Mohon tunggu...
Abd Ghoni Fahmi
Abd Ghoni Fahmi Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa UIN KHAS Jember

Ilmu Hadits 21

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal

15 Juni 2022   21:45 Diperbarui: 15 Juni 2022   22:11 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal

Abd Ghoni Fahmi

Abstrak

Kata islam tidak mempunyai hubungan dengan orang, golongan atau negeri tertentu. Islam adalah nama yang diberikan oleh Allah SWT. Penjelasan tentang konsep islam nusantara ditinjau dari struktur teori islam dan budaya lokal serta alasannya dijadikan sebagai konsep dakwah islam rahmatan lil 'alamin  oleh intelektual NU. Berawal dari intelektual NU menyatakan bahwa konsep ini adalah penengah dalam perdebatan relasi islam dan budaya lokal, bahkan dalam skala global ingin didakwahkan di dunia internasional. Sedangkan Islam Nusantara (IN) hanya sebatas wacana yang belum memenuhi standart keilmuan. Dengan adanya pendekatan filosofis, sosio-antropolinguistik berbarsis data situs nu.or.id, dan analisis wacana ditemukan, bahwa dalam konsep Islam Nusantara (IN) menggunakan delapan pendekatan, yang memposisikan Islam mempengaruhi budaya indonesia dan keberhasilannya dalam berdialog dengan budaya indonesia. 

Kata kunci: islam, nusantara, budaya, indonesia, nilai.

Pendahuluan

Islam adalah suatu agama yang bersifat komprehensif yakni rahmatan lil 'alamin. Menurut Nata Abuddin, dasar pengkajian Islam secara komprehensif, sebenarnya dapat ditelusuri melalui makna dan misi Islam itu sendiri. Di mana Islam walaupun dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, namun tidak disebut Muhammadanisme, seperti agama Zoroaster yang disandarkan kepada nama pendirinya yaitu Zoroaster (w. 583 SM). yang mana islam memiliki makna bahwa  visi, misi serta ajaran agama islam tidak hanya ditunjukkan pada satu tujuan atau satu kelompok atau satu negara saja, melainkan seluruh umat manusia, bahkan seluruh alam yakni jagat raya. Akan tetapi, pemaknaan kata universalitas islam dalam kalangan umat islam dalam kalangan umat muslim sendiri tidak beragam[1]. Kajian tentang universalitas ajaran islam sendiri cukup signifikan, melihat fakta bahwa banyak orang memahami islam dengan cara parsial, dan tidak holistik[2]. Ada kelompok yang mendefinisikan bahwa ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad yang nota-bene berbudaya Arab adalah final, sehingga harus diikuti sebagaimana adanya. Ada pula kelompok yang memaknai universalitas ajaran Islam sebagai yang tidak terbatas pada waktu dan tempat, sehingga bisa masuk ke budaya apapun.

 

Kelompok pertama berambisi menyeragamkan seluruh budaya yang ada didunia menjadi satu, sebagaimana yang di praktekkan Nabi Muhammad SAW. Budaya yang berbeda dianggap bukan sebagai bagian dari Islam. Kelompok ini disebut kelompok fundamentalis (Kasdi 2000, 20). Sementara disisi lain kelompok kedua menginginkan Islam dihadirkan sebagai nilai yang bisa memengaruhi seluruh budaya yang ada. Islam terletak pada nilai, bukan bentuk fisik dari budaya itu. Kelompok ini disebut kelompok substantif. Ada satu lagi kelompok yang menengahi keduanya, yang menyatakan, bahwa ada dari sisi Islam yang bersifat substantif, dan ada pula yang literal.

 

Kehadiran wacana Islam Nusantara (IN) tidak terlepas dari pertarungan tiga kelompok di atas. Islam Nusantara (IN) ingin memosisikan diri pada kelompok ketiga. Islam Nusantara (IN) muncul akibat "kegagalan" kelompok pertama yang menghadirkan wajah Islam tidak ramah dan cenderung memaksakan kepada budaya lain, bahkan menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan Islam. Begitu juga kelompok kedua yang dianggap mendistorsi ajaran Islam.

