Mohon tunggu...
Fahmi Alfansi Pane
Fahmi Alfansi Pane Mohon Tunggu... Penulis - Tenaga Ahli DPR RI/ Alumni Magister Sains Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia

Hobi menulis dan membaca, aktif mengamati urusan pertahanan, keamanan, dan politik

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Konflik Laut China Selatan: Ancaman Kedaulatan dan Strategi Mitigasinya

22 Mei 2024   16:43 Diperbarui: 22 Mei 2024   16:49 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kehadiran aliansi pertahanan atau forum keamanan bersama dapat mendorong terjadinya perang, atau sebaliknya mencegah perang atau serangan terhadap anggota aliansi. Serangan Rusia terhadap Ukraina misalnya, terjadi salah satunya karena ekspansi NATO yang dianggap mengancam wilayah Rusia. Namun, bagi negara-negara Skandinavia yang baru bergabung dengan NATO, yaitu Finlandia dan Swedia, NATO justru dianggap mencegah perang, atau serangan lawan terhadap negaranya.

 

Secara teoritis, Carolesi, Rasler, dan Thompson dalam "Strategic Rivalries in World Politics: Position, Space, and Conflict Escalation" (2007), menyatakan aliansi-aliansi (pertahanan) lebih sering diikuti oleh perang daripada perdamaian (alliances are more frequently followed by war than by peace). Aliansi-aliansi yang melibatkan negara-negara besar lebih rentan terhadap perang daripada aliansi tanpa negara-negara besar (alliances involving major states are more war-prone than alliances without major states) (hal. 224).

 

Teori aliansi pertahanan cenderung menyebabkan terjadinya perang didukung oleh teori penyebab perang yang dikemukakan oleh Van Evera dalam "Causes of War: Power and Roots of Conflict" (1999). Dari beberapa penyebab perang menurut Van Evera, faktor yang terkait dengan LCS adalah sumber daya yang terakumulasi (cumulative resources). Menurutnya, perang itu lebih mungkin terjadi ketika pengendalian sumber daya memungkinkan pelindungan atau pengambilan sumber daya lainnya (war is more likely when the control of resources enables the protection or acquisition of other resources) (hal. 105).

 

Dalam konteks LCS, penguasaan atau kontrol suatu negara terhadap suatu pulau, atau karang/beting dapat mengakumulasi penguasaan sumber daya lainnya, mulai dari pertambahan luas perairan yurisdiksi meskipun belum tentu sejalan dengan Konvensi Hukum Laut, penguasaan sumber daya perikanan, potensi migas, hingga pangkalan militer sebagai pangkalan aju, dukungan logistik, dan landas pacu pesawat militer. China telah membuktikan akumulasi sumber daya tersebut dengan menguasai banyak pulau dan karang/beting di LCS, lalu mereklamasinya. Sebagian pulau/karang di LCS juga telah dieksplorasi potensi migasnya, meskipun hingga ini belum dilakukan eksploitasi migas lepas pantai.

 

Lebih dari itu, sebagian pulau/karang dijadikan sebagai pangkalan militer dan menempatkan sistem senjata rudal/roket di pangkalan luar tersebut. Misalnya, China telah menempatkan rudal permukaan ke udara (surface to air missile) di Fiery Cross, Mischief, dan Karang Subi (AMTI-CSIS, 23 Februari 2017).[3] 

 

Risiko terjadi peningkatan konflik akan membesar saat pesawat militer negara besar berpapasan atau bermanuver dekat dengan pulau/karang yang dipersengketakan. Pada 26 Februari 2023 misalnya, pesawat mata-mata AS yang berada 50 kilometer dari Kepulauan Paracel dihadang pesawat tempur China bersenjata rudal dan diperingatkan untuk tidak mendekati wilayah perairan/udara China (CNN, 23 Februari 2023).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun