Mohon tunggu...
Fajar Saputro
Fajar Saputro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jukir Tua

22 Agustus 2018   16:26 Diperbarui: 22 Agustus 2018   16:33 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Baik, ini penawaran terakhir. Tanah dan rumahmu akan dihargai tiga ribu rupiah. Tandatangani surat ini dulu," Pak Kades menyorongkan secarik kertas kepada Nyuwito. "Sisanya," lanjut Pak Kades, "akan kuserahkan sendiri ke rumahmu. Tunggulah!"

Nyuwito pulang ke rumahnya ketika langit sudah gelap sempurna. Dan semenjak saat itu, Nyuwito menunggu kedatangan Pak Kades di rumahnya.

Di depan teras rumahnya yang hanya dihiasi bangku panjang yang terbuat dari bambu, Nyuwito menunggu si pejabat desa. Tapi Pak Kades belum datang juga datang. Ia berdiri, masuk ke dalam rumah, mempersiapkan dua gelas kopi. Hingga beberapa jam pun telah berlalu, sang tamu yang ia nanti-nanti belum memperlihatkan batang hidungnya.

Di bangku bambu itu, kopi telah menjadi dingin. Tamu yang ia tunggu-tunggu masih belum datang juga. Sedangkan langit sudah sore, "mungkin Pak Kades datang nanti malam," pikirnya. Lalu Nyuwito bangkit dadi duduknya, membawa dua gelas kopi yang telah ia persiapkan sedari pagi tadi---, lalu meletakkannya di dapur bersama gelas dan piring kotor lainnya. Malam hari, ia menunggu hingga ketiduran di ruang tamu---tapi Pak Kades tak juga datang.

Keesokan harinya pun masih sama, hingga tak terasa presiden telah ganti sebanyak empat kali. Dan, Pak Kades yang pernah berjanji akan datang itu sudah lama tak menjabat sebagai Kepala Desa di kampungnya. Malah menurut kabar yang beredar, beberapa bulan yang lalu, mantan kepala desa itu telah meninggal dunia.

Pada suatu hari yang tak disangka-sangka, beberapa orang mendatangi rumahya. Mereka memperkenalkan diri sebagi pegawai yang diutus oleh perusahaan Perumahan Nasional dan meminta Nyuwito beserta keluarga segera mengosongkan tempat. Sebab, rumah yang ia tinggali, kata pegawai itu, berdiri di atas tanah milik negara. Tentu saja Nyuwito membatahnya, perdebatan terjadi.

"Coba tunjukkan surat-surat bapak, sebagi bukti bahwa ini adalah tanah bapak!"

"Saya sudah kasih ke Pak Kades."

Dan perdebatanpun semakin sengit, utusan dari perusahaan itu memutuskan mengalah untuk sementara waku. Barulah beberapa hari kemudian, ia datang beserta petugas Satpol PP. Barang-barang Nyuwito dikeluarkan paksa, dan pindahlah Nyuwito beserta istrinya ke desa sebelah. Ia menyaksikan bagaimana rumahnya dirobohkan oleh buldozer, lalu diurug dengan tanah-tanah baru. 

Hilir-mudik truk pengangkut urugan tanah dan bahan-bahan bangunan, menyulap rumah dan tanah milik leluhurnya menjadi sebuah perumahan baru. Perumahan mewah dan megah.

Tapi, ia tak menyerah, ia tetap bersikukuh menanti. Ia tetap berdiri, menunggu di atas tanah miliknya---tepat di ujung jalan, tempat di mana ATM itu kini berdiri. Di situlah dulu Mbah Wi tinggal bersama keluarganya. Seperti yang sudah kau tahu, sampai sekarang ia masih tetap menunggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun