Mohon tunggu...
Falah Yu
Falah Yu Mohon Tunggu... Guru - ngajar

juga suka dagang sambil nunggu warung diisi catat mencatat tulis menulis ketik mengetik kata mengata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Post Power Syndrome

19 Oktober 2024   21:43 Diperbarui: 19 Oktober 2024   22:48 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rapat Bersama Bapak via Imagine AI by Falah Yu

Bapak mengusap dahi. "Aduh, Pala... saya capek sekali. Mungkin kita istirahat sebentar."

"Baik, Pak. Bapak bisa istirahat dulu. Saya siapkan minum, ya."

Bapak mengangguk pelan, dan saya melihat matanya mulai terpejam. Beliau tertidur di kursi, dengan wajah yang terlihat lebih damai. Saya merapikan berkas-berkas yang sudah ditandatangani dan beranjak keluar untuk membiarkannya beristirahat.

***
Di satu sisi, saya merasa iba. Saya tahu, bapak hanya merasa kehilangan, kehilangan makna hidup, kehilangan kekuasaan, dan kehilangan peran yang dulu ia banggakan. Tapi di sisi lain, saya juga tahu, inilah kesempatan saya. Selama bapak masih hidup dalam bayang-bayang kejayaannya, saya masih bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan tambahan.

Sampai suatu pagi, bapak kembali memanggil saya ke ruang tamu. Kali ini, suaranya lebih lemah dari biasanya. "Pala, tolong siapkan undangan rapat lagi... Kita tidak boleh gagal... Kita harus bangun irigasi itu..."

Saya duduk di sampingnya dan memegang tangannya. "Iya, Pak. Kita akan siapkan semuanya," jawab saya dengan suara lirih.

Ia menatap saya lama, seolah ada kesedihan yang mendalam di balik matanya yang lelah. "Pala, apa gunanya semua ini? Anak-anak saya bahkan tidak pernah datang lagi. Apa saya sudah tidak berarti?"

Saya terdiam. Untuk pertama kalinya, saya merasakan kesedihan yang dalam untuk bapak. Ia telah memberikan hidupnya untuk pekerjaan dan jabatan, tetapi ketika semuanya berakhir, ia hanya menemukan kesepian.

Hari itu, saya duduk lebih lama di sampingnya. Meski saya masih harus berperan sebagai ajudan yang setia, saya sadar bahwa bapak tidak hanya butuh seorang pelayan. Ia butuh seseorang yang benar-benar peduli. Mungkin saya bukan yang terbaik untuk itu, tapi setidaknya saya masih ada di sini, menemaninya menjalani hari-hari terakhir dengan sisa-sisa kejayaannya yang rapuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun