Setelah mendengar pernyataan nenek barusan. Dia terduduk lemas dikursi taman, beruntung taman ini memiliki air mancur ditengah-tengahnya. Air matanya keluar dengan bebas melewati pipinya. Perasaannya campur aduk tak karuan. Perlahan dia terisak hebat dengan menunduk menyembunyikan kepalanya diantara kedua pergelangan tangannya yang memegang kepalanya. Dalam benaknya bertanya-tanya.
Kenapa?
Kenapa baru sekarang, ma?
Satu jam berlalu, Juan hanya berjalan-jalan disekeliling taman lalu dia duduk dikursi taman kembali, bedanya kursi ini terletak di bawah pohon besar yang menjulang tinggi. Tiba-tiba sepasang kaki seseorang berdiri kaku dihadapannya. Saat dia mendongak betapa terkejutnya dia melihat orang yang selama ini dia rindukan, dengan nyata terpampang jelas dia berdiri dihadapannya. Seorang wanita paruh baya berambut pendek memakai baju pasien khas rumah sakit ini dengan cardigan rajut langsung terduduk lemas kemudian menangis tersedu-sedu. Juan hanya diam tak sanggup berkata-kata.
"Maafin mama Djuanda. Mama minta maaf sayang. Mama menyesal nak. Maafin mama." Ucap sang mama sambil mencoba memegang tangan Juan dengan perlahan.
"Kenapa ma? Kenapa?!" Juan sedikit mengeraskan suaranya. Dengan tatapan yang menyiratkan kesedihan yang mendalam.
"Maafin mama nak." Ucapnya seraya memeluk Juan dengan erat tapi tak Juan balas pelukan mamanya.
Kemudian Juan berdiri hendak pergi meninggalkan mama nya sendirian disana.
"Maaf ma, aku nggak bisa." Begitu kata terakhir yang dia ucapkan.
***
Juan tiba dikamar nenek, dengan lemas dia duduk di sofa lalu berkata. "Nek, aku... bertemu mama tadi."
"Nenek tahu aku sangat terkejut. Tapi kenapa nenek biasa saja sekarang? Atau jangan-jangan nenek sudah menyembunyikan ini dari lama?"
"Tidak Juan, waktu itu nenek mengangkat telepon rumah yang berdering. Dan itu... Suara mama kamu..."