Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pramoedya Ananta Toer dan Lekra: Jejak Sastra dalam Bayang-Bayang PKI

3 Februari 2025   17:50 Diperbarui: 3 Februari 2025   17:50 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pramoedya Ananta Toer (sumber gambar: kompas.com)

Setelah peristiwa 1965 yang menggulingkan Soekarno dan membawa Soeharto ke kekuasaan, Pramoedya dianggap berbahaya karena pernah terlibat dengan Lekra yang berafiliasi dengan PKI

Buku pertama Pramoedya Ananta Toer adalah Kranji dan Bekasi Jatuh (1947), sebuah kumpulan cerita pendek yang menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan. Namun, karya yang pertama kali membuat namanya dikenal luas adalah novel Perburuan (ditulis pada 1947, diterbitkan pada 1950).

Buku karyanya yang benar-benar besar pengaruhnya dan paling terkenal adalah Tetralogi Buru, yang dimulai dengan Bumi Manusia (1975).

Kepedulian Pramoedya terhadap Perjuangan Rakyat Kecil

Buku pertama Pramoedya Ananta Toer, Kranji pdan Bekasi Jatuh (1947), berisi kumpulan cerita pendek yang menggambarkan situasi perang dan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah, khususnya selama masa Revolusi Nasional Indonesia (1945--1949).

Cerita-ceritanya banyak menyoroti ketegangan, penderitaan, dan semangat juang rakyat kecil di tengah pertempuran, termasuk di daerah Kranji dan Bekasi, yang memang menjadi medan pertempuran penting saat Belanda berusaha merebut kembali Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Buku ini mencerminkan awal gaya Pramoedya yang kuat dalam realisme sosial dan kepeduliannya terhadap perjuangan rakyat.

Sayangnya, buku ini tergolong langka karena banyak karyanya yang sempat dilarang atau dimusnahkan dalam berbagai periode politik di Indonesia.

Karya-karya Pramoedya Ananta Toer dilarang bukan karena isinya tentang perjuangan melawan penjajah, tetapi lebih karena pandangan politik dan kritik sosialnya yang tajam terhadap pemerintahan Indonesia di berbagai era.

Awalnya, di masa Orde Lama (era Soekarno), Pramoedya cukup dihargai sebagai sastrawan nasionalis. Namun, setelah peristiwa 1965 yang menggulingkan Soekarno dan membawa Soeharto ke kekuasaan, Pramoedya dianggap berbahaya karena pernah terlibat dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI.

Ketika Orde Baru berkuasa, karya-karyanya, terutama Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), dilarang karena dianggap mengandung pemikiran kiri dan mengkritik sistem sosial serta kolonialisme dengan cara yang bisa menginspirasi perlawanan terhadap rezim. Pemerintah khawatir bahwa tulisan-tulisannya akan mempengaruhi rakyat untuk mempertanyakan kekuasaan.

Selain itu, Pramoedya sendiri pernah dipenjara tanpa pengadilan di Pulau Buru selama 14 tahun (1965--1979). Meski begitu, karyanya tetap dikenal luas dan diakui secara internasional, bahkan banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Mengapa Pramoedya dipandang negatif oleh Orde Baru?

Pramoedya dikenal sebagai seorang nasionalis dan humanis yang memperjuangkan keadilan sosial, kebebasan berpikir, serta hak-hak rakyat kecil. Dalam banyak karyanya, seperti Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), dia lebih banyak mengkritik ketidakadilan kolonialisme dan sistem feodal yang menindas rakyat kecil daripada mempromosikan komunisme secara langsung.

Dia pernah mendukung kebijakan-kebijakan Soekarno yang cenderung kiri pada tahun 1950-an hingga awal 1960-an, akibatnya setelah peristiwa 1965 dia menjadi korban politik. Dia dipenjara selama 14 tahun di Pulau Buru tanpa pengadilan, dan banyak karyanya dilarang di Indonesia selama era Orde Baru.

Setelah peristiwa 1965 yang menggulingkan Soekarno dan membawa Soeharto ke kekuasaan, Pramoedya dianggap berbahaya karena pernah terlibat dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI.

