3.Konflik dengan Seniman Non-Lekra
Lekra sering berseberangan dengan kelompok sastrawan lain, seperti yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan (Manikebu), yang lebih mendukung kebebasan seni tanpa dikendalikan ideologi politik tertentu. Pada masa Orde Lama, Lekra cukup dominan dan didukung pemerintah Soekarno, sehingga banyak seniman Manikebu mengalami represi, misalnya karya mereka dilarang terbit. Namun, setelah peristiwa 1965, keadaan berbalik: Lekra dibubarkan dan seniman yang terlibat dengannya, termasuk Pramoedya, mengalami represi di bawah Orde Baru.
4.Pelarangan dan Pembersihan oleh Orde Baru
Setelah G30S 1965, PKI dan semua organisasi yang berhubungan dengannya, termasuk Lekra, dilarang oleh pemerintahan Soeharto. Banyak anggotanya ditangkap, dipenjara, atau bahkan dibunuh dalam peristiwa pembersihan anti-komunis. Sejak itu, Lekra dianggap sebagai bagian dari sejarah yang tabu untuk dibahas secara terbuka di Indonesia selama bertahun-tahun.
Namun, dalam kajian sastra dan sejarah, Lekra juga dihargai karena berhasil mengangkat suara kaum kecil melalui seni dan sastra. Pandangan negatif terhadap Lekra lebih banyak berasal dari dinamika politik dan konflik ideologi yang terjadi di Indonesia, terutama setelah 1965.
Benarkah LEKRA memiliki kedekatan ideologis dengan PKI?
Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) memang dikenal sebagai organisasi yang memiliki kedekatan ideologis dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mendukung paham sosialis-komunis, khususnya pada periode 1950-an hingga 1960-an.Â
LEKRA berperan dalam memajukan budaya yang dianggap mendukung perjuangan kelas pekerja, dan banyak karyanya yang mencerminkan ideologi tersebut.Â
Berikut adalah beberapa bukti dan karya dari seniman LEKRA yang menunjukkan dukungan terhadap paham sosialis-komunis:
1. Manifesto LEKRA
LEKRA, yang didirikan pada tahun 1950, memiliki tujuan untuk mengembangkan seni dan budaya yang berpihak pada rakyat, khususnya kelas pekerja dan petani. Manifesto LEKRA menyatakan bahwa seni harus digunakan sebagai alat perjuangan untuk membela hak-hak rakyat dan mendukung revolusi sosial. Dalam pandangan ini, seni tidak hanya sekadar ekspresi estetika, tetapi juga harus memiliki fungsi sosial yang mendukung perjuangan politik.