"ketika setiap malam bayang wajahmu selalu menghampiriku,harus kemanakah rinduku ini kulabuhkan?"
Desember 1990
Aroma tanah basah masih tercium dari dalam asrama itu, sisa hujan tadi malam. Sudah lama tidak turun hujan dan tadi malam langit mencurahkan seluruh rahmat-Nya. Suara adzan shubuh sayup-sayup terdengar dari atas menara, beririgan dengan suara kokok  ayam. Terlihat beberapa santri berjalan beriringan menuju masjid yang tidak jauh dari asrama itu. Mereka mengenakan baju koko putih dan sarung hitam lengkap dengan peci putih dikepala mereka. Setelah adzan berkumandang, muadzin mulai melantunkan puji-pujian[1] sambil menunggu pak kyai tiba di masjid. Terlihat dari kejauhan pak kyai berjalan menuju masjid sambil diikuti beberapa santri dibelakangnya. Sholat shubuh pun dilaksanakan dengan khusyu'. Namun, ada hal yang sudah jadi pemandangan yang lumrah disaksikan oleh para santri. Ada seorang santri yang terlambat ikut jama'ah shubuh di masjid. Hampir setiap hari dia terlambat datang ke masjid dan selalu masbuk jama'ah shubuh. Bahkan para pengurus pun sudah kewalahan meladeni santri yang satu ini. Mereka hanya bisa berharap santri ini bisa berubah menjadi lebih baik.
Â
Enam bulan yang laluÂ
Liburan semester 2 telah usai, tahun ajaran baru pun juga sudah dimulai. Begitu juga yang terjadi di Ponpes Roudhatul Jannah. Para santri baru sudah mulai memadati komplek pondok tersebut. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, suara adzan isya' sudah berkumandang. Ini pertanda bahwa orang tua para santri harus pulang meninggalkan mereka. Ada santri yang menangis karena harus berpisah dengan orang tuanya, ada yang biasa saja, ada yang senang. Hal itu sudah biasa bagi santri baru. Setelah sholat isya' selesai, santri baru tidak diizinkan untuk kembali ke asrama terlebih dahulu karena ada beberapa hal yang harus disampaikan oleh pak kyai. Malam itu terasa sangat menyenangkan sekali. Kecuali satu anak yang dari tadi terlihat murung duduk di salah satu sudut masjid. Terlihat dari raut wajahnya yang kusut. Dan kejadian ini akan terus berlangsung hingga ada suatu kejadian yang merubah seluruh kehidupan santri ini beberapa tahun kemudian.
Â
Pasca Ulangan Akhir Semester, Desember 1990
"Masya Allah Qais....!! kamu ini sudah berapa kali aku bilangi? Jangan merokok di sekitar area pondok!" bentak seorang pengurus keamanan yang sudah beberapa kali oleh santri satu ini.
Â
"Ya suka-suka aku lah. Orang juga hidup-hidupku, kok malah kamu yang repot" jawab Qais dengan ketus. Merasa tidak dihargai oleh santri satu ini, pengurus keamanan yang bertugas memberi hukuman bagi yang melanggar peraturan semakin jengkel.
Â
"Ya Allah Gusti... paringi kulo sabar ngladeni santri setunggal niki...[2]" gumam pengurus keamanan itu. Pak kyai yang melihat kejadian ini dari kejauhan hanya bisa berdo'a untuk kebaikan santri ini. Semoga santri ini bisa menjadi lebih baik kedepannya.
Â
"Baiklah kalau begitu. Sebagai konsekuensi karena kamu telah melanggar peraturan, maka kamu harus dihukum. Besok pagi kamu harus membersihkan seluruh kamar mandi santri putri. Harus sampai bersih"
Â
"Halah, itu hal gampang. Sudah hampir setiap minggu juga aku dapat hukuman seperti itu" kata Qais sambil berlalu meninggalkan ruangan kemanan itu. Pengurus keamanan itu hanya bisa mengelus dada menghadapi kelakuan santri ini.
Â
Â
Hukuman yang Menyenangkan
keesokan harinya setelah shubuh, Qais langsung menuju kamar mandi santri putri untuk melaksanakan hukuman atas pelanggaran yang telah dia lakukan. Ya, namanya Qais. Lengkapnya adalah Muhammad Qais, seorang santri yang datang jauh-jauh dari kota ke desa hanya untuk memenuhi keinginan orang tuanya yang ingin melihat Qais menjadi orang yang 'alim. Ya setidaknya bisa mengimami tahlil di rumahnya. Namun, tingkah laku Qais di pondok malah tidak sesuai dengan keinginan orang tuanya. Yah, mungkin karena dia terlalu lama hidup dalam kemewahan. Jadinya dia tidak krasan tinggal di pondok.
Â
Sesampainya di kamar mandi santri putri, Qais langsung mulai menyikat setiap sudut kamar mandi. Tidak peduli banyak santri putri yang berjalan lalu lalang disekitarnya. Tidak peduli dia ditertawakan dan diolok-olok oleh santri putri.
Â
"Ihhh... lihat deh. Malu-maluin pondok kita aja" kata seorang santri putri.
Â
"Iya, malu-maluin pak kyai kita. Di pondok bukannya belajar malah melanggar peraturan" sahut santri putri yang lain.
Â
Semua omongan santri putri tersebut tidak dia hiraukan. Dia tetap dengan enjoy membersihkan kamar mandi. Toh, hitung-hitung buat olahraga. Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa adzan dzuhur sudah berkumandang. Tapi tugas Qais belum selesai, jadi dia memutuskan untuk menyelesaikan tugasnya terlebih dulu, baru kemudian kembali ke asrama. Saat sedang asyik menyikat WC, tiba-tiba  ada santri putri yang ikut membantu Qais membersihkan kamar mandi.
Â
"Sini aku bantu, kelihatannya kamu capek" kata santri putri tersebut
Â
Tapi Qais dengan cepat mencegah santri putri tersebut membantu dirinya, "Tidak usah membantuku. Ini hukumanku jadi aku yang harus mengerjakannya. Lebih baik kamu pergi sholat dzuhur sana"
Â
Tapi santri putri tersebut tetap ingin membantu Qais. Dia merasa kasihan melihat Qais mengerjakan hukuman itu sendirian. Sebenarnya santri putri tersebut sudah sering membantu Qais mengerjakan hukumannya.
Â
"Layla cukup! Kamu tidak usah membantuku lagi. Nanti kamu dihukum pengurus keamanan kalau ketahuan mambantuku", bentak Qais
Â
"Aku hanya ingin membantumu", kata Layla pelan
Â
Karena merasa tidak dihiraukan, akhirnya Qais membiarkan Layla membantunya. Ya, namanya Layla. Seorang santri dari desa yang dikenal sangat ramah dengan semua orang, mudah bergaul dan murah senyum. Sebenarnya Layla sudah lama menyimpan rasa suka pada Qais, tapi dia takut untuk mengutarakan rasa sukanya itu. Dan disisi lain, Qais pun sebenarnya mempunyai rasa yang sama pada Layla. Tapi Qais juga sadar diri akan dirinya. Apalah daya dirinya yang hanya seorang santri nakal yang suka melanggar peraturan. Apakah mungkin dia pantas untuk Layla yang baik hati. Setelah lama saling diam, tiba-tiba Layla berkata kepada Qais
Â
"Qais, sebenarnya aku sudah lama menyukaimu. Tapi aku takut menyampaikan rasaku ini padamu. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk menyampaikan rasaku ini padamu", kata Layla pelan. Mendengar hal itu, hati Qais langsung berdegup kencang. Dia tidak menyangka jika Layla juga rasa yang sama padanya.
Â
"Layla, sebenarnya aku juga punya rasa yang sama padamu."
Â
"Benarkah itu Qais?", tanya Layla
Â
"Benar Layla", kata Qais dengan ramah
Â
"Aku merasa senang mendengar itu Qais"
Setelah itu mereka pun melanjutkan membersihkan kamar mandi sambil sesekali bercanda, saling mencipratkan air satu sama lain. Tak terasa mereka sudah membersihkan kamar mandi selama 2 jam. Setelah dirasa cukup, Qais dan Layla istirahat sebentar. Lalu mereka bercakap-cakap sebentar. Qais, yang mendengar bahwa Layla juga menyukai dirinya ingin ketika lulus dari pondok nanti melamar Layla dan bertemu langsung dengan orang tua Layla. Tetapi Layla meminta syarat, yaitu Layla ingin agar Qais berubah menjadi santri yang baik, santri yang taat pada peraturan dan pak kyai. Layla ingin melihat Qais lulus dari pondok dengan nilai yang baik pula.
"Baiklah, akan aku penuhi semua syaratmu Layla" kata Qais dengan yakin.Â
"Iya Qais. Dan aku ingin kamu memegang janji kita ya Qais"
Terdengar adzan sholat ashar telah berkumandang dari atas menara. Itu pertanda untuk Qais kembali ke asrama. Lalu Qais pamit kepada Layla. Dan mereka pun kembali ke asrama masing-masing dan saling memegang janji mereka.
Â
Namun takdir berkata lain. Qais yang telah lulus dari pondok pesantren merasa sudah tidak punya harapan lagi. Mungkin jika digambarkan, hidup Qais kini seperti pecahan kaca yang sudah tidak dapat disatukan lagi. Hancur berkeping-keping. Dikarenakan mendengar kabar meninggalnya Layla. Layla meninggal karena kanker otak yang dideritanya sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Dan keinginan Qais untuk hidup bersama Layla pun pupus sudah. Qais tidak tau lagi apa yang harus dia lakukan. Hari-harinya hanya diselimuti kesedihan. Dia lebih banyak melamun dan mengurung diri di dalam kamar. Orang tua Qais pun merasa khawatir dengan kondisi Qais saat ini. Namun orang tua Qais juga tidak tahu apa yang harus di lakukan. Akhirnya untuk mengisi hari-harinya yang sedih dan untuk menghibur diri, Qais membuat puisi untuk Layla. Sudah banyak puisi yang dia buat untuk Layla.
Â
Duhai Tuhanku
Adakah malam bisa menyatukan diriku dengan Layla?
Atau biarkan angin malam menyebut namanya
Sebagai ganti pesona parasnya
Karena sama saja bagiku
Melihat Layla atau menatap purnama
Dan Qais berjanji akan terus memegang janji sucinya. Janji untuk selalu mencintai Layla. Untuk nanti dan selamanya.
Â
Â
NB. Cerita diadaptasi dari novel "Layla Majnun" karya Nizami Ganjavi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H