Pramoedya Ananta Toer memiliki kedekatan dengan beberapa organisasi yang berafiliasi dengan PKI, seperti Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang membuatnya dicap sebagai komunis oleh rezim Orde Baru.

Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dilarang karena dianggap sebagai organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), yang pada akhirnya dibubarkan setelah peristiwa 1965. 

Ada beberapa alasan mengapa Lekra dipandang negatif oleh pemerintah Orde Baru dan kelompok-kelompok yang berseberangan dengannya:

1.Afiliasi dengan PKI

Lekra sering dikaitkan dengan ideologi komunis karena berhubungan erat dengan PKI. Dalam situasi Perang Dingin, di mana komunisme dianggap ancaman oleh negara-negara Barat dan kelompok anti-komunis di Indonesia, keberadaan Lekra menjadi kontroversial.

2.Politik dalam Sastra dan Seni

Lekra menganut prinsip "Seni untuk Rakyat", yang berarti seni harus berpihak pada kaum buruh dan tani serta menolak karya-karya yang dianggap borjuis atau tidak berpihak pada perjuangan rakyat. Akibatnya, seniman yang tidak sejalan dengan visi Lekra, terutama yang mendukung kebebasan berekspresi tanpa unsur politik, sering mendapat tekanan.

3.Konflik dengan Seniman Non-Lekra

Lekra sering berseberangan dengan kelompok sastrawan lain, seperti yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan (Manikebu), yang lebih mendukung kebebasan seni tanpa dikendalikan ideologi politik tertentu. Pada masa Orde Lama, Lekra cukup dominan dan didukung pemerintah Soekarno, sehingga banyak seniman Manikebu mengalami represi, misalnya karya mereka dilarang terbit. Namun, setelah peristiwa 1965, keadaan berbalik: Lekra dibubarkan dan seniman yang terlibat dengannya, termasuk Pramoedya, mengalami represi di bawah Orde Baru.

4.Pelarangan dan Pembersihan oleh Orde Baru

Setelah G30S 1965, PKI dan semua organisasi yang berhubungan dengannya, termasuk Lekra, dilarang oleh pemerintahan Soeharto. Banyak anggotanya ditangkap, dipenjara, atau bahkan dibunuh dalam peristiwa pembersihan anti-komunis. Sejak itu, Lekra dianggap sebagai bagian dari sejarah yang tabu untuk dibahas secara terbuka di Indonesia selama bertahun-tahun.

Namun, dalam kajian sastra dan sejarah, Lekra juga dihargai karena berhasil mengangkat suara kaum kecil melalui seni dan sastra. Pandangan negatif terhadap Lekra lebih banyak berasal dari dinamika politik dan konflik ideologi yang terjadi di Indonesia, terutama setelah 1965.

Benarkah LEKRA memiliki kedekatan ideologis dengan PKI?

Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) memang dikenal sebagai organisasi yang memiliki kedekatan ideologis dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mendukung paham sosialis-komunis, khususnya pada periode 1950-an hingga 1960-an. 

LEKRA berperan dalam memajukan budaya yang dianggap mendukung perjuangan kelas pekerja, dan banyak karyanya yang mencerminkan ideologi tersebut. 

Berikut adalah beberapa bukti dan karya dari seniman LEKRA yang menunjukkan dukungan terhadap paham sosialis-komunis:

1. Manifesto LEKRA

LEKRA, yang didirikan pada tahun 1950, memiliki tujuan untuk mengembangkan seni dan budaya yang berpihak pada rakyat, khususnya kelas pekerja dan petani. Manifesto LEKRA menyatakan bahwa seni harus digunakan sebagai alat perjuangan untuk membela hak-hak rakyat dan mendukung revolusi sosial. Dalam pandangan ini, seni tidak hanya sekadar ekspresi estetika, tetapi juga harus memiliki fungsi sosial yang mendukung perjuangan politik.

2. Karya Sastra dan Puisi yang Berfokus pada Rakyat Kecil

Para penulis yang tergabung dalam LEKRA seringkali menghasilkan karya sastra yang menggambarkan perjuangan kelas pekerja, petani, dan rakyat kecil melawan penindasan. Karya-karya ini umumnya mengandung kritik terhadap ketidakadilan sosial dan mendukung pandangan sosialis-komunis. Contoh karya yang mendukung paham tersebut antara lain:

* "Taufan di Atas China" karya Pramoedya Ananta Toer

Meskipun Pramoedya lebih dikenal karena karya-karya besar lainnya seperti Bumi Manusia, pada awal kariernya ia menulis dengan pengaruh kuat dari pemikiran sosialis. Karya ini menggambarkan perjuangan revolusi rakyat dan penderitaan kelas bawah di tengah ketidakadilan politik.

* "Arok Dedes" karya Armawi (A. A. Navis)

Arok Dedes adalah karya yang mencerminkan perjuangan kekuasaan dan ketidakadilan sosial. Meskipun tidak selalu terang-terangan bernuansa komunis, banyak elemen-elemen dalam cerita ini yang menggambarkan ketidakadilan sistem feodal yang mendukung paham sosialisme.

* Puisi-puisi Chairil Anwar yang menggambarkan perlawanan terhadap ketidakadilan

Sebagian karya Chairil Anwar yang tergabung dalam LEKRA, meskipun lebih dikenal dengan sikap individualisnya, terkadang berhubungan dengan semangat perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan, meski tidak secara eksplisit mendukung ideologi komunis.

3. Seni Rupa dan Teater

Selain sastra, seni rupa dan teater LEKRA juga banyak dipengaruhi oleh ideologi sosialis-komunis. Para seniman LEKRA menggunakan karya mereka untuk menyuarakan aspirasi kelas pekerja dan petani, serta memperjuangkan hak-hak rakyat.

* Teater Rakyat

LEKRA mendirikan kelompok teater yang menggunakan seni pertunjukan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan politik, mempropagandakan revolusi sosial, dan mengkritik penindasan. Beberapa pementasan teater LEKRA menggambarkan perjuangan kelas pekerja atau kesulitan hidup masyarakat bawah.

* Seni Rupa

Dalam seni rupa, LEKRA mendukung pembuatan karya yang menggambarkan kehidupan rakyat kecil, ketidakadilan sosial, serta kekuatan buruh dan petani. Seniman LEKRA seringkali menghindari seni rupa yang bernilai estetis tinggi tanpa keterkaitan sosial, dan lebih memilih seni yang bertujuan mendidik dan membangkitkan kesadaran kelas.

4. Hubungan dengan PKI

Banyak anggota LEKRA yang juga merupakan anggota atau simpatisan PKI, sehingga ideologi komunis sangat mempengaruhi karya mereka. Dalam konteks ini, LEKRA berperan sebagai alat kebudayaan yang digunakan oleh PKI untuk mendukung revolusi sosial dan membentuk opini publik yang mendukung paham komunis.

5. Manifestasi Sosialis dalam Karya

Secara umum, karya-karya LEKRA menekankan pada nilai-nilai kesetaraan, perjuangan kelas, dan solidaritas, yang merupakan inti dari paham sosialis-komunis. Misalnya, banyak karya yang menggambarkan penderitaan buruh dan petani serta perlawanan mereka terhadap sistem yang menindas.

Bukti bahwa LEKRA mendukung paham sosialis-komunis dapat dilihat dalam karya-karya seni dan sastra yang dihasilkan oleh anggotanya. Karya-karya ini menekankan tema perjuangan kelas, penindasan, dan revolusi sosial yang merupakan ajaran dasar dalam ideologi sosialis-komunis. Lewat seni, LEKRA berusaha untuk menginspirasi rakyat dan memperjuangkan kesetaraan serta hak-hak kelas pekerja.

Sumber:

I Wayan Artika. "Representasi Ideologi dalam Sastra Lekra." tatkala.co, 2025

"Lekra: Latar Belakang, Tokoh, dan Perkembangannya."Kompas.com, 29 Okt.2021

"LEKRA dan Geger 1965." tempo.co, 30 Sept.2013

"Sastra Lekra dan Realisme Sosialis: 'Seni untuk Rakyat.'" langgampustaka.com, 22 Okt.2024

"LIMA CERPEN PROPAGANDA LEKRA 1950-1965." garuda.kemendikbud.co.id, 16 Okt.2017

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun