Setelah peristiwa 1965 yang menggulingkan Soekarno dan membawa Soeharto ke kekuasaan, Pramoedya dianggap berbahaya karena pernah terlibat dengan Lekra yang berafiliasi dengan PKI
Buku pertama Pramoedya Ananta Toer adalah Kranji dan Bekasi Jatuh (1947), sebuah kumpulan cerita pendek yang menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan. Namun, karya yang pertama kali membuat namanya dikenal luas adalah novel Perburuan (ditulis pada 1947, diterbitkan pada 1950).
Buku karyanya yang benar-benar besar pengaruhnya dan paling terkenal adalah Tetralogi Buru, yang dimulai dengan Bumi Manusia (1975).
Kepedulian Pramoedya terhadap Perjuangan Rakyat Kecil
Buku pertama Pramoedya Ananta Toer, Kranji pdan Bekasi Jatuh (1947), berisi kumpulan cerita pendek yang menggambarkan situasi perang dan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah, khususnya selama masa Revolusi Nasional Indonesia (1945--1949).
Cerita-ceritanya banyak menyoroti ketegangan, penderitaan, dan semangat juang rakyat kecil di tengah pertempuran, termasuk di daerah Kranji dan Bekasi, yang memang menjadi medan pertempuran penting saat Belanda berusaha merebut kembali Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Buku ini mencerminkan awal gaya Pramoedya yang kuat dalam realisme sosial dan kepeduliannya terhadap perjuangan rakyat.
Sayangnya, buku ini tergolong langka karena banyak karyanya yang sempat dilarang atau dimusnahkan dalam berbagai periode politik di Indonesia.
Karya-karya Pramoedya Ananta Toer dilarang bukan karena isinya tentang perjuangan melawan penjajah, tetapi lebih karena pandangan politik dan kritik sosialnya yang tajam terhadap pemerintahan Indonesia di berbagai era.
Awalnya, di masa Orde Lama (era Soekarno), Pramoedya cukup dihargai sebagai sastrawan nasionalis. Namun, setelah peristiwa 1965 yang menggulingkan Soekarno dan membawa Soeharto ke kekuasaan, Pramoedya dianggap berbahaya karena pernah terlibat dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI.
Ketika Orde Baru berkuasa, karya-karyanya, terutama Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), dilarang karena dianggap mengandung pemikiran kiri dan mengkritik sistem sosial serta kolonialisme dengan cara yang bisa menginspirasi perlawanan terhadap rezim. Pemerintah khawatir bahwa tulisan-tulisannya akan mempengaruhi rakyat untuk mempertanyakan kekuasaan.
Selain itu, Pramoedya sendiri pernah dipenjara tanpa pengadilan di Pulau Buru selama 14 tahun (1965--1979). Meski begitu, karyanya tetap dikenal luas dan diakui secara internasional, bahkan banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa.