Mohon tunggu...
Fajar Saputro
Fajar Saputro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jukir Tua

22 Agustus 2018   16:26 Diperbarui: 22 Agustus 2018   16:33 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, jadi begini. Dulu sekali, mungkin jauh sebelum kau lahir, tempat ini pernah dilanda sebuah cerita yang tak ingin kami ingat-ingat lagi, meskipun untuk memaafkannya---bukan hal yang sederhana.

Waktu itu desa ini belum seramai sekarang, masih berupa perkampungan kecil yang dihuni oleh beberapa keluarga saja. Salah satunya Mbah Wi, nama panjangnya Nyuwito. Orang yang menjadi tukang parkir di gerai ATM ujung jalan sana.

Nyuwito adalah laki-laki biasa, hampir tidak ada yang istimewa dari hidupnya. Sehari-hari pekerjaannya hanya pergi ke sawah. Hasil dari kegiatannya itu sebagian ia konsumsi sendiri, sedangkan sisanya ia jual ke pasar. Secara ekonomi boleh dikatakan pas-pasan: tidak lebih, juga tidak kurang. Ia memiliki seorang istri yang berasal dari desa tetangga, dan juga sudah dikaruniai dua orang putera.

Tentu kehidupan Nyuwito tidak melulu tentang pekerjaan dan urusan rumah tangga saja, sesekali ia juga mencari hiburan laiknya orang pada umumnya. Sebagai orang kecil yang hidup di desa, hiburan yang ada ketika itu---jika tidak ketoprak ya wayang---, atau sekadar nonton klonengan di balai desa. Sebab hanya hiburan rakyat semacam itulah yang dapat ia nikmati setelah seharian mandi peluh di bawah terik matahari.

Waktu berjalan, hari pun berganti. Ia merasakan situasi yang kian berubah. Pertunjukan ketoprak mulai mementaskan cerita yang asing bagi dirinya: dari kisah Romeo Juliet hingga Pilistine dan Nazareth. Wayang pun demikian. Sering ia mendapati lakon yang diberi judul Patine Gusti Alah---yaitu cerita tentang perjudian antara Pandawa dan Kurawa yang berakhir dengan penelanjangan Drupadi oleh Dursasana. 

Di tengah tubuhnya yang tanpa busana, suara Drupadi gemetaran dengan kepala yang ia tengadahkan ke atas langit: "Gusti Alah wis mati!", protes Drupadi kepada Dewa karena membiarkan dirinya dipermalukan di depan khalayak ramai. Lakon itu biasanya dikenal dengan nama Pandawa Dadu, tapi entah kenapa akhir-akhir ini mulai diubah judulnya saat pementasan berlangsung.

Selain wayang, klonengan juga tidak jauh berbeda. Dulu, Nyuwito sering mendengar gamelan dimainkan untuk mengiringi beberapa orang yang melantunkan Sholawat Badar: SholatullahSalamullah 'Alaa Thoha Rosulillah. Tapi kini liriknya diganti solat oleh ora solat oleh... solat oleh ora solat oleh....

Perubahan situasi yang dimaksud Nyuwito adalah keadaan yang mulai memanas. Di lain tempat, tak jarang ia mendapati beberapa kelompok yang berseberangan---juga melakukan ejekan serupa melalui seni pertunjukan. Maka, ia memutuskan untuk menarik diri dari lingkungan, perasaannya tak enak.  Ia tak ingin terlibat, atau terseret-arus yang tak sepenuhnya ia mengerti. Nyuwito lebih memilih menghabiskan waktu di ladang dan sawah pada siang hari, dan berkumpul bersama keluarga di malam hari.

Keputusannya kali ini benar. Pada tahun enam lima, peristiwa berdarah terjadi di mana-mana, termasuk di desa tempat ia tinggal. Tidak sedikit orang yang dibunuh dengan terang-terangan oleh sekumpulan orang entah dengan alasan apa. Korbannya banyak dari kalangan seniman desa. Mereka diseret dari rumahnya, kemudian disiksa secara beramai-ramai di tengah lapangan. 

Setelah dinyatakan mati, mayatnya dikubur dalam satu liang bersama korban lainnya. Ada juga yang dibuang ke sumur. Nyuwito  adalah salah satu diantara sedikit orang  yang selamat, sebab ia dianggap tidak terlibat gerakan apapun. Atau setidaknya, dianggap sebagai orang yang tak pernah memiliki masalah---baik dengan kelompok tertentu atau personal---yang membuat dirinya dapat dituduh sebagai bagian dari golongan yang sedang berselisih.

Beberapa tahun kemudian siatuasi berangsur surut, namun masih dengan ketegangan yang sama: mencekam, ruang gerak menjadi terbatas karena merasa diawasi---hingga tak berani bicara sembarangan sekalipun di dalam rumahnya sendiri. Tapi Nyuwito tetap melakukan pekerjaan seperti biasanya: ke sawah, ke ladang, dan ke pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun