Terpaksa kuterima uang itu dengan kedongkolan yang berlipat-lipat. "Dia pikir aku telepon umum?" Bibirku menggerutu. Lalu kutancap gas, menuju warung langganan.
Jarak antara gerai ATM dan warung langgananku tak seberapa jauhnya, tapi karena tertimpa dua kekecewaan yang datang hampir bersamaan, perjalanan menuju ke warung terasa lebih cepat.
"Bu Lik, biasa!"
"Kamu ini kenapa? Kalau belum punya uang, hutang juga tidak apa-apa."
"Ada kok, Bu Lik, baru dapat kiriman dari orang tua."
"Lalu kenapa mukamu cemberut begitu?"
"Itu lho, Bu Lik, tukang parkir yang ada di ujung jalan sana. Jaga parkir kok di ATM. Memangnya itu ATM miliknya?"
"O, itu Mbah Wi. Kamu belum tahu ceritanya?"
Aku menggelengkan kepala.
***
Kau boleh mendengar cerita ini sambil menikmati makananmu. O, ya, aku sampai lupa. Kau mau minum apa? Air putih? Sebentar, biar aku ambil minuman untukmu.