Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sorga di Bawah Kaki Ibu

21 Juni 2022   06:30 Diperbarui: 21 Juni 2022   19:32 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kelompok inilah yang dijadikan sasaran tembak ibuku untuk mencari tambahan penghasilan.

Kini selesai memasak dan berbenah ia punya kesibukan baru berkunjung ke rumah salah satu nyonya taipan ini. Memberi kursus gratis main Mahyong, Ceki, Remi atau Qiu-Qui.  Aku ditinggal sendiri di rumah hingga menjelang petang.

Untuk memancing minat calon korbannya ibu sengaja memberi umpan kemenangan kecil kepada mereka. Terutama tatkala ia menjadi bandar dalam permainan qiu-qiu. Dari sinilah minat mereka untuk berjudi dibina.
Ibuku bukan wanita biasa. Meskipun hanya mengenyam bangku pendidikan sampai kelas dua SD tapi ia seorang jago matematika. Mampu menggunakan dalil probabilitas secara otodidak guna menghitung peluang kemenangan melalui  pergerakan kartu yang ia pegang serta perkiraan kartu lawan.

Misalnya dalam permainan mahyong yang memiliki tiga jenis karakter kartu. Yaitu bola, bambu atau aksara Cina yang harus dikumpulkan dan disusun dalam urutan tertentu untuk menang. Kartunya terbuat dari keramik berbentuk kubus. Untuk menebak kartu lawan ibu cukup mengamati bagaimana mereka memilin kartu atau memakan umpan yang sengaja ia lemparkan ke arena. Demikian juga tatkala bermain gaple atau ceki. Lewat pancingannya ibu mampu membaca kartu lawan, menghancurkan strategi mereka dan meraih kemenangan.

Bagaimanapun lawan ibu adalah para wanita yang naif. Bukan tandingan ibu yang licin seperti belut.

Dengan cara inilah kesulitan keuangan ibu teratasi. Ia mampu punya penghasilan sendiri yang jauh lebih besar ketimbang gaji ayah.

Semenjak saat itulah aku cuma bisa melihat ibu pada pagi sebelum berangkat sekolah saja. Siangnya ia sudah pergi. Meninggalkan sepiring nasi bersama lauk seadanya untukku. Ia mulai enggan memasak. Terburu-buru ingin berkumpul dan berjudi dengan teman-temannya.

Ibu memaksaku hidup mandiri dalam usia yang belum genap sepuluh tahun. Masih duduk di kelas empat SD.

Sepulang dari sekolah aku makan sendirian. Mencuci piring, mengambil baju dari tiang jemuran, menyetrika, menyapu lantai. Untunglah sebelum senja ibu sudah pulang.

Entah mengapa secara naluri aku merasa begitu takut ditinggal pergi olehnya. Jadi semua kujalani tanpa pernah memprotes. Karena masa itu aku jauh lebih membutuhkan ibu ketimbang sebaliknya.

Tatkala akhir bulan ayah menyodorkan amplop gaji ibu sengaja merobeknya di hadapan ayah. Lalu menebarkan lembaran uang tersebut di lantai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun