Sejalan dengan hal tersebut, hasil survei UNESCO (2012) dalam paud-dikmas (2016) menunjukkan indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih mau membaca buku secara serius (tinggi). Selanjutnya, Most Literate Nations in the World, merilis pemeringkatan literasi internasional. Dalam pemeringkatan tersebut, Indonesia berada di urutan ke-60 di antara total 61 negara.Â
Kondisi yang sama juga terjadi pada pemeringkatan tingkat pendidikan Indonesia di dunia yang dari tahun ke tahun belum beranjak dari papan bawah dalam berbagai survei internasional. Salah satunya World Education Forum di bawah naungan PBB yang menempatkan Indonesia di posisi 69 dari 76 negara.
Oleh karena itu dibutuhkan peran guru dalam meningkatkan kemampuan literasi. Guru memiliki peran penting dalam merangsang siswa untuk belajar, memotivasi rasa ingin tahu siswa dan memicu mereka untuk berpikir kritis. Hal ini akan berhasil salah satunya jika guru mampu mengembangkan pembelajaran yang tepat sehingga pembelajaran yang dilaksanakan dapat meningkatkan kemampuan literasi dan potensi siswa.
Dilain pihak, guru sebagai garda terdepan dalam dunia pendidikan sering kali tersangkut masalah hukum dalam upaya menegakkan disiplin di lingkungan sekolah baik berupa pelanggaran tata tertib sekolah oleh siswa, sikap dan perilaku siswa yang dianggap meremehkan guru, siswa ramai pada saat kegiatan pembelajaran maupun kenakalan siswa.
Oleh karena itu, hukuman dalam batas-batas normatif - edukatif diperlukan untuk menyadarkan dan memperbaiki siswa yang melakukan kesalahan sehingga guru dalam upaya menegakkan disiplin dilingkungan sekolah dapat terhindar dari jeratan hukum. Berdasarkan permasalahan di atas, alternatif solusi yang penulis tawarkan adalah mengganti hukuman disiplin secara fisik dan kurang edukatif dengan hukuman membaca sehingga dapat meningkatkan budaya literasi sekolah.
Pembahasan dan SolusiÂ
Gerakan Literasi Sekolah merupakan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, Komite Sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dll.), dan pemangku kepentingan.
Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun sekarang ini literasi memiliki arti luas, sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies).Â
Ada bermacam- macam keberaksaraan atau literasi, misalnya literasi komputer (computer literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi (information literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy). Jadi, keberaksaraan atau literasi dapat diartikan melek
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2016 : 2) menjelaskan bahwa literasi dalam konteks gerakan literasi sekolah adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara.
Gerakan Literasi Sekolah adalah gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca (guru membacakan buku dan warga sekolah membaca dalam hati, yang disesuaikan dengan konteks atau target sekolah). Ketika pembiasaan membaca terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengembangan, dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum 2013).