Bapak mengusap dahi. "Aduh, Pala... saya capek sekali. Mungkin kita istirahat sebentar."
"Baik, Pak. Bapak bisa istirahat dulu. Saya siapkan minum, ya."
Bapak mengangguk pelan, dan saya melihat matanya mulai terpejam. Beliau tertidur di kursi, dengan wajah yang terlihat lebih damai. Saya merapikan berkas-berkas yang sudah ditandatangani dan beranjak keluar untuk membiarkannya beristirahat.
***
Di satu sisi, saya merasa iba. Saya tahu, bapak hanya merasa kehilangan, kehilangan makna hidup, kehilangan kekuasaan, dan kehilangan peran yang dulu ia banggakan. Tapi di sisi lain, saya juga tahu, inilah kesempatan saya. Selama bapak masih hidup dalam bayang-bayang kejayaannya, saya masih bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan tambahan.
Sampai suatu pagi, bapak kembali memanggil saya ke ruang tamu. Kali ini, suaranya lebih lemah dari biasanya. "Pala, tolong siapkan undangan rapat lagi... Kita tidak boleh gagal... Kita harus bangun irigasi itu..."
Saya duduk di sampingnya dan memegang tangannya. "Iya, Pak. Kita akan siapkan semuanya," jawab saya dengan suara lirih.
Ia menatap saya lama, seolah ada kesedihan yang mendalam di balik matanya yang lelah. "Pala, apa gunanya semua ini? Anak-anak saya bahkan tidak pernah datang lagi. Apa saya sudah tidak berarti?"
Saya terdiam. Saya merasakan kesedihan yang dalam untuk bapak. Ia telah memberikan hidupnya untuk pekerjaan dan jabatan, tetapi ketika semuanya berakhir, ia hanya menemukan kesepian.
Hari itu, saya duduk lebih lama di sampingnya. Meski saya masih harus berperan sebagai ajudan yang setia, saya sadar bahwa bapak tidak hanya butuh seorang pelayan. Ia butuh seseorang yang benar-benar peduli. Mungkin saya bukan yang terbaik untuk itu, tapi setidaknya saya masih ada di sini, menemaninya menjalani hari-hari terakhir dengan sisa-sisa kejayaannya yang rapuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H