Hingga datang suatu hari, ketika suara jangrik dan katak meramaikan suasana malam, pintu rumahnya diketuk agak sedikit kasar. Nyuwito tergopoh-gopoh menuju pintu sambil membetulkan letak sarung yang sedang ia kenakan.
"Pak Kepala Desa?"
"Hmmm...," laki-laki berbadan tambun masuk dengan memonyongkan bibirnya, "kamu Nyuwito?" lanjutnya.
"Saya, pak. Mari, silakan duduk." Nyuwito kebingungan karena kedatangan pejabat desa adalah kejadian jarangan. "Mau minum apa, pak? Biar istri yang buatkan."
"Tidak usah repot-repot," Kepala Desa masih berdiri, memperhatikan keadaan rumah Nyuwito yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, atapnya rumbia, dan lantainya masih berupa tanah. Mata Pak Kepala Desa menyisir setiap jengkal dinding bambu, kepalanya bergerak dari kanan ke kiri dan ke kanan lagi. "Aku tidak lama, Wi." lanjutnya.
"Sepertinya ada yang penting, sehingga harus datang selarut ini."
"Betul. Bahkan lebih penting dari kepala kita berdua, Wi."
"Maksud Pak Kades?"
"Ini soal pembangunan!" Yang tadinya Pak Kepala Desa menghadap dinding bambu, kini ia membalikkan bandan dan menatap mata Nyuwito. Tatapan yang mengancam, dengan tambahan kata 'pembangunan' yang telah menjadi momok setiap orang.
"Saya kurang mengerti, tolong bapak jelaskan."
"Tanah milikmu dibutuhkan negara, untuk pembangunan."