 

Namun demikian, konsep Islam Nusantara (IN) ini pun dianggap kurang matang (hanya sebatas wacana) dalam konteks keilmuan. Menurut Azhar Ibrahim, Universiti Nasional Singapura (nu.or.id),  karena Islam Nusantara (IN) belum menjelaskan gagasan filsafat yang rasional (belum menghasilkan kesarjanaan Islam yang tinggi). Frasa ini baru muncul sebagai konsep, ketika akan diselenggarakannya muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur. Sementara menurut kalangan intelektual NU, Islam Nusantara (IN) sudah dipraktekkan sejak zaman Wali Songo di Jawa. Bahkan, Islam Nusantara (IN) diklaim NU sebagai konsep dakwah Islam paling ideal dibanding Islam Timur Tengah.

 

Berdasarkan persoalan di atas, tulisan ini akan mengkaji bagaimana konsep Islam Nusantara (IN) menurut intelektual NU ? Bagaimana posisi Islam Nusantara (IN) ditinjau dari relasi Islam dan budaya lokal (Indonesia)? Mengapa Islam Nusantara (IN) dijadikan konsep dakwah Islam oleh intelektual NU?

Pandangan Intelektual NU

 

Islam Nusantara (IN) terdiri dari dua kata, islam dan nusantara. Islam berarti "penyerahan, kepatuhan, ketundukan, dan perdamaian" (nu.or.id). Islam  adalah agama yang sempurna, yang mengatur segala aspek dalam kehidupan manusia, baik secara aspek ibadah ( hubungan manusia dengan Allah SWT) maupun secara aspek muamalah (hubungan manusia dengan sesama manusia). Dalam agama islam terdapat lima  ajaran pokok yang mana telah di ungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu islam adalah bersaksi sesungguhnya tiada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa dan menunaikan haji bagi yang mampu". (nu.co.id). dalam agama islam terdapat dua pedoman yang selalu dirujuk, al-quran dan al-hadits. Kedua pedoman tersebut memuat ajaran yang membimbing seluruh umat muslim beserta seluruh alam raya ke arah yang lebih baik dan teratur.

 

            Nusantara merupakan istilah yang menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera hingga Papua, yang sekarang sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia. Kata ini yang tercatat pertama kali yang berasal dari manuskrip berbahasa Jawa sekitar abad ke-12 sampai ke-16 untuk menggambarkan konsep keanekaragaman yang dianut oleh kerajaan Majapahit dulu. Sementara dalam literatur berbahasa Inggris abad ke-19, Nusantara merujuk pada kepulauan Melayu. Setelah sempat terlupakan dan dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantoro, memakai istilah ini pada abad 20-an sebagai salah satu rekomendasi untuk nama alternatif suatu negara pelanjut Hindia Belanda yang belum terwujud (Kroef 1951, 166--171). Ketika pengguna nama "Indonesia" ( berarti Kepulauan Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata nusantara tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang dipakai di Indonesia. Karena kepulauan tersebut mayoritas berada di wilayah negara Indonesia. Akibat perkembangan politik selanjutnya, istilah ini kemudian dipakai pula untuk menggambarkan kesatuan geografis -- antropologi kepulauan yang berada di antara benua asia dan australia, termasuk semenanjung malaya akan tetapi tidak mencakup negara filipina. Dalam pengertian terakhir ini, Nusantara merupakan padanan bagi kepulauan melayu (malay archipelago), suatu istilah yang populer pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, terutama dalam literatur berbahasa inggris[3]. Di Indonesia secara konstitusional juga dikukuhkan dengan Keputusan Presiden (Kepres) MPR No.IV/MPR/1973, tentang Garis Besar Haluan Negara Bab II Sub E. Kata Nusantara ditambah dengan kata wawasan.

 

Berdasarkan penjelasan diatas, Islam Nusantara (IN) adalah ajaran agama islam al-qur'an dan al-hadits sebagai pedoman dan tuntunan dalam kehidupan sosial masyarakat yang mana di praktekkan oleh Nabi Muhammad SAW yang diikuti oleh penduduk asli nusantara (Indonesia) atau orang yang bertempat tinggal di wilayah tersebut. Pemunculan Islam Nusantara (IN) merupakan ciri Khas Indonesia, di mana Islam Nusantara ini di nyatakan sebagai agama yang universal, dimanafatiskan dalam ajarannya yang mencakup hukum agama (fiqih), kepercayaan (tauhid), serta etika (akhlak). Dalam beragama islam mengajarkan untuk saling menghargai dan saling toleransi, agama yang mengajarkan penganutnya untuk saling menyayangi, mengasihi dan mengayomi tanpa memandang ras, kebangsaan, serta struktur sosial. Dalam hal ini sejalan dengan islam yang ada di Indonesia yang biasa disebut dengan Islam Nusantara (IN).[4] Akan tetapi jika kita kaitkan jika kita kaitkan dengan pandangan setiap muslim atau organisasi islam tertentu, konsep yang ada pada Islam Nusantara (IN) akan menjadi kompleks. Sebagaimana terjadi dalam organisasi Islam terbesar di dunia yakni Nahdlatul Ulama' (NU). Meskipun secara resmi istilah ini di kemukakan sebagai tema muktamar ke-33 di Jombang, yakni "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan dunia", akan tetapi para tokoh di dalamnya memiliki konsep yang berbeda-beda.

 

Munculnya istilah tentang Islam Nusantara banyak mengundang pro dan kontra dari kalangan masyarakat termasuk dari para insan Akademis.  Islam yang diturunkan adalah islam untuk semua kaum muslimin dimanapun dari belahan dunia. Perdebatan mengenai istilah Islam Nusantara (IN) di kalangan intelektual NU terletak pada label kata "nusantara" yang mengikuti kata "Islam".[5] Jika diberi label nusantara maka akan timbul kesan serta pemahaman tentang islam secara parsial dari kalangan umat islam itu sendiri. Tidak ada yang salah dari istilah "Islam Nusantara" untuk itu diperlukan adanya pendidikan pemahaman tentang konsep Islam Nusantara yang diangkat dari kearifan lokal bagi Islam di Nusantara yakni Islam bagi masyarakat Indonesia. Ketika Islam dan Nusantara menjadi frase Islam Nusantara, artinya sangat beragam. Tergantung cara padang atau pendekatan keilmuan yang dipakai.

 

            Pertama, pendekatan filosofis (dalam arti sempit) dalam kajian studi Islam merupakan studi proses tentang kependidikan yang didasari nilai-nilai ajaran Islam menurut konsep cinta terhadap keberanian, ilmu, dan hikmah yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits. Sedangkan, pendekatan filosofis (dalam arti praktis) dipahami sebagai pendekatan yang penilaiannya berdasarkan akal (rasional). Ukuran benar dan salahnya ditentukan dengan penilaian akal, dapat diterima oleh akal atau tidaknya[6]. Pendekatan filosofis memaparkan lima istilah. Islam Nusantara (IN) adalah istilah yang bersifat non-positivistik, pisau analisa, islam substantif , dan sebagai sistem nilai. Sebagai istilah, Islam Nusantara, seperti diungkapkan Isom Yusqi (nu.or.id), diposisikan sebagai salah satu pendekatan dalam mengkaji Islam yang akan melahirkan berbagai disiplin ilmu. Seperti fiqih nusantara, siyasah nusantara, muamalah nusantara, qanun nusantara, perbankan Islam nusantara, ekonomi Islam nusantara, dan berbagai cabang ilmu Islam lain atas dasar sosioepisteme ke-nusantara-an.

 

            Di sisi lain menurut Zainul Bizawie (nu.or.id). Islam Nusantara (IN) bukanlah objek keilmuan akan tetapi subjek keilmuan yang bisa digunakan sebagai "pisau analisis" budaya muslim lain. Misalnya, menggunakan kaidah ushul fiqih yang bertujuan maqashid al-syari'ah (tujuan syariat), yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, suatu kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah lima prinsip pokok, yaitu hifz addin, al-'aql, an-nafs, dan al-mal. Disini, Zainul Bizawie ingin memposisikan Islam Nusantara (IN) sebagai teori yang mengkaji Islam.

 

             Mustofa Bisri, meletakkan Islam Nusantara (IN) sebagai "sistem nilai" dan penerapannya dalam menanggapi masalah-masalah aktual dari waktu ke waktu. Mustofa Bisri cenderung melihat Islam Nusantara (IN) pada nilai-nilai yang selama ini dipraktekkan, diresapi, dan dijadikan prinsip warga NU, seperti tasamuh (toleran), tawazun (seimbang/harmoni), tawassut (moderat), ta'addul (keadilan), dan 'amr ma'ruf nahi munkar. Sehingga IN ditempatkan secara aksiologis. (nu. or.id).  

 

Sedangkan Quraish Shihab setuju dengan Islam Nusantara (IN) sebagaimana dikutip Fathurrahman Karyadi (nu.or.id), tampak ingin menjelaskan secara ontologis. Terlepas dari pro dan kontra, Shihab melihat IN pada sisi "substansi", bukan bentuk. Apabila ada bentuk (budaya) yang secara substansi sesuai dengan Islam maka akan diterima, jika bertentangan akan ditolak dan direvisi. Inilah prinsip Islam dalam beradaptasi dengan budaya. Jadi Islam itu bisa bermacammacam akibat keragaman budaya setempat. Bahkan adat, kebiasaan dan budaya bisa menjadi salah satu sumber penetapan hukum Islam.

 

            Sementara Ulin Nuha (nu.or.id), memberikan landasan pengertian  epistemologi tentang Islam Nusantara (IN) yang tidak hanya bersifat positivistik, melainkan "non-positivistik". Berawal dari fakta sejarah dan bukti empiris yang otentik tentang berlakunya pengetahuan dengan pendekatan metodologis yang dianggap non-positifistik. Di sini, Ulin ingin meng-counter pengetahuan Barat yang bersifat postivistik, karena sudah menghegemoni pengetahuan di Nusantara.

 

Kedua, pendekatan budaya yaitu menjadikan kebudayaan dan tradisi sebagai sarana untuk menanamkan dan mengajarkan nilai-nilai dan ajaran Islam. Metode ini terlihat jelas dalam strategi kebudayaan Wali Songo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, para wali telah menggunakan berbagai ragam tradisi dan budaya lokal sebagai sarana untuk mensosialisasikan dan mengamalkan ajaran Islam. Salah satu yang monumental adalah wayang, tembang dan gamelan (Mulyono, 1975).

 

Pendekatan budaya ini memunculkan tiga istilah, yaitu Isalm Nusantara (IN) sebagai Islam bahari, Islam sehari-hari, dan model. Islam Nusanatara (IN) sebagai "islam bahari" adalah praktik keislaman yang diwarisi dari gaya hidup masyarakat bahari atau masyarakat maritim yang biasa berhubungan dengan para pendatang baru dari berbagai pulau. Radhar Panca Dahana menunjukkan karateristis Islam Nusanatara (IN) sebagai keyakinan dan kepercayaan yang berbeda-beda, terbuka, egaliter dan tidak merasa paling tinggi satu sama lain. Karakter ini diambil dari horizon laut Indonesia yang lurus dan setara. (nu.or.id).

 

Sementara pengertian Islam Nusanatara (IN) sebagai model yang dimunculkan Imam Bukhori, Dawam Multazam, dan Imam Aziz (nu.or.id), dijadikan sebagai contoh islam ideal yang bisa diterapkan di seluruh dunia. Sebagai contoh bisa dilihat dari Islam yang dipraktekkan warga nahdliyyin sejak era Walisongo.

 

Sementara Faisol Ramdhoni, menjelaskan Islam Nusanatara (IN) dengan "islam sehari-hari", yakni pelaksanaan ajaran Islam. Baik terkait tata cara peribadatan, ritual, maupun tradisi keagamaan lainnya yang telah dilakukan, diturunkan, serta ditanamkan oleh para leluhur dalam praktek keagamaan keseharian masyarakat. (nu.or.id).

 

Ketiga, pendekatan linguistik dapat diartikan secagai sebuah cara padang, tentang bagaimana sesuatu dibahas, dianalisa, didekati berdasarkan suatu teori atau ilmu tertentu. Disini, pendekatan lebih bersifat operasional dari paradigma, namun tidak lebih operasional dari metodologi (Nurhakim, 2004: 15). yang memunculkan istilah Islam di Indonesia. Istilah ini digagas Umar A.H, yang mendefiniskan Islam Nusantara (IN) dengan mengkiaskan pada frasa ida fi dalam bahasa Arab. (nu.or.id). Menurutnya, Islam Nusantara bukanlah upaya me-lokal-kan Islam, atau membuat "agama" Islam Nusantara, tetapi usaha dalam memahami dan menerapkan islam tanpa mengesampingkan tempat islam diimani dan dipeluk, yakni Indonesia. Islam Nusantara (IN) sama dengan Islam yang di praktekkan di Indonesia dengan pengertian geografis. Musthofa Bisri (nu.or.id), secara sekilas juga menjelaskannya dengan contoh pertanyaan, istilah "air gelas": apakah maknanya airnya gelas, apa air yang digelas, apakah air dari gelas, apa gelas dari air, santri pasti bisa menjawab.

 

Keempat, pendekatan hukum yang memunculkan istilah fiqih nusantara. Istilah ini dimunculkan oleh KH Afifuddin Muhajir (nu.or.id). Menurutnya, IN merupakan pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih muamalah sebagai hasil dialektika antara nash, syariat, 'urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Ia menjelaskan bahwa IN hanya masuk dalam wilayah hukum ijtihadiyyat yang bersifat dinamis, berpotensi untuk berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi tertentu. Tidak masuk pada wilayah syawabit qath'iyyat.

 

Kelima, pendekatan filsafat hukum yang memunculkan istilah Islam sebagai metodologi. Abdul Moqsith Ghazali mencoba merumuskan metodologi yang digunakan dalam memahami atau mengaplikasin Islam Nusantara (IN) sebagai maslahah mursalah, istihsan dan 'urf. Moqsith mengambil metodologi ini dari kajian ushul al-fiqh yang dipraktekkan para mazhab Sunni. Tiga metode ini dipandangnya relevan karena sejatinya Islam Nusantara (IN) lebih banyak bergerak pada aspek ijtihad tatbiqi (dilihat salah satunya dari segi koherensi teks) daripada ijtihad istinbati (dilihat dari korespondensinya dengan aspek kemanfaatan di lapangan). (nu.or.id).

 

Keenam, pendekatan historis-antropologis yang memunculkan dua istilah, yaitu Islam Khas Indonesia dan islam budaya nusantara. Yang dimaksud Islam Nusantara (IN) sebagai Islam khas Indonesia adalah: Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Dalam konteks ini, budaya suatu daerah atau negara tertentu menempati posisi yang setara dengan budaya Arab dalam menyerap dan menjalankan ajaran Islam. Suatu tradisi Islam Nusantara menunjukkan suatu tradisi Islam dari berbagai daerah di Indonesia yang melambangkan kebudayaan Islam dari daerah tersebut. (www.nu.or.id 2016).

