Melihat keadaanku yang nelangsa sang hansip tidak tega. Ia masuk ke tenda. Mengambil kursi dibagian belakang yang sudah mulai kosong. Menjejerkan tiga  kursi agar cukup panjang menampung tubuhku. Menyuruhku tidur di situ seraya berjanji akan membangunkanku bila ibu sudah selesai berjudi. Dalam waktu singkat aku jadi akrab dengan sang hansip yang sesekali mengamatiku mengerjakan PR. Rupanya ia juga akrab dengan ibu, karena bila menang sering memberinya tip.      Â
Kegilaan ibu terhadap judi KIM membuatnya menjalin persahabatan dengan cukong pasar malam tersebut serta beberapa orang crewnya. Mereka terdiri dari orang-orang perantauan asal Medan atau Pematang Siantar. Â Rata-rata fasih berbahasa mandarin. Â
Penampilan mereka keren dan royal walaupun tutur katanya mencerminkan orang yang berpendidikan rendah. Kasar dan tak tertata. Tapi orang semacam ini justru cocok dengan ibu.
Mereka bekerja mengawasi operasional pasar malam hingga menjelang pergantian hari. Namun kalau siang menganggur. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk bertandang ke rumah sambil membawa bir dan beragam lauk serta camilan.Â
Yang jelas ketika aku pulang dari sekolah  mereka biasanya sudah pergi. Aku hanya menyaksikan jejaknya berupa ceceran puntung rokok di lantai serta tumpukan botol bir di keranjang sampah. Serta sisa-sisa lauk yang kusantap untuk makan siangku.
Sejak kehadiran mereka sikap ibu makin berubah. Ia yang biasanya pemurung terlihat sangat antusias dan riang menyambut tibanya senja agar bisa segera pergi ke pasar malam.
Kini aku terjebak dalam situasi yang makin memburuk. Ibu sama sekali tidak punya waktu bagi keluarga. Aku selalu menjumpai meja makan kosong dan keadaan rumah berantakan setiba dari sekolah. Lama-lama aku menyiasatinya dengan menumpang makan siang di rumah kakek sebelum pulang. Jaraknya hanya sekitar dua ratus meter dari tempat tinggal kami.
Di sana bakal tersaji beragam lauk masakan nenek yang selalu enak dan kukangeni. Kelahapanku menyantap masakannya dijadikan alasan nenek untuk mengumpat ibu sebagai menantu yang payah. Tidak mau memasak sehingga cucunya kekurangan makan.Â
Tidak bisa mengurus suami maupun anak. Itulah salah satu faktor pemicu rusaknya hubungan keduanya. Bukannya memperbaiki keadaan, ibu menyikapi hal tersebut dengan menjauhi sang mertua. Bertahun-tahun ia tidak mau menginjakkan kakinya di rumah kakek. Termasuk tahun baru Imlek. Â Â
Hari paling mengerikan dalam hidupku tiba suatu siang. Sepulangku dari sekolah. Tidak seperti biasa pintu rumah dalam keadaan terbuka. Dengan mudah aku masuk guna mendapati suasana yang tidak lazim. Rumah tampak terlalu bersih dan rapi. Lantai sudah dipel bersih. Di dapur tidak kudapati piring dan wajan yang berserakan di bak cuci. Pakaian kotor sudah tidak ada. Juga jemuran  nampak kosong. Semua pakaian sudah tertumpuk rapi di meja setrika.
Di meja makan di bawah tudung saji kutemukan sepiring nasi goreng dengan sebutir telor ceplok. Khas masakan ibu, yaitu tidak berbumbu. Cukup dibubuhi garam dan kecap manis. Ia sengaja menyiapkan itu untuk makan siangku.
Aku menjadi panik tatkala masuk ke kamarnya mendapati tempat tidur dalam keadaan sangat tertata namun isi lemari pakaiannya justru kosong. Termasuk kopor kulit yang seingatku sudah berada di atas lemari itu semenjak aku lahir tidak lagi berada di sana.Â