"Saya nanti kerja apa, pak?"
"Nasib buruk bisa terjadi kepada siapa saja, termasuk kepada orang baik. Pikirlah masak-masak."
Merasa telah menyampaikan maksud dan tujuannya, Pak Kades keluar dari rumah Nyuwito. Sedangkan lelaki bertubuh kurus itu mengiringi tamu-agungnya hingga keluar halaman---kemudian pejabat desa itupun menghilang di kegelapan malam.
Beberapa minggu berselang setelah kedatangan Pak Kades di rumahnya, ketika Nyuwito sedang menggarap sawah, beberapa orang mendatanginya. Salah seorang diantaranya berpakaian safari---sedang menaikkan kaki kanannya pada pematang, matanya yang dilindungi kacamata rayben seperti sedang menyisir seluruh hamparan tanah miliknya.Â
Sedangkan yang lain, berkumpul di belakang si lelaki berpakaian safari dengan sikap yang penuh dengan hormat. Pak Kades salah satu diantaranya. Keberadaan Nyuwito seperti tak diperhitungkan. Sekitar sepuluh atau dua puluh menit kemudian, rombongan itu pergi dengan mobil yang mereka bawa. Kecuali Pak Kades. Segera Nyuwito mendekat, memanggil-manggil pejabat desa itu.
"Pak... Pak... Ini ada apa, ya?"
"Bukankah aku sudah menyampaikannya kepadamu?"
"Tapi bukan berarti saya setuju."
"Ingat, Wi, ini untuk pembangunan. Jangan kau mempersulit dirimu sendiri. Jangan sampai namamu masuk dalam daftar Benang Merah."
Nyuwito terdiam sejenak, ia tampak tak berdaya. "Tanah saya mau dibeli berapa," suaranya terdengar rendah. Kepalanya tertunduk.
"Seribu rupiah per meter, Wi."