 

Istilah ini dimunculkan Aqil Siradj, Ketua PBNU. Menurutnya, Islam Nusantara (IN) merupakan Islam yang hanya dimiliki Indonesia, yakni corak Islam Nusantara yang heterogen. Satu daerah dengan daerah lainnya memiliki ciri khas masing-masing, tetapi memiliki ruh yang sama. Kesamaan nafas, merupakan saripati dan hikmah dari perjalanan panjang Islam berabadabad di Indonesia yang telah menghasilkan suatu karakteristik yang lebih mengedepankan aspek esotoris hakikah, ketimbang eksoteris syariat.

 

Sementara menurut Zastrouw el-Ngatawi, Islam Nusantara (IN) sudah mengalami empat fase perkembangan hingga terinternalisasi dalam masyarakat Nusantara, karena memiliki tiga kemampuan, yaitu hamengku (budaya baru dapat dijaga), hangemot (budaya yang baru masuk diberikan tempat) dan hangemong (budaya dapat dibina) sehingga bisa serasi dan harmoni dalam kehidupan masyarakat Nusantara. (nu.or.id).

 

Ketujuh, pendekatan historis-filologis yang memunculkan dua istilah, yaitu Islam empirik yang terindegenisasi dan pemikiran khas Indonesia. Islam empirik yang terindegenisasi diinisiasi Oman Fathurraham. Berdasarkan pengalamannya mengkaji naskahnaskah nusantara, ia menyimpulkan Islam Nusantara (IN) adalah Islam Nusantara yang empirik, distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia. Konsep Islam Nusantara ada, namun minim data (biografi). Islam Nusantara (IN) tidak hanya menyangkut budaya dan historis, melainkan ekologi yang ada di Nusantara. Ini bisa dibuktikan dari beberapa naskah sastra Nusantara yang menggunakan bahasa melayu, Arab, dan Jawa. IN mampu mencipatakan tulisan baru yang mengintegrasikan Arab dan Jawa/Melayu, yang disebut Pegon. (nu.or.id).

 

Dengan pendekatan filologis dan sejarah, Mahrus eL-Mawa (nu.or.id), memunculkan "pemikiran khas Indonesia" yang secara historis, berdasarkan data-data filologis (naskah dalam bentuk tulisan tangan), keislaman orang Nusantara (rumpun Melayau) telah mampu memberikan penafsiran ajarannya sesuai dengan konteksnya, tanpa menimbulkan peperangan fisik dan penolakan dari masyarakat. Ajaran-ajaran itu dikemas melalui adat dan tradisi masyarakat.

 

Kedelapan, pendekatan sosiologis-antropologis-historis yang memunculkan Islam Nusantara (IN) sebagai islam faktual. Islam faktual oleh Irham (nu.or.id), diartikan sebagai respon pemeluknya terhadap Alquran dan hadith, sehingga mengejawantah menjadi keberagamaan (perilaku, pemahaman, dan keayakinan orang beragama). Wujudnya terbentuk dari proses faktualisasi ajaran yang tidak terlepas dari latar belakang sosio-histori umat beragama. Seperti, tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi, politik dan sejarah. Dengan latar belakang yang berbeda, sudah tentu keberagamaan yang terwujud pun berbeda. Jadi, ada Islam Arab, Islam India, Islam Nusantara, Islam Amerika dan seterusnya adalah keniscayaan.

 

Pengaruh Islam terhadap Budaya Indonesia

 

Budaya berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai sebagai daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam[7]

 

Setelah kita mengetahui pengertian diatas, dengan mengacu pada konsep Islam Nusantara (IN) budaya Islam; nilai-nilai islam, teologi (sistem kepercayaan), pemikiran dan praktek ibadah yang bersifat qath'i, juga dianggap sebagai ajaran agama islam yang bersifat arab lokal.Sementara budaya Indonesia adalah pemikiran, perilaku, kebendaan, dan sistem nilai yang memiliki karakteristik tertentu, seperti keyakinan dan kepercayaan yang berbeda-beda, terbuka, egaliter, tidak merasa paling tinggi satu sama lain, sopan-santun, tata krama, toleransi, weruh saduruning winarah dan suwuk, hamengku, hangemot, dan hangemong. Jadi, ini adalah unsur-unsur budaya islam dan nusantara.

 

Dapat kita ketahui berdasarkan data (nu.or.id) yang menunjukkan bahwa Islam mempengaruhi budaya Indonesia ditemukan 26 "ungkapan penghubung". Di sisi lain terdapat ungkapan yang menunjukkan adanya keseimbangan antar keduanya yakni ada 13. Sementara hanya ada 3 ungkapan yang menunjukkan budaya lokal mempengaruhi Islam. Dengan demikian hubungan antara islam dan budaya bisa dipetakan menjadi tiga.

 

Pertama, islam adalah agama yang datang ke nusantara dengan tujuan mengislamkan masyarakat nusantara. Dengan hadirnya agama Islam di nusantara sangat berpengaruh. Ini dapat kita lihat dari suatu ungkapan yang menjelaskan tentang Islam Nusantara (IN) sebagai konsep bahwa islam dengan nilai-nilai itu yang mempengaruhi. Seperti kaidah yang ada dalam kitab fikih fath al-mu'in yang mendatangi itu lebih lebih unggul dari pada yang didatangi. Dalam hal ini, budaya yang dibawa Islam untuk memengaruhi Nusantara adalah sistem nilai subtantif atau universal, teologi, dan ritual Ibadah yang sifatnya pasti. Sementara budaya Islam yang bersifat fisik---dalam pengertian sosiologis---seperti cara berpakaian, berjilbab, dan nada membaca Alquran (langgam) dianggap sebagai budaya Arab yang tidak perlu dibawa ke Nusantara. Konsep inilah yang ditonjolkan IN sebagaimana dijelaskan Moqsith (sebagai metodologi) dengan ungkapan "melabuhkan"

 

"Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Islam nusantara bukan sebuah upaya sinkretisme yang memadukan Islam dengan "agama Jawa", melainkan kesadaran budaya dalam berdakwah sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendahulu kita walisongo (www.nu.or.id 2016).

 

Dalam hal ini juga dijelaskan oleh faisol ramdhoni (Islam sehari-hari): islamisasi dan merangkul, Milal Bizawie (islam khas Indonesia dan teori): didakwahkan, kontekstualisasi, merangkul budaya, memberangus budaya, memperkaya dan mengislamkan tradisi, dan budaya dan Islam yang telah melebur dengan tradisi, Abdurrahman Wahid: pribumisasi, disampaikan dengan meminjam "bentuk budaya" lokal, Azyumardi Azra: vernakularisasi, pribumisasi, membumi ke dalam bentuk budaya, Islam embedded (tertanam) dalam budaya Indonesia, Mahrus eL-Mawa (pemikiran khas Indonesia): akuturasi dan sosialisasi ajaran Islam, Oman Fathurrahman (Islam empirik yang terindegenisasi): kontekstualisasi, indigenisasi, vernakularisasi, Afifuddin Muhajir (fikih Nusantara): Islam membumi di Nusantara, Irham (Islam faktual): menyebarkan Islam, Islam diimplementasikan dan dikembangkan di Nusantara dan Ishom Yusqi (IN sebagai istilah/pendekatan): menyempurnakan budaya (www.nu.or.id 2016).

 

Bila kita cermati kembali, istilah-istilah di atas menghasilkan tiga pola, sebagaimana diungkapkan Quraish Shihab (Islam subtantif) dengan menyebut tiga akulturasi budaya, yaitu menolak budaya setempat, merevisi budaya setempat, dan menyetujui budaya setempat. (nu.or.id). Tiga hal ini dilakukan Islam Nusantara (IN) dengan sangat hati-hati dan secara bertahap sehingga membutuhkan puluhan tahun atau beberapa generasi. Pengaruh ini tidak untuk merusak atau menantang budaya Indonesia, tapi untuk memperkaya dan mengislamkan budaya tersebut.

