Strategi ini perlu dilakukan karena konflik di LCS bersifat abu-abu (gray area), yang berarti situasinya berada di antara perang dan damai. Di satu sisi sengketa teritorial seharusnya diselesaikan secara hukum atau perundingan. Namun, di sisi lain kekuatan fisik, seperti kapal penjaga pantai, bahkan kapal perang dan pesawat militer, juga digunakan.
Pelanggaran wilayah kedaulatan, atau area yurisdiksi negara tertentu, sebenarnya terkategori urusan keamanan maritim. Negara-negara yang bersengketa di LCS harusnya hanya menggerakkan kapal-kapal penjaga pantai, polisi air, atau pengawas perikanan. Namun, baik negara kawasan, maupun negara di luar kawasan, malah memakai kapal perang, baik untuk deterrence (menggetarkan rival), maupun reassurance (meyakinkan mitra/sekutu). Â
Indonesia masih menggunakan kapal TNI AL dalam menangkap kapal pencuri ikan, seperti kasus tahun 2016 yang diungkap di atas, antara lain, karena kurangnya armada institusi kelautan lain. Dalam hal ini, TNI AL berwenang melakukan penegakan hukum di laut sesuai Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal 9 huruf b. Namun, armada penjaga pantai juga diperlukan, terutama saat pihak asing menggunakan kapal penjaga pantai. Selain itu, selama kapal penjaga pantai atau pengawas perikanan dapat menunaikan tugasnya, penggunaan kapal militer perlu dihindari untuk menghindarkan eskalasi konflik. Kapal perang dapat digunakan jika pihak asing melakukan hal serupa. Sekurang-kurangnya kapal perang menjadi pendukung patroli keamanan maritim. Â Â
Ironisnya, selama ini tidak jelas lembaga mana yang berperan sebagai penjaga pantai. Pada Rencana Strategis Badan Keamanan Laut (Bakamla) Tahun 2020-2024 Revisi yang ditetapkan oleh Kepala Bakamla pada 11 Agustus 2023 terungkap ada dualisme antara Bakamla sebagai penjaga pantai Indonesia (Indonesia Coast Guard) dengan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Kementerian Perhubungan (hal. 78). Tugas, fungsi dan wewenang Bakamla didasari oleh UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Adapun tugas, fungsi, dan wewenang KPLP didasari oleh UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, khususnya Pasal 276 hingga Pasal 281. Kewenangan tambahan KPLP terkait pembuangan limbah di perairan terdapat pada Pasal 239. Bahkan, Pasal 346 UU Pelayaran memberikan dasar hukum untuk penguatan KPLP, yang dalam UU disebut sebagai Penjagaan Laut dan Pantai; tanpa menyebut frase Kesatuan. Tumpah tindih hukum hingga level undang-undang dapat menyandera pengembangan penjaga pantai Indonesia, termasuk Bakamla. Â
      Pemerintah sudah berencana membuat undang-undang omnibus bidang kelautan. Namun, rencana tersebut belum berlanjut. Belum ada pula satu pun naskah Rancangan Undang-undang itu yang tiba di DPR RI. Ini menunjukkan masih tajamnya perbedaan pandangan di antara kementerian/lembaga mengenai kelembagaan penjaga pantai.
      Keempat, mengintensifkan penyelesaian draf Kode Berperilaku di Laut China Selatan (CoC) agar mendapat persetujuan seluruh negara Anggota ASEAN dan China. Secara longgar, CoC ditargetkan selesai pada 2026. Namun, mengingat target-target waktu penyelesaian sebelumnya terlewati, diperlukan ikhtiar lebih keras dari Indonesia selaku negara terbesar di ASEAN. Sentralitas ASEAN dalam penyelesaian CoC sangat tergantung kepiawaian Indonesia dalam menjembati perbedaan kepentingan antarnegara anggota ASEAN dan China. Â
Sebelumnya, sepuluh negara Anggota ASEAN dan China telah menyepakati DoC tahun 2002. Persetujuan CoC, yang lebih mengikat dan implementatif daripada DoC, mestinya akan lebih menertibkan interaksi negara-negara di kawasan LCS, termasuk negara luar kawasan. Indonesia perlu meyakinkan China sebagai negara mitra ASEAN bahwa penyelesaian CoC adalah lebih baik daripada menghadapi intervensi negara luar kawasan dengan militer. Terlebih, beberapa negara anggota ASEAN adalah sekutu AS, sehingga penyelesaian CoC sebagai mitigasi konflik LCS adalah solusi realistis daripada mendorong kawasan LCS menjadi area konflik bersenjata berskala penuh.
      Namun, dengan adanya usulan strategi pertama, kedua, dan ketiga juga menunjukkan strategi penyelesaian CoC ini menuntut dukungan kekuatan lain, baik diplomasi, militer dan keamanan maritim, maupun kepatuhan terhadap hukum-hukum internasional, seperti UNCLOS. Tanpa itu, CoC hanya akan menjadi kesepakatan di atas kertas, dan tidak dihormati di lapangan. Terlebih, melihat kesepakatan DoC juga banyak dilanggar, maka penerapan keempat strategi ini sekaligus akan lebih menjamin keberhasilan mitigasi konflik LCS.  Â
     Â
Kesimpulan
      Sengketa wilayah dan yurisdiksi di LCS dapat berkembang menjadi konflik bersenjata terbuka. Walaupun Indonesia tidak terlibat langsung dalam konflik, dampaknya signifikan terhadap kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia karena pertama, klaim peta China memotong sebagian perairan wilayah atau yurisdiksi Indonesia. Kedua, sengketa LCS melibatkan negara-negara besar di luar kawasan. Ketiga, Indonesia berencana memindahkan ibu kota negara ke wilayah yang dekat dengan ALKI II, yang merupakan perairan internasional, dan sering menjadi pelintasan kapal militer, baik China, maupun AS dan sekutunya.  Â