Di tengah semangat mengibarkan bendera “Ungkap, Tebus, Lega” sebagai motto dari tax amnesty, ada baiknya kita memperhatikan pula kendala yang akan dihadapi dari skema ini.
Sehubungan dengan kebijakan tax amnesty, kendala kebangkitan sektor properti adalah kecilnya jumlah pengungkapan harta melalui skema repatriasi. Jika jumlah aset yang dilaporkan melalui skema repatriasi kecil, maka jumlah aset yang akan dialihkan ke instrumen investasi real estate pun semakin kecil.
Hal ini akan menjadi ganjalan bagi bangkitnya sektor properti melalui tax amnesty. Pelonggaran LTV memang dapat menjadi pendorong sektor, namun keberhasilan pelonggaran LTV akan bergantung pada perbankan itu sendiri karena pelonggaran ini bersifat opsional.
Perbankan bisa saja tidak menggunakan opsi tersebut karena memilih kebijakan peningkatan atau mempertahan kualitas aktiva produktif perbankan. Sedangkan kebijakan itu sendiri bergantung dari kondisi NPL (non-performing loan) perbankan.
“Oleh karena itu, perkembangan NPL perbankan dapat menjadi kendala bangkitnya sektor properti,” ungkap Yustinus serius.
Belum lagi dengan kebijakan pemerintah yang mengijinkan WNA untuk membeli properti namun masih ada ketidakjelasan soal status kepemilikan properti oleh WNA. Hal ini bisa menyebakan investor asing ragu membeli properti di Tanah Air.
Sampai kendala dari luar negeri yakni rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat dapat mengerek tingkat suku bunga di dalam negeri. Selain itu, kondisi ekonomi China yang masih belum menentu dapat berdampak terhadap perekonomian Indonesia, terutama sektor komoditas. Jika ekonomi China terus mengalami pelemahan, maka permintaan akan komoditas akan turut melemah mengingat Negeri Panda ini merupakan konsumen komoditas terbesar di dunia.
Terlepas dari kendala yang menghadang, program tax amnesty sudah semestinya bisa dikawal serta diawasi dengan baik dan profesional. Menggunakan istilah “Dinanti sekaligus Dikritisi”, harus diakui bahwa keberhasilan pengampuan pajak secara global lebih sebagai pengecualian ketimbang norma. Potensi kegagalannya pun lebih besar, terutama di negara berkembang.
“Selain itu belum ada fakta empiris yang meyakinkan bahwa pengampunan pajak dijamin berhasil, sehingga hal ini yang menjadi alasan mengapa sedari awal kebijakan ini dikritisi,” imbuh Yustinus.
Sekadar memberi saran, Yustinus menyampaikan bahwa program ini tidak boleh disalahgunakan serta harus diimbangi dengan kejujuran dan komitmen membangun hidup bersama yang lebih baik. Menurutnya, ini adalah kesempatan emas terakhir sebelum penegakan hukum yang tegas dan keras diberlakukan. Tidak ada alasan untuk tidak berpartisipasi dan memanfaatkan, termasuk wajib menghindari upaya-upaya manipulatif yang akan merugikan negara.
“Ini adalah panggilan Ibu Pertiwi bagi seluruh anak bangsa, untuk pulang bergotong royong membangun negeri, menuju kesejahteraan bersama yang dicita-citakan. Momentum AEoI (Automatic Exchange of Information) dan komitmen menangkal praktik penghindaran pajak secara global akan menjadi insentif bagi keberhasilan program ini ,” ujarnya memberi saran.