Mohon tunggu...
Fahmi Alfansi Pane
Fahmi Alfansi Pane Mohon Tunggu... Penulis - Tenaga Ahli DPR RI/ Alumni Magister Sains Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia

Hobi menulis dan membaca, aktif mengamati urusan pertahanan, keamanan, dan politik

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Konflik Laut China Selatan: Ancaman Kedaulatan dan Strategi Mitigasinya

22 Mei 2024   16:43 Diperbarui: 22 Mei 2024   16:49 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

China juga membangun banyak pulau dan batu karang, mereklamasinya dan melengkapinya dengan beragam fitur buatan di LCS. Menurut data AMTI-CSIS (Asia Maritime Transparency Institute -- Center for Strategic and International Studies), China telah membangun 20 pos terluar (outpost) di Kepulauan Paracel dan tujuh pos terluar di Kepulauan Spratly. Pembangunan pos-pos terluar ini mencakup antara lain, pangkalan militer, landas pacu pesawat, dan lain-lain. Bahkan, China juga mengontrol fitur berupa batu karang, seperti Beting Scarborough/ Panatag, yang jaraknya dengan Filipina hanya 120 mil laut.  

Selain China, negara-negara lain yang mengklaim pulau dan batu karang di LCS adalah Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan, dan Brunei. Mereka juga menduduki dan membangun beragam fasilitas. Data AMTI-CSIS menunjukkan Filipina menduduki/ mengontrol sembilan pulau/karang antara lain, Pulau Nanshan, Beting Second Thomas, dan Karang Commodore. Malaysia menduduki/ mengontrol lima pulau/karang, misalnya Karang Arda Sier/ Terumbu Ubi, Karang Erica/ Terumbu Siput, dan Karang Swallow (Malaysia menyebutnya Pulau Layang-layang). Taiwan menduduki Pulau Itu Aba, sedangkan Brunei belum mengeksekusi klaimnya.

Vietnam malah membangun pos terluar lebih banyak dari China, yakni 49 hingga 51 buah, yang tersebar pada 27 fitur di LCS. AMTI-CSIS menyebut Vietnam juga mengontrol sebagian Kepulauan Spratly, seperti Karang Alison, juga mengontrol Pulau Namyit, Pulau Spratly (bedakan dengan Kepulauan Spratly, Vietnam menyebutnya Dao Truong Sa), hingga fitur buatan Alexandra Bank.   

Selanjutnya, Pengadilan Tetap Arbitrase (Permanent Court of Arbitration/ PCA) telah memutuskan kasus perilaku China di LCS berdasarkan pengaduan Filipina pada 12 Juli 2016. Beberapa putusan penting PCA antara lain, tidak ada basis hukum atas klaim China dalam wilayah perairan laut yang dibatasi oleh sembilan garis putus-putus, yang melebihi hak yang telah diberikan oleh Konvensi Hukum Laut PBB. Selain itu, PCA memutuskan tidak ada hak berdaulat Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE atau landas benua (continental shelf) dari karang, fitur yang timbul tenggelam karena pasang naik/surut air laut, dan fitur buatan, termasuk fitur yang menjadi area penangkapan ikan dan tidak dapat dihuni manusia. Bahkan, PCA menyimpulkan China telah melanggar kewajibannya untuk menahan diri dari memperburuk atau memperluas sengketa antarpihak.

Sayangnya, China tidak pernah menghormati, baik proses peradilan arbitrase maupun putusannya. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir konflik Filipina dan China cenderung meningkat. Kapal-kapal Penjaga Pantai China menganggu kapal Penjaga Pantai Filipina, seperti memotong jalan kapal, dan penembakan meriam air. Gangguan juga dialami oleh kapal nelayan Filipina saat mencari ikan di sekitar Beting Scarborough.

Sengketa dan konflik di LCS akan meluas karena keengganan China mematuhi DoC dan putusan PCA 2016. China kukuh mempertahankan klaimnya dengan otot militernya. Bahkan, dengan kewenangan tambahan Penjaga Pantai China yang akan diberlakukan mulai 15 Juni 2024, sengketa dan konflik di LCS dapat bereskalasi dengan cepat.

Sengketa dan konflik di LCS juga meluas karena keterlibatan negara-negara besar di luar kawasan Asia Tenggara. Pesawat dan kapal perang Amerika Serikat (AS) sering bertemu dengan kapal China, termasuk bermanuver di sekitar pangkalan luar China di LCS. Negara tersebut selalu menekankan adanya kebebasan bernavigasi di laut dan udara, meskipun belum menandatangani dan meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Salah satu perkembangan terbaru adalah penempatan rudal jarak menengah Typhon AS di Luzon Utara, Filipina yang digunakan dalam Latihan Salaknib 2024 (Kompas, 17 April 2024). Tidak begitu jelas apakah rudal tersebut masih ditempatkan di sana usai latihan. Namun, manuver itu dilakukan bersamaan dengan penambahan pangkalan militer AS melalui skema EDCA (Enhanced Defense Cooperation Agreement), sehingga kemungkinan itu terbuka.  

Dampak Konflik LCS terhadap Kedaulatan Indonesia

Konflik LCS dapat berdampak terhadap kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di LCS. Bahkan, jika konflik LCS bereskalasi menjadi perang terbuka berskala penuh dan melibatkan negara-negara besar (major powers), ancaman terhadap kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia dapat melampaui wilayah LCS, termasuk pusat pemerintahan dan perekonomian Indonesia.

Penyebab konflik LCS berdampak terhadap kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di LCS adalah sebagai berikut:

Pertama, meski China tidak mengklaim pulau-pulau di Kepulauan Natuna, Indonesia, tapi peta China dengan sembilan atau sepuluh garis putus-putusnya memotong sebagian perairan Laut Natuna Utara. Oleh karena peta China, baik yang terdahulu maupun yang dirilis tahun 2023, tidak disertai dengan titik koordinat garis putus-putus tersebut, maka klaim China dapat memotong sebagian ZEE Indonesia, yang berarti menganggu hak berdaulat Indonesia. Bahkan, karena klaim China dapat memotong sebagian laut wilayah Indonesia, kedaulatan Indonesia pun dapat terancam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun