Mohon tunggu...
Falah Yu
Falah Yu Mohon Tunggu... Guru - ngajar

juga suka dagang sambil nunggu warung diisi catat mencatat tulis menulis ketik mengetik kata mengata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Post Power Syndrome

19 Oktober 2024   21:43 Diperbarui: 19 Oktober 2024   22:48 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rapat Bersama Bapak via Imagine AI by Falah Yu

Pagi itu, saya mendengar teriakan keras dari kamar utama. Bapak Ir. R. Abimanyu Bambang Kusuma, M.P, mantan Kepala Dinas Pertanian yang pernah berjaya di masa lalu, kembali terbangun dengan mimpi-mimpi masa kejayaannya. Ia berteriak. "Mana berkas-berkas itu? Saya harus tandatangani sebelum rapat dimulai!"

Saya sebagai ajudan dan sopir setia bapak segera bergegas masuk ke kamar. Saya tahu, ini bukan pertama kalinya bapak terbangun dengan anggapan bahwa ia masih menjabat. Padahal, beliau sudah pensiun beberapa tahun yang lalu.

"Pak, tenang, Pak. Hari ini tidak ada rapat. Bapak sudah pensiun," ujar saya sambil berusaha menenangkan.

Namun, wajah bapak berubah merah padam. "Kau tahu apa, Pala? Siapkan semua! Saya harus rapat hari ini tentang swasembada pangan. Kita tidak boleh gagal! Cepat buat undangan!"

Saya hanya bisa mengangguk, mengikuti perintahnya. Saya tahu, post power syndrome yang dialami bapak semakin parah. Kadang, saya merasa kasihan, tapi di sisi lain, saya sadar bahwa ini adalah peluang bagi saya. Sebagai orang yang dipercaya dan satu-satunya yang masih peduli, saya mendapat tambahan bonus dari istri beliau, Ibu Rr. Prameswari dan anak-anak bapak  untuk menjaga bapaknya. Anak-anak beliau jarang pulang, sibuk dengan karir dan keluarga masing-masing, tempat tinggal berjauhan mas Indra di Jakarta, mas Dono di Medan dan yang ragil yaitu mas Kasno di Samarinda.

***
Pukul 10 pagi, rapat "dinas" yang diinginkan bapak akhirnya dimulai di ruang tamu. Saya sudah mengatur semuanya, meskipun hanya ada empat orang yaitu bapak,  ibu Rr. Prameswari, Sisri si asisten rumah tangga, dan saya sendiri. Di depan kami, ada papan tulis kecil dan beberapa berkas yang saya buat seolah-olah serius. Saya tahu ini hanya sandiwara, tapi saya harus melakukannya demi menenangkan bapak.

"Baik, hadirin sekalian. Hari ini kita bahas tentang swasembada pangan di daerah kita," kata bapak dengan nada serius. Matanya menyipit, seolah ia benar-benar sedang memimpin rapat penting.

Ibu Prameswari hanya menatap suaminya dengan pandangan hampa, tapi tetap berusaha tersenyum. "Iya, Pak, apa yang bisa kita lakukan?"

Bapak menepuk meja, "Masalah beras di daerah ini sudah terlalu parah! Kita harus cari alternatif!" teriaknya dengan semangat, seakan-akan seluruh daerah bergantung pada keputusannya.

Sisri, yang duduk di sudut, terlihat bingung. Ia hanya mengangguk-angguk sambil menatap saya, mencari petunjuk. Saya memberi isyarat dengan mata agar dia ikut dalam permainan ini.

"Kita bisa tanam padi di lahan belakang rumah, Pak," ujar Sisri, mencoba berperan.

Bapak tersenyum puas. "Ide bagus! Tapi kita butuh lebih dari itu. Pala, bagaimana kalau kita bangun irigasi baru?"

Saya menanggapi. "Iya, Pak, bisa saja. Tapi mungkin kita juga harus menggali sumur terlebih dahulu, supaya airnya mencukupi."

Bapak mengangguk. "Betul! Kita butuh sumber daya air yang stabil. Nah, Sisri, kau akan bertanggung jawab untuk mengawasi sumur itu!"

Sisri, meski masih bingung, mengangguk penuh semangat, "Siap, Pak!"

Di saat suasana rapat seakan serius, tiba-tiba bapak berhenti berbicara. Wajahnya berubah pucat, tangan kirinya gemetar. Ia terjatuh dari kursi, tubuhnya kaku, dan wajahnya menegang. Ibu sangat panik dan berteriak , "Pak! Pak! Bangun pak. Tolong!"

***
Untungnya saya segera membawa bapak ke rumah sakit dan masih bisa diselamatkan. Dokter mengatakan bahwa ia terkena serangan stroke ringan, namun masih bisa pulih dengan terapi. Setelah beberapa minggu perawatan, bapak kembali ke rumah, namun kondisinya tak sama lagi. Post power syndrome yang dideritanya semakin parah. Ia terus-menerus marah-marah, memerintah ini-itu, dan selalu merasa masih punya kekuasaan yang besar.

Ironisnya, bagi saya, kondisi ini menjadi berkah terselubung. Saya mendapatkan lebih banyak uang dari ibu dan anak-anak bapak yang meminta saya untuk selalu berada di sisi bapaknya. Mereka tampaknya lebih nyaman membayar saya ketimbang meluangkan waktu untuk merawat ayah mereka sendiri.

Namun, keadaan semakin sulit. Bapak sering mengamuk ketika hal-hal tidak berjalan sesuai keinginannya. Ia berteriak dan marah-marah pada saya seolah-olah saya bawahannya di kantor dulu. Ia memanggil saya ke kamarnya pagi-pagi setelah subuh, meminta laporan tentang proyek pertanian yang sebenarnya tidak ada.

Di ruang kerja bapak, saya datang membawa tumpukan berkas proyek pertanian. Meski sudah pensiun, bapak masih bersikeras menjalankan peran seolah dia masih menjabat sebagai kepala dinas. "Selamat pagi, bapak Ir. R. Abimanyu Bambang Kusuma, M.P. Ini berkas-berkas proyek pertanian yang bapak minta. Saya sudah rangkum secara singkat, Bapak tinggal memeriksa dan tanda tangan." Ucap saya.

Bapak menjawab dengan tegas. "Pagi, Pala. Baik, bacakan satu per satu. Saya ingin memastikan semuanya sesuai prosedur."

Saya buka berkas pertama. "Baik, Pak. Di berkas pertama ini, ada rencana pengadaan alat-alat pertanian baru di Desa Bendo Ngaglik Kecamatan Bulukerto. Kita alokasikan anggaran sebesar 500 juta rupiah untuk mesin traktor dan alat-alat lain. Tanda tangan Bapak diperlukan di sini dan di sini."

Bapak mengambil pena. "Baik, saya tanda tangan dulu. Pastikan semuanya tercatat rapi, ya."

"Siap, Pak." jawab saya sambil bergaya seperti tentara memberi hormat. Setelah bapak selesai tanda tangan, saya membalik ke halaman berikutnya, "Ini untuk pembangunan irigasi di desa Conto kecamatan Bulukerto, Pak. Kita rencanakan pembangunan tahap pertama selesai dalam tiga bulan. Mohon tanda tangan Bapak di sini."

Bapak menandatangani dengan tekun, namun mulai tampak lelah. "Oke... ini, selanjutnya apa lagi, Pala?"

Saya membalik halaman. "Di sini ada laporan distribusi pupuk organik, Pak. Kita targetkan 200 petani penerima manfaat. Ini perlu tanda tangan Bapak di beberapa tempat."

Bapak terus menandatangani, dan saya melihat tangan beliau mulai gemetar sedikit. Wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan, tetapi ia tetap berusaha menyelesaikan semuanya.

Bapak menghela napas. "Banyak sekali, ya, Pala... saya tidak ingat ini sebanyak ini saat saya masih menjabat."

Saya tersenyum kecil. "Iya, Pak. Bapak dulu cepat sekali, sekarang juga masih cepat kok, cuma memang cukup banyak."

Bapak tertawa kecil. "Hahaha, ya, ya... mungkin saya sudah agak tua."

Saya melanjutkan. "Ini yang terakhir, Pak. Laporan anggaran proyek kemarin, tanda tangan Bapak di sini dan di halaman terakhir."

Bapak menandatangani sambil menghela napas panjang. Setelah beberapa tanda tangan, beliau menyandarkan tubuhnya ke kursi, tampak kelelahan.

Bapak mengusap dahi. "Aduh, Pala... saya capek sekali. Mungkin kita istirahat sebentar."

"Baik, Pak. Bapak bisa istirahat dulu. Saya siapkan minum, ya."

Bapak mengangguk pelan, dan saya melihat matanya mulai terpejam. Beliau tertidur di kursi, dengan wajah yang terlihat lebih damai. Saya merapikan berkas-berkas yang sudah ditandatangani dan beranjak keluar untuk membiarkannya beristirahat.

***
Di satu sisi, saya merasa iba. Saya tahu, bapak hanya merasa kehilangan, kehilangan makna hidup, kehilangan kekuasaan, dan kehilangan peran yang dulu ia banggakan. Tapi di sisi lain, saya juga tahu, inilah kesempatan saya. Selama bapak masih hidup dalam bayang-bayang kejayaannya, saya masih bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan tambahan.

Sampai suatu pagi, bapak kembali memanggil saya ke ruang tamu. Kali ini, suaranya lebih lemah dari biasanya. "Pala, tolong siapkan undangan rapat lagi... Kita tidak boleh gagal... Kita harus bangun irigasi itu..."

Saya duduk di sampingnya dan memegang tangannya. "Iya, Pak. Kita akan siapkan semuanya," jawab saya dengan suara lirih.

Ia menatap saya lama, seolah ada kesedihan yang mendalam di balik matanya yang lelah. "Pala, apa gunanya semua ini? Anak-anak saya bahkan tidak pernah datang lagi. Apa saya sudah tidak berarti?"

Saya terdiam. Untuk pertama kalinya, saya merasakan kesedihan yang dalam untuk bapak. Ia telah memberikan hidupnya untuk pekerjaan dan jabatan, tetapi ketika semuanya berakhir, ia hanya menemukan kesepian.

Hari itu, saya duduk lebih lama di sampingnya. Meski saya masih harus berperan sebagai ajudan yang setia, saya sadar bahwa bapak tidak hanya butuh seorang pelayan. Ia butuh seseorang yang benar-benar peduli. Mungkin saya bukan yang terbaik untuk itu, tapi setidaknya saya masih ada di sini, menemaninya menjalani hari-hari terakhir dengan sisa-sisa kejayaannya yang rapuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun