Mohon tunggu...
Fahmi Alfansi Pane
Fahmi Alfansi Pane Mohon Tunggu... Penulis - Tenaga Ahli DPR RI/ Alumni Magister Sains Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia

Hobi menulis dan membaca, aktif mengamati urusan pertahanan, keamanan, dan politik

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Konflik Laut China Selatan: Ancaman Kedaulatan dan Strategi Mitigasinya

22 Mei 2024   16:43 Diperbarui: 22 Mei 2024   16:49 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Konflik Laut China Selatan: 

Ancaman Kedaulatan dan Strategi Mitigasinya

oleh: Fahmi Alfansi Putra Pane

Anatomi Konflik LCS

            Peluncuran peta resmi baru China tahun 2023 menandai posisi sejati politik luar negeri China terhadap Laut China Selatan (LCS). Bahwa China tetap mengklaim seluruh wilayah perairan LCS, yang berarti mengabaikan klaim seluruh negara lain di kawasan. Beijing terkesan menutup pintu negosiasi untuk penyelesaian sengketa teritorial dan yurisdiksi perairan tersebut. Bahkan, Harian South China Morning Post edisi 16 Mei 2024 mewartakan, pemerintah China memperkuat kewenangan Penjaga Pantai China (China Coast Guard) untuk menahan orang asing yang dicurigai melintasi perbatasan secara ilegal (Inquirer, 17 Mei 2024). 

Dilihat dari peta yang dipublikasikan oleh media Global Times 28 Agustus 2023 pada akun X (dulu Twitter), peta China ditandai dengan sepuluh garis putus-putus; tidak lagi sembilan garis putus-putus (nine dash line), seperti klaimnya selama puluhan tahun sebelumnya. Salah satu garis terlihat dekat dengan perairan Laut Natuna Utara, dan dua garis lainnya berada di utara Kalimantan di sekitar teritori Malaysia dan Brunei Darussalam.

Gambar 1. Peta Sepuluh Garis Putus-putus China di Laut China Selatan

Posisi sejati China berbeda dengan Deklarasi Berperilaku Para Pihak di Laut China Selatan (Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea/ DoC), yang juga ditandatangani China melalui Wang Yi selaku Utusan Khusus dan Wakil Menteri Luar Negeri (kini Menteri Luar Negeri China) bersama sepuluh menteri luar negeri anggota ASEAN pada 4 November 2002. Meskipun DoC tidak sekuat Kode Berperilaku (Code of Conduct/ CoC), namun seperti disebut dalam naskah DoC Angka 8 bahwa "para pihak berjanji untuk menghormati ketentuan Deklarasi ini dan mengambil tindakan yang konsisten dengannya" (The Parties undertake to respect the provisions of this Declaration and take consistent therewith).

Terkait sengketa perairan di LCS, para pihak telah sepakat dengan ketentuan DoC pada Angka 4 yang berbunyi "Para Pihak yang bersangkutan berjanji untuk menyelesaikan sengketa wilayah dan yurisdiksi mereka dengan cara damai, tanpa menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan, melalui konsultasi dan negosiasi persahabatan oleh negara-negara berdaulat yang bersangkutan, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal, termasuk Konvensi PBB tahun 1982 tentang Hukum Laut" (The Parties concerned undertake to resolve their territorial and jurisdictional disputes by peaceful means, without resorting to the threat or use of force, through friendly consultations and negotiations by sovereign states directly concerned, in accordance with universally recognized principles of international law, including the 1982 UN Convention on the Law of the Sea).  

Bahkan, China dan sepuluh negara anggota ASEAN juga sudah menyepakati ketentuan Angka 5 DoC yang berbunyi "Para Pihak berjanji untuk menahan diri dalam melakukan kegiatan yang akan memperumit atau meningkatkan perselisihan dan mempengaruhi perdamaian dan stabilitas termasuk, antara lain, menahan diri dari tindakan menghuni pulau-pulau, terumbu karang, perairan dangkal, teluk, dan fitur-fitur lainnya yang saat ini tidak berpenghuni dan untuk menangani perbedaan mereka dengan cara yang konstruktif" (The Parties undertake to exercise self-restraint in the conduct of activities that would complicate or escalate disputes and affect peace and stability including, among others, refraining from action of inhabiting on the presently uninhabited islands, reefs, shoals, cays, and other features and to handle their differences in a constructive manner).

Akan tetapi, China mengabaikan kesepakatan dalam DoC dan mengambil tindakan unilateral dalam klaim wilayah dan yurisdiksi di LCS. China menduduki puluhan pulau atau batu karang di Kepulauan Spratly, Kepulauan Paracel, dan beberapa batu karang yang lebih kecil.

China juga membangun banyak pulau dan batu karang, mereklamasinya dan melengkapinya dengan beragam fitur buatan di LCS. Menurut data AMTI-CSIS (Asia Maritime Transparency Institute -- Center for Strategic and International Studies), China telah membangun 20 pos terluar (outpost) di Kepulauan Paracel dan tujuh pos terluar di Kepulauan Spratly. Pembangunan pos-pos terluar ini mencakup antara lain, pangkalan militer, landas pacu pesawat, dan lain-lain. Bahkan, China juga mengontrol fitur berupa batu karang, seperti Beting Scarborough/ Panatag, yang jaraknya dengan Filipina hanya 120 mil laut.  

Selain China, negara-negara lain yang mengklaim pulau dan batu karang di LCS adalah Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan, dan Brunei. Mereka juga menduduki dan membangun beragam fasilitas. Data AMTI-CSIS menunjukkan Filipina menduduki/ mengontrol sembilan pulau/karang antara lain, Pulau Nanshan, Beting Second Thomas, dan Karang Commodore. Malaysia menduduki/ mengontrol lima pulau/karang, misalnya Karang Arda Sier/ Terumbu Ubi, Karang Erica/ Terumbu Siput, dan Karang Swallow (Malaysia menyebutnya Pulau Layang-layang). Taiwan menduduki Pulau Itu Aba, sedangkan Brunei belum mengeksekusi klaimnya.

Vietnam malah membangun pos terluar lebih banyak dari China, yakni 49 hingga 51 buah, yang tersebar pada 27 fitur di LCS. AMTI-CSIS menyebut Vietnam juga mengontrol sebagian Kepulauan Spratly, seperti Karang Alison, juga mengontrol Pulau Namyit, Pulau Spratly (bedakan dengan Kepulauan Spratly, Vietnam menyebutnya Dao Truong Sa), hingga fitur buatan Alexandra Bank.   

Selanjutnya, Pengadilan Tetap Arbitrase (Permanent Court of Arbitration/ PCA) telah memutuskan kasus perilaku China di LCS berdasarkan pengaduan Filipina pada 12 Juli 2016. Beberapa putusan penting PCA antara lain, tidak ada basis hukum atas klaim China dalam wilayah perairan laut yang dibatasi oleh sembilan garis putus-putus, yang melebihi hak yang telah diberikan oleh Konvensi Hukum Laut PBB. Selain itu, PCA memutuskan tidak ada hak berdaulat Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE atau landas benua (continental shelf) dari karang, fitur yang timbul tenggelam karena pasang naik/surut air laut, dan fitur buatan, termasuk fitur yang menjadi area penangkapan ikan dan tidak dapat dihuni manusia. Bahkan, PCA menyimpulkan China telah melanggar kewajibannya untuk menahan diri dari memperburuk atau memperluas sengketa antarpihak.

Sayangnya, China tidak pernah menghormati, baik proses peradilan arbitrase maupun putusannya. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir konflik Filipina dan China cenderung meningkat. Kapal-kapal Penjaga Pantai China menganggu kapal Penjaga Pantai Filipina, seperti memotong jalan kapal, dan penembakan meriam air. Gangguan juga dialami oleh kapal nelayan Filipina saat mencari ikan di sekitar Beting Scarborough.

Sengketa dan konflik di LCS akan meluas karena keengganan China mematuhi DoC dan putusan PCA 2016. China kukuh mempertahankan klaimnya dengan otot militernya. Bahkan, dengan kewenangan tambahan Penjaga Pantai China yang akan diberlakukan mulai 15 Juni 2024, sengketa dan konflik di LCS dapat bereskalasi dengan cepat.

Sengketa dan konflik di LCS juga meluas karena keterlibatan negara-negara besar di luar kawasan Asia Tenggara. Pesawat dan kapal perang Amerika Serikat (AS) sering bertemu dengan kapal China, termasuk bermanuver di sekitar pangkalan luar China di LCS. Negara tersebut selalu menekankan adanya kebebasan bernavigasi di laut dan udara, meskipun belum menandatangani dan meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Salah satu perkembangan terbaru adalah penempatan rudal jarak menengah Typhon AS di Luzon Utara, Filipina yang digunakan dalam Latihan Salaknib 2024 (Kompas, 17 April 2024). Tidak begitu jelas apakah rudal tersebut masih ditempatkan di sana usai latihan. Namun, manuver itu dilakukan bersamaan dengan penambahan pangkalan militer AS melalui skema EDCA (Enhanced Defense Cooperation Agreement), sehingga kemungkinan itu terbuka.  

Dampak Konflik LCS terhadap Kedaulatan Indonesia

Konflik LCS dapat berdampak terhadap kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di LCS. Bahkan, jika konflik LCS bereskalasi menjadi perang terbuka berskala penuh dan melibatkan negara-negara besar (major powers), ancaman terhadap kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia dapat melampaui wilayah LCS, termasuk pusat pemerintahan dan perekonomian Indonesia.

Penyebab konflik LCS berdampak terhadap kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di LCS adalah sebagai berikut:

Pertama, meski China tidak mengklaim pulau-pulau di Kepulauan Natuna, Indonesia, tapi peta China dengan sembilan atau sepuluh garis putus-putusnya memotong sebagian perairan Laut Natuna Utara. Oleh karena peta China, baik yang terdahulu maupun yang dirilis tahun 2023, tidak disertai dengan titik koordinat garis putus-putus tersebut, maka klaim China dapat memotong sebagian ZEE Indonesia, yang berarti menganggu hak berdaulat Indonesia. Bahkan, karena klaim China dapat memotong sebagian laut wilayah Indonesia, kedaulatan Indonesia pun dapat terancam.

Ancaman terhadap kedaulatan, atau minimal hak berdaulat Indonesia, terbukti saat kapal-kapal nelayan China mencari ikan di perairan Natuna, dan dilindungi oleh kapal-kapal Penjaga Pantai China. Pada Mei 2016 misalnya, KRI-354 Oswald Siahaan menembak di kanan dan kiri haluan kapal pencari ikan China Gui Bei Yu dan menangkapnya karena terbukti mencuri ikan di ZEE Indonesia.

Bahkan, 18 Juni 2016 KRI-383 Imam Bonjol menghadapi selusin kapal penangkap ikan China yang didukung oleh kapal pengawas China. Salah satu kapal nelayan China, Han Tan Cou, dapat ditangkap, namun berkali-kali kapal pengawas China memaksa dan mengganggu KRI Imam Bonjol agar melepaskannya. Perkembangan situasi saat itu bahkan kemudian mendorong Presiden Indonesia Joko Widodo menggelar rapat di KRI Imam Bonjol di perairan Natuna pada 23 Juni 2016 bersama para menteri, termasuk Panglima TNI dan Kepala Staf TNI AL.

  Kedua, sengketa dan konflik di LCS tidak hanya melibatkan negara-negara pengklaim wilayah, atau negara yang wilayahnya beririsan dengan LCS, seperti Indonesia, tapi juga negara-negara besar, terutama AS. Kehadiran AS dalam persoalan LCS juga melibatkan negara-negara sekutunya Inggris dan Australia melalui forum AUKUS (Australia, Inggris, dan Amerika Serikat).

Secara resmi dan eksplisit, kerja sama keamanan trilateral AUKUS yang berdiri 15 September 2021 itu tidak ditujukan untuk menghadapi China. Bahkan, "korban" pertama AUKUS adalah Perancis karena Australia membatalkan pengadaan kapal selam buatan Perancis, dan menggantinya dengan kapal selam bertenaga nuklir dengan dukungan AS dan Inggris.

Namun, sesudah AUKUS berdiri, interaksi pertentangan antara AS dan sekutunya dengan China semakin banyak, baik di LCS maupun kawasan lain di Indo-Pasifik, seperti kawasan Pasifik Selatan. Selain itu, melalui Pilar 2 AUKUS, ketiga negara bekerja sama untuk menghadapi kebangkitan teknologi China, antara lain pada kapabilitas siber, kecerdasan artifisial, teknologi kuantum, dan kapabilitas bawah laut. 

Pola kemitraan keamanan trilateral AUKUS diulangi lagi dengan kemitraan AS, Jepang, dan Filipina, yang dideklarasikan 12 April 2024. Sesudah pertemuan tiga kepala negara AS, Jepang, dan Filipina muncul pernyataan visi bersama bahwa ketiga negara menyatakan antara lain, menentang keras penggunaan kapal penjaga pantai dan milisi maritim China secara berbahaya dan koersif di LCS, sebagaimana usaha-usaha menghalangi negara-negara lain untuk mengeksploitasi sumber daya di sana. AS dan Jepang juga membantu Penjaga Pantai Filipina dengan 12 kapal penjaga pantai dan lima kapal tambahan lainnya. Penjaga Pantai ketiga negara juga akan berpatroli dan latihan bersama tahun ini. Ketiganya juga akan membentuk Kemitraan Indo-Pasifik untuk Kesadaran Wilayah Maritim (Indo-Pacific Partnership for Maritime Domain Awareness/ IPMDA). Sejauhmana kesepakatan trilateral tersebut mendorong sengketa dan konflik di kawasan LCS, atau justru dapat meredakannya, akan tergantung aksi dan reaksi masing-masing pihak, termasuk Indonesia.

Melihat status Australia, Jepang, dan Filipina sebagai sekutu utama AS yang bukan Anggota NATO (US Major Non-NATO Allies/ MNNA), dan ketiganya dilibatkan dalam dua kerja sama keamanan trilateral, sangat mungkin AS akan memperluas kerja sama tersebut dengan negara-negara MNNA yang berada di kawasan Asia Tenggara, atau bahkan Indo-Pasifik. Merujuk pada data Badan Kerja Sama Pertahanan Keamanan AS (Defense Security Cooperation Agency/ DSCA), saat ini ada 18 negara yang tergolong MNNA, tidak termasuk Taiwan yang tidak disebut secara formal sebagai MNNA (Data selengkapnya pada https://samm.dsca.mil/glossary/major-non-nato-allies). Negara-negara yang berada di Asia Tenggara dan/ atau Indo-Pasifik adalah Selandia Baru (New Zealand), Pakistan, Korea Selatan, dan Thailand. Tampaknya, Korea Selatan dan Thailand menjadi calon sekutu AS yang akan dilibatkan lebih dalam pada forum-forum serupa, baik karena kapasitas teknologi (Korea Selatan) maupun letak geografisnya (Thailand).

Sebenarnya, Inggris lebih dulu membangun forum kerja sama pertahanan bernama Five Power Defence Arrangements (FPDA) bersama empat negara Persemakmuran, yaitu Australia, Malaysia, Singapura, dan Selandia Baru. Secara umum kelima negara sepakat akan berkonsultasi bersama jika ada ancaman bersenjata terhadap anggota FPDA. Meski tidak eksplisit menyebut FPDA sebagai aliansi pertahanan seperti NATO, tapi secara rutin FPDA menggelar latihan militer dan mempunyai markas besar di Pangkalan Udara di Butterworth, Malaysia, dan Pangkalan Udara di Sembawang, Singapura.

Pada sisi lain, China juga menjalin kemitraan keamanan dengan Kamboja. Negara anggota ASEAN itu mendapat bantuan China, baik untuk infrastruktur sipil, seperti bandara baru Siem Reap, maupun fasilitas militer, seperti modernisasi pangkalan laut di Ream. Awal Desember 2023 dua kapal korvet China mengunjungi pangkalan ini untuk pertama kalinya (CNN, 6 Desember 2023). Meskipun sempat ada tuduhan bahwa Pangkalan Ream akan menjadi pangkalan China, tapi konstitusi Kamboja melarang wilayahnya dijadikan pangkalan militer asing.

Ironisnya, justru di Filipina militer asing ditempatkan secara berkala. Rilis Departemen Pertahanan AS 3 April 2023 menyatakan ada sembilan lokasi atau bertambah empat lokasi penempatan tentara AS dan Filipina melalui skema Enhanced Defense Cooperation Arrangement (EDCA).[1] Rilis Kedubes AS di Filipina menyatakan, EDCA memungkinkan kedua militer untuk berlatih bersama, merespon bencana alam dan krisis kemanusiaan, serta modernisasi militer[2]. Dari kedua rilis diperoleh data bahwa kesembilan lokasi EDCA adalah Pangkalan Magsaysay, Nueva Ecija; Pangkalan Udara Basa, Pampanga; Pangkalan Udara Antonio Bautista, Palawan; Pangkalan Udara Mactan-Benito Abuen, Cebu; Pangkalan Udara Lumbia, Cagayan de Oro. Lalu, empat lokasi EDCA yang baru adalah Pangkalan Laut Camilo Osias, Santa Ana, Cagayan; Kamp Melchor Dela Cruz, Gamu, Isabela; Pulau Balabac, Palawan; dan Bandara Lal-lo, Cagayan.    

 

Kehadiran aliansi pertahanan atau forum keamanan bersama dapat mendorong terjadinya perang, atau sebaliknya mencegah perang atau serangan terhadap anggota aliansi. Serangan Rusia terhadap Ukraina misalnya, terjadi salah satunya karena ekspansi NATO yang dianggap mengancam wilayah Rusia. Namun, bagi negara-negara Skandinavia yang baru bergabung dengan NATO, yaitu Finlandia dan Swedia, NATO justru dianggap mencegah perang, atau serangan lawan terhadap negaranya.

 

Secara teoritis, Carolesi, Rasler, dan Thompson dalam "Strategic Rivalries in World Politics: Position, Space, and Conflict Escalation" (2007), menyatakan aliansi-aliansi (pertahanan) lebih sering diikuti oleh perang daripada perdamaian (alliances are more frequently followed by war than by peace). Aliansi-aliansi yang melibatkan negara-negara besar lebih rentan terhadap perang daripada aliansi tanpa negara-negara besar (alliances involving major states are more war-prone than alliances without major states) (hal. 224).

 

Teori aliansi pertahanan cenderung menyebabkan terjadinya perang didukung oleh teori penyebab perang yang dikemukakan oleh Van Evera dalam "Causes of War: Power and Roots of Conflict" (1999). Dari beberapa penyebab perang menurut Van Evera, faktor yang terkait dengan LCS adalah sumber daya yang terakumulasi (cumulative resources). Menurutnya, perang itu lebih mungkin terjadi ketika pengendalian sumber daya memungkinkan pelindungan atau pengambilan sumber daya lainnya (war is more likely when the control of resources enables the protection or acquisition of other resources) (hal. 105).

 

Dalam konteks LCS, penguasaan atau kontrol suatu negara terhadap suatu pulau, atau karang/beting dapat mengakumulasi penguasaan sumber daya lainnya, mulai dari pertambahan luas perairan yurisdiksi meskipun belum tentu sejalan dengan Konvensi Hukum Laut, penguasaan sumber daya perikanan, potensi migas, hingga pangkalan militer sebagai pangkalan aju, dukungan logistik, dan landas pacu pesawat militer. China telah membuktikan akumulasi sumber daya tersebut dengan menguasai banyak pulau dan karang/beting di LCS, lalu mereklamasinya. Sebagian pulau/karang di LCS juga telah dieksplorasi potensi migasnya, meskipun hingga ini belum dilakukan eksploitasi migas lepas pantai.

 

Lebih dari itu, sebagian pulau/karang dijadikan sebagai pangkalan militer dan menempatkan sistem senjata rudal/roket di pangkalan luar tersebut. Misalnya, China telah menempatkan rudal permukaan ke udara (surface to air missile) di Fiery Cross, Mischief, dan Karang Subi (AMTI-CSIS, 23 Februari 2017).[3] 

 

Risiko terjadi peningkatan konflik akan membesar saat pesawat militer negara besar berpapasan atau bermanuver dekat dengan pulau/karang yang dipersengketakan. Pada 26 Februari 2023 misalnya, pesawat mata-mata AS yang berada 50 kilometer dari Kepulauan Paracel dihadang pesawat tempur China bersenjata rudal dan diperingatkan untuk tidak mendekati wilayah perairan/udara China (CNN, 23 Februari 2023).

 

 Ketiga, konflik di LCS juga dapat mengancam kedaulatan Indonesia karena adanya rencana pemindahan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke Nusantara, yang berada di area Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Posisi IKN tersebut sangat dekat dengan perairan Laut Sulawesi dan Selat Makassar yang termasuk Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II. Hal ini sesuai dengan Konvensi Hukum Laut PBB Pasal 53 sebagai konsekuensi pengakuan internasional atas status Indonesia sebagai negara kepulauan.

 

Indonesia harus menyediakan ALKI II, sebagaimana ALKI I dan ALKI III, sebagai perairan internasional untuk lintas kapal dan pesawat sepanjang dilakukan dengan damai (innocent passage), yaitu tidak merugikan terhadap tujuan damai, tata yang baik, serta keamanan negara pantai (Pasal 19). Masalahnya, dalam pasal tersebut juga diperinci beberapa kegiatan atau situasi yang dapat merugikan negara pantai, seperti ancaman atau penggunaan kekerasan yang bertentangan dengan kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kebebasan politis negara pantai (Ayat 2 huruf a), aksi propaganda untuk memengaruhi pertahanan atau keamanan negara pantai (Ayat 2 huruf d), atau misalnya peluncuran, pendaratan, atau menaikkan peralatan militer ke kapal (Ayat 2 huruf f). Risiko-risiko pelanggaran hak lintas damai tersebut akan muncul saat terjadi perang konvensional antarnegara, atau bahkan dapat muncul saat seperti sekarang terjadi peningkatan konflik dan sengketa antarnegara di Indo-Pasifik.   

 

Meski tidak sesering di LCS, insiden antarpesawat atau kapal militer China dan rival Baratnya juga terjadi di perairan sekitar Indonesia. Pada 11 Februari 2022 sepasang kapal militer China bertemu dengan kapal fregat Australia di Selat Makassar, lalu bersua dengan pesawat mata-mata Australia P-8A Poseidon di Laut Arafura. Australia menuduh China menembakkan senjata laser ke pesawatnya, sedangkan China mengklaim pesawat tersebut dapat memburu kapal selam dan menjatuhkan sonobuoy berantena ke dekat kapalnya (defensenews, 22 Februari 2022)[4]. 

 

Kejadian-kejadian di atas dapat disebut berhubungan dengan ALKI II karena kapal atau pesawat militer negara-negara tersebut sebelum atau sesudahnya melewati ALKI II. Ini menunjukkan saat ini sudah terjadi risiko pelanggaran hak lintas damai, meskipun belum terjadi perang konvensional. 

 

Peningkatan ancaman konflik LCS terhadap kedaulatan Indonesia juga terlihat dari latihan dan persiapan Angkatan Darat AS yang misinya adalah mencegah China mengontrol LCS. Dalam berita yang dimuat Military Times edisi 10 Maret 2022 berjudul "Training for war at the Army War College"[5] sepintas tidak ada kaitan langsung dengan Indonesia. Tapi, begitu melihat foto berita tersebut yang menunjukkan skenario perang yang dilatihkan pada US Army War College di Barak Carlisle, Pennsylvania pada pekan pertama Maret 2022 terlihat jelas peta Indonesia dan LCS. Bahkan, ada satu penanda diletakkan di sekitar Laut Bali atau ujung selatan Selat Makassar yang merupakan bagian atau terusan ALKI II. Sebagian besar penanda di peta memang diletakkan di LCS. Hal ini menunjukkan adanya skenario atau persiapan militer AS dalam rivalitas strategisnya dengan China untuk memanfaatkan atau setidaknya mengantisipasi perkembangan di ALKI II, yang berdekatan dengan lokasi IKN di Kalimantan Timur.  

 

Gambar 2. Seminar latihan perang di Laut China Selatan yang dilakukan pada US Army War College di Barak Carlisle, Pennsylvania, Maret 2022.

 

Sumber foto: Military Times

 

 

 

 

 

Strategi Mitigasi Konflik

 

            Untuk memitigasi atau meredakan konflik di LCS dan mengurangi dampak ancamannya terhadap kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia, beberapa saran yang perlu dipertimbangkan para pengambil keputusan strategis Indonesia adalah sebagai berikut.

 

            Pertama, Indonesia perlu memperkuat diplomasi pertahanan dan militer, baik melalui jalur satu diplomasi (pejabat resmi pemerintah), jalur dua diplomasi (diplomasi informal oleh kelompok masyarakat, akademisi/peneliti, jurnalis, dan lain-lain), maupun diplomasi jalur 1,5 yang merupakan kombinasi jalur satu dan dua. Diplomasi pertahanan dan militer juga dapat dijalankan secara bilateral/trilateral, dan multilateral.

 

Diplomasi pertahanan secara bilateral paling mutakhir adalah kunjungan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ke China, Jepang, dan Malaysia pada awal April 2024. Kunjungan Menhan yang juga Presiden terpilih 2024-2029 tersebut menunjukkan strategi penyeimbangan dalam menciptakan stabilitas kawasan Indo-Pasifik karena Prabowo mengunjungi China di satu sisi, dan pada sisi lain mengunjungi Jepang dan Malaysia. Diplomasi penyeimbangan antarblok seperti ini perlu dilakukan di masa depan sehingga sengketa teritorial di LCS dapat dimitigasi.     

 

Diplomasi pertahanan juga dapat dilakukan melalui organisasi mapan seperti ASEAN, baik melalui forum pertemuan Menteri Pertahanan se-ASEAN (ASEAN Defence Ministerial Meeting/ADMM), maupun forum pertemuan Menteri Pertahanan se-ASEAN Plus negara-negara mitra dialog ASEAN (ADMM Plus). Saat ini mitra dialog ASEAN berjumlah delapan negara. Para mitra dialog dalam ADMM Plus adalah Australia, China, India, Jepang, New Zealand/Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia, dan AS. Diplomasi pertahanan multilateral ASEAN ini juga memperlihatkan model diplomasi penyeimbangan antarblok, baik AS dan sekutunya, maupun China dan Rusia.   

 

Forum ADMM juga berguna untuk memperkuat sentralitas ASEAN bidang pertahanan dan keamanan, termasuk memperkuat kesepahaman dalam perumusan Kode Berperilaku di Laut China Selatan (Code of Conduct/CoC). Adapun ADMM Plus menjadi forum ASEAN untuk berdiplomasi lebih terbuka di antara negara-negara besar yang berkompetisi di LCS, seperti AS, Australia, Jepang dengan China. Terlebih, dalam situs ASEAN juga disebutkan fokus ADMM Plus saat ini bekerja sama dalam tujuh bidang, yaitu keamanan maritim, kontraterorisme, bantuan kemanusiaan dan manajemen bencana, operasi pemelihara perdamaian, kedokteran militer, penanganan ranjau, dan keamanan siber (selengkapnya lihat https://admm.asean.org/index.php/about-admm/about-admm-plus.html). Sekurang-kurangnya ADMM Plus dapat dimanfaatkan memitigasi risiko konflik di LCS melalui pembicaraan mengenai keamanan maritim, bantuan kemanusiaan dan manajemen bencana, operasi pemelihara perdamaian, dan kedokteran militer.

Lebih dari itu, diplomasi pertahanan meredam risiko konflik LCS dapat dilakukan melalui pertemuan-pertemuan internasional bidang pertahanan dan keamanan, semacam Jakarta International Defense Dialogue (JIDD) yang pernah digelar di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Shangri-La Dialogue di Singapura, dan sebagainya. Pada Shangri-La Dialogue Juni 2022, Menteri Pertahanan Prabowo duduk semeja dengan Menteri Pertahanan China dan AS. Ini memberi kesempatan untuk dialog yang lebih cair guna meningkatkan kepercayaan satu sama lain. Seyogianya pemerintah Indonesia mendatang mempertimbangkan penyelenggaraan kembali JIDD untuk memperkuat diplomasi pertahanan Indonesia.   

            Hampir sebangun dengan diplomasi pertahanan, diplomasi militer yang dijalankan TNI juga dapat menjadi strategi mitigasi konflik LCS. Selama ini TNI menjalankannya melalui pertemuan petinggi militer, latihan militer bersama, pertukaran perwira siswa, dan sebagainya. Salah satu latihan militer yang rutin dilakukan setiap tahun adalah Super Garuda Shield (dulu bernama Garuda Shield) yang awalnya latihan militer bilateral antara Angkatan Darat Indonesia dan AS, lalu berkembang menjadi latihan militer multilateral dengan beberapa negara pengamat. Saat disebut Super Garuda Shield, latihan multilateral ini menjadi latihan militer gabungan antarmatra.

            Indonesia juga menggelar rutin Latihan Multilateral Laut Komodo (Multilateral Naval Exercise Komodo/MNEK). Latihan Komodo mampu mengikutsertakan negara-negara besar, seperti AS, China, dan Rusia seperti MNEK tahun 2023, seperti juga tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan diplomasi pertahanan dan militer Indonesia mampu melibatkan negara-negara besar yang berbeda kubu.

            Dengan kepemimpinan Indonesia juga dapat digelar latihan militer bersama ASEAN pertama kalinya pada September 2023 dengan sandi Asex-01 Natuna, yang bertempat di perairan Natuna. Latihan ini mengambil aspek keamanan maritim dan penanggulangan bencama (detik.com, 19 September 2023).

Diplomasi pertahanan dan militer ini dapat melengkapi diplomasi konvensional yang menjadi tugas pokok Kementerian Luar Negeri. Diplomasi makin penting karena meski sengketanya belum tentu tertuntaskan, sepanjang masih ada komunikasi dan negosiasi, perang terbuka berskala penuh akan terhindarkan.   

            Kedua, percepatan pembangunan postur pertahanan. Indonesia boleh berharap yang terbaik yang akan terjadi di kawasan LCS, yakni sengketa diselesaikan secara damai melalui perundingan dan diplomasi. Namun, Indonesia juga harus bersiap jika situasi terburuk terjadi, yaitu pecah perang terbuka.

            Terlebih, Wakil Menteri Pertahanan Herindra pernah menyatakan Indonesia belum siap menghadapi perang Indo-Pasifik (Kompas, 1 Maret 2024). Meskipun kesiapan tempur itu tidak berarti Indonesia akan berperang, tapi minimal Indonesia harus mampu mengamankan wilayahnya dan perairan internasional yang melewati wilayah Indonesia, utamanya ALKI II. Indonesia harus memiliki armada laut dan udara yang dapat menciptakan efek penggetar (deterrent effect), sehingga negara mana pun tidak berani menciptakan konflik bersenjata di ALKI II dan sekitarnya.

            Sejak tahun anggaran 2010 hingga 2024 Indonesia menjalankan pembangunan postur pertahanan dengan target minimum essential force (MEF) atau skala kekuatan pokok minimum. Namun, pada Rapat Pimpinan TNI 2023 disampaikan bahwa pencapaian pembangunan MEF TNI ketiga matra adalah 65,06 persen. Adapun pencapaian MEF untuk TNI AD 77,38 persen, TNI AL 66,29 persen, dan TNI AU 51,51 persen (Kompas, 10 Maret 2023, selengkapnya pada link https://nasional.kompas.com/read/2023/03/10/11381291/minimum-essential-force-2024-harapan-panglima-tni-tetap-100-persen-tapi?page=all).

            Oleh karena pencapaian pembangunan postur MEF TNI baru sekitar 65 persen pada 2023, maka pada akhir tahun anggaran 2024 atau akhir tahapan pembangunan MEF diperkirakan skala MEF tidak akan tercapai. Konsekuensinya, pembangunan postur pertahanan pada periode 2024-2029 mestinya dipercepat, terlepas masih memakai skala MEF atau membuat perencanaan target postur yang baru. Ini juga berarti pemerintahan mendatang perlu berani membuat terobosan untuk mempercepat pencapaian postur pertahanan yang memadai, seperti menaikkan anggaran pertahanan sekitar satu hingga 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (GDP). Selama ini anggaran pertahanan berkisar 0,7 hingga 0,8 persen dari GDP.

            Terobosan lain adalah merancang ulang postur pertahanan dengan menimbang perkembangan teknologi kendaraan nirawak (drone), baik darat, udara, permukaan air maupun bawah permukaan air. Biaya drone sangat murah dibandingkan alat utama sistem senjata (alutsista) konvensional, seperti tank tempur utama, kapal permukaan, pesawat tempur, dan lain-lain. Namun, dalam perang Nagorno Karabakh antara Azerbaijan dan Armenia, serta perang Rusia-Ukraina, drone banyak melumpuhkan tank.

Menurut Halem (2023) dalam jurnal Parameters edisi Winter 2023-24 berjudul Ukraine's Lessons for Future Combat: Unmanned Aerial Systems and Deep Strike, drone kecil berukuran kurang dari semeter dengan jangkauan sekitar lima kilometer dapat memantau jarak dekat dan menjadi drone bunuh diri (loitering munition) berharga kurang dari seribu dolar. Adapun drone medium dengan ukuran semeter berjangkauan enam kilometer dapat membawa munisi ringan dan berbiaya seribu hingga sepuluh ribu dolar. Bandingkan harga drone dengan satu unit tank tempur utama Leopard 2A5 yang mencapai sepuluh juta dolar/ unit.         

            Pembangunan postur pertahanan juga perlu diselaraskan dengan Strategi Pertahanan Nusantara. Dalam tulisan Opini Kompas 5 Oktober 2023, Panglima TNI saat itu Laksamana Yudo Margono menjelaskan, strategi ini memanfaatkan bentuk negara kepulauan untuk menyatukan kekuatan pemukul darat, laut, dan udara yang terkonsentrasi di beberapa pulau besar. Karena itu, dibutuhkan alutsista TNI AL dan TNI AU sebagai unsur lindung dan unsur angkut kekuatan pemukul TNI AD ke wilayah operasi yang ditentukan.

            Strategi pertahanan nusantara yang dilengkapi dengan percepatan pembangunan postur pertahanan matra laut dan udara dapat mengatasi konflik LCS karena wilayah operasinya mayoritas di perairan laut dan ruang udara di atas laut. Hanya jika musuh atau ancaman militer/ kelompok bersenjata telah memasuki pulau-pulau di sekitar LCS, seperti Natuna dan Batam, maka peran matra darat menjadi dominan. Karena itu, pembangunan postur pertahanan yang perlu disegerakan adalah penambahan alutsista matra laut dan udara, modernisasinya, serta pengembangan kemampuan matra laut dan udara, tanpa mengabaikan pengembangan matra darat. Terlebih, dalam pencapaian pembangunan MEF pun, matra laut dan udara tertinggal dari matra darat.

            Ketiga, strategi mitigasi ketiga adalah pengembangan penjaga pantai (coast guard) Indonesia untuk mengatasi risiko eskalasi konflik di LCS. Namun, pengembangan penjaga pantai dilakukan secara paralel dengan pembangunan postur pertahanan laut, serta penggunaan kekuatan laut.  

Strategi ini perlu dilakukan karena konflik di LCS bersifat abu-abu (gray area), yang berarti situasinya berada di antara perang dan damai. Di satu sisi sengketa teritorial seharusnya diselesaikan secara hukum atau perundingan. Namun, di sisi lain kekuatan fisik, seperti kapal penjaga pantai, bahkan kapal perang dan pesawat militer, juga digunakan.

Pelanggaran wilayah kedaulatan, atau area yurisdiksi negara tertentu, sebenarnya terkategori urusan keamanan maritim. Negara-negara yang bersengketa di LCS harusnya hanya menggerakkan kapal-kapal penjaga pantai, polisi air, atau pengawas perikanan. Namun, baik negara kawasan, maupun negara di luar kawasan, malah memakai kapal perang, baik untuk deterrence (menggetarkan rival), maupun reassurance (meyakinkan mitra/sekutu).  

Indonesia masih menggunakan kapal TNI AL dalam menangkap kapal pencuri ikan, seperti kasus tahun 2016 yang diungkap di atas, antara lain, karena kurangnya armada institusi kelautan lain. Dalam hal ini, TNI AL berwenang melakukan penegakan hukum di laut sesuai Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal 9 huruf b. Namun, armada penjaga pantai juga diperlukan, terutama saat pihak asing menggunakan kapal penjaga pantai. Selain itu, selama kapal penjaga pantai atau pengawas perikanan dapat menunaikan tugasnya, penggunaan kapal militer perlu dihindari untuk menghindarkan eskalasi konflik. Kapal perang dapat digunakan jika pihak asing melakukan hal serupa. Sekurang-kurangnya kapal perang menjadi pendukung patroli keamanan maritim.   

Ironisnya, selama ini tidak jelas lembaga mana yang berperan sebagai penjaga pantai. Pada Rencana Strategis Badan Keamanan Laut (Bakamla) Tahun 2020-2024 Revisi yang ditetapkan oleh Kepala Bakamla pada 11 Agustus 2023 terungkap ada dualisme antara Bakamla sebagai penjaga pantai Indonesia (Indonesia Coast Guard) dengan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Kementerian Perhubungan (hal. 78). Tugas, fungsi dan wewenang Bakamla didasari oleh UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Adapun tugas, fungsi, dan wewenang KPLP didasari oleh UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, khususnya Pasal 276 hingga Pasal 281. Kewenangan tambahan KPLP terkait pembuangan limbah di perairan terdapat pada Pasal 239. Bahkan, Pasal 346 UU Pelayaran memberikan dasar hukum untuk penguatan KPLP, yang dalam UU disebut sebagai Penjagaan Laut dan Pantai; tanpa menyebut frase Kesatuan. Tumpah tindih hukum hingga level undang-undang dapat menyandera pengembangan penjaga pantai Indonesia, termasuk Bakamla.  

            Pemerintah sudah berencana membuat undang-undang omnibus bidang kelautan. Namun, rencana tersebut belum berlanjut. Belum ada pula satu pun naskah Rancangan Undang-undang itu yang tiba di DPR RI. Ini menunjukkan masih tajamnya perbedaan pandangan di antara kementerian/lembaga mengenai kelembagaan penjaga pantai.

            Keempat, mengintensifkan penyelesaian draf Kode Berperilaku di Laut China Selatan (CoC) agar mendapat persetujuan seluruh negara Anggota ASEAN dan China. Secara longgar, CoC ditargetkan selesai pada 2026. Namun, mengingat target-target waktu penyelesaian sebelumnya terlewati, diperlukan ikhtiar lebih keras dari Indonesia selaku negara terbesar di ASEAN. Sentralitas ASEAN dalam penyelesaian CoC sangat tergantung kepiawaian Indonesia dalam menjembati perbedaan kepentingan antarnegara anggota ASEAN dan China.  

Sebelumnya, sepuluh negara Anggota ASEAN dan China telah menyepakati DoC tahun 2002. Persetujuan CoC, yang lebih mengikat dan implementatif daripada DoC, mestinya akan lebih menertibkan interaksi negara-negara di kawasan LCS, termasuk negara luar kawasan. Indonesia perlu meyakinkan China sebagai negara mitra ASEAN bahwa penyelesaian CoC adalah lebih baik daripada menghadapi intervensi negara luar kawasan dengan militer. Terlebih, beberapa negara anggota ASEAN adalah sekutu AS, sehingga penyelesaian CoC sebagai mitigasi konflik LCS adalah solusi realistis daripada mendorong kawasan LCS menjadi area konflik bersenjata berskala penuh.

            Namun, dengan adanya usulan strategi pertama, kedua, dan ketiga juga menunjukkan strategi penyelesaian CoC ini menuntut dukungan kekuatan lain, baik diplomasi, militer dan keamanan maritim, maupun kepatuhan terhadap hukum-hukum internasional, seperti UNCLOS. Tanpa itu, CoC hanya akan menjadi kesepakatan di atas kertas, dan tidak dihormati di lapangan. Terlebih, melihat kesepakatan DoC juga banyak dilanggar, maka penerapan keempat strategi ini sekaligus akan lebih menjamin keberhasilan mitigasi konflik LCS.    

           

Kesimpulan

            Sengketa wilayah dan yurisdiksi di LCS dapat berkembang menjadi konflik bersenjata terbuka. Walaupun Indonesia tidak terlibat langsung dalam konflik, dampaknya signifikan terhadap kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia karena pertama, klaim peta China memotong sebagian perairan wilayah atau yurisdiksi Indonesia. Kedua, sengketa LCS melibatkan negara-negara besar di luar kawasan. Ketiga, Indonesia berencana memindahkan ibu kota negara ke wilayah yang dekat dengan ALKI II, yang merupakan perairan internasional, dan sering menjadi pelintasan kapal militer, baik China, maupun AS dan sekutunya.   

Karena itu, diusulkan strategi mitigasi risiko konflik tersebut, yaitu pertama, memperkuat diplomasi pertahanan dan militer. Kedua, percepatan pembangunan postur pertahanan. Ketiga, pengembangan penjaga pantai Indonesia. Keempat, penyelesaian Kode Berperilaku di Laut China Selatan (CoC).            

#KedaulatanIndonesia

#JagaNatuna

#LombaISDS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun