bersama ibu sambil membawa buku pelajaran atau PR yang harus dikumpulkan esok . Jadi mirip berangkat sekolah minus seragam. Ibu sengaja menjejalkan cukup banyak uang ke saku jaketku agar tidak merecokinya.Â
Menyuruhku menikmati sarana bermain yang tersedia di sana sendirian. Kalau lapar aku juga bisa membeli  bolang-baling, donat, martabak telur atau bola kapas. Setelah lelah bermain aku duduk di muka tenda permainan KIM untuk mengerjakan tugas sekolah.
Mula-mula aku sangat bersemangat menikmati kemeriahan pasar malam. Namun menjelang tengah malam aku menjadi letih, bosan dan mengantuk.
Anak-anak mulai digiring pulang orangtua masing-masing. Komedi putar serta kereta api mainan dan bianglala dimatikan. Penjual makanan juga menutup dagangannya dan mendorong gerobaknya meninggalkan arena. Suasana menjadi hening dan gelap. Tinggal aku satu-satunya anak yang masih bertahan di situ. Sementara tenda permainan Kim  tetap benderang dan meriah suasananya. Dipenuhi para pengunjung yang mayoritas kaum ibu yang asyik mencoret angka sambil menikmati lagu.
Sambil berjongkok atau meringkuk di depan tenda yang dijaga petugas berseragam hansip aku menunggui ibu yang menempati bangku tepat di depan panggung. Jauh dari jangkauan penglihatanku.