 

Kedua, pada tataran ini Islam dan budaya Indonesia dalam posisi seimbang. Islam merasa sejajar dengan budaya lokal bisa dimaknai tiga pengertian. (1) Islam memiliki budaya fisik-sosiologis yang memilki karakteristik ke-Arab-an bisa digabung dengan budaya lokal, sehingga memunculkan budaya baru. Misalnya, lembaga pendidikan pesantren dan tulisan pegon (gabungan dari budaya tulisan Arab dengan bahasa Nusantara). Mahrus mengungkapan "adaptasi" berikut:   

 

"Di Jawa terdapat aksara carakan, dan pegon dengan bahasa Jawa, Sunda, atau Madura, yang diadaptasi dari aksara dan bahasa Arab. Di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, terdapat aksara Jawi dengan bahasa Melayu, dan aksara/bahasa lokal sesuai sukunya, Bugis, Batak,... Jelas sekali, ada kekhasan dalam Islam Nusantara pada soal adaptasi dan akulturasi aksara/bahasa" (www.nu.or.id 2016).

 

"Di Jawa terdapat aksara carakan, dan pegon dengan bahasa Jawa, Sunda, atau Madura, yang diadaptasi dari aksara dan bahasa Arab. Di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, terdapat aksara Jawi dengan bahasa Melayu, dan aksara/bahasa lokal sesuai sukunya, Bugis, Batak,... Jelas sekali, ada kekhasan dalam Islam Nusantara pada soal adaptasi dan akulturasi aksara/bahasa" (www.nu.or.id 2016).

 

Selanjutnya, (2) Islam dan budaya lokal seimbang dalam wilayah nilai-nilai universal. Sebagimana dijelasakan Ishom Syauqi, bahwa Islam Nusantara hendak mewujudkan budaya dan peradaban baru dunia yang berbasis pada nilai-nilai luhur dan universal keislaman dan kenusantaraan. Di sini, nilai Islam dan kenusantaraan sejajar, sehingga keduanya menghasilkan peradaban baru. (3) Islam merasa sejajar dalam wilayah teologis (sistem kepercayaan) dan peribadatan dengan budaya lokal, tetapi di antara keduanya tidak ada saling sapa melainkan saling menghormati atau toleransi. Ini dibuktikan dengan adanya UUD dan Pancasila yang dijadikan sebagai dasar negara Indonesia. Argumentasi yang cukup komprehensif diungkapkan oleh Musthofa Bisri dengan ungkapan toleransi:

 

"Islam Nusantara yang telah memiliki wajah yang mencolok, sekaligus meneguhkan nilai-nilai harmoni sosial dan toleransi dalam kehidupan masyarakatnya........ Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta bersendikan Bhinneka Tunggal Ika, secara nyata merupakan konsep yang mencerminkan pemahaman Islam ahl as-sunnah wa al-jama>'ah yang berintikan rahmat (www.nu.or.id 2016)."

 

Ketiga, budaya lokal memengaruhi Islam. Budaya Indonesia sebagai "tuan rumah" aktif dalam menjaga, memberi tempat, dan membina Islam agar tidak berbenturan. Ini menunjukkan bahwa ketika masuk dalam budaya lokal, Islam diletakkan dalam posisi tertentu sehingga tidak memengaruhi unsur-unsur budaya Nusantara. Ibarat rumah, Islam hanya diperbolehkan masuk ke kamar tertentu tetapi dilarang masuk kamar lain.

 

Usaha "Ekspor" IN ke Seluruh Dunia

 

Timur tengah merupakan tempat kelahiran agama islam. Sedangkan  banyak sekali Konflik yang mengatasnamakan agama (islam) yang tak kunjung usai di berbagai belahan dunia, memunculkan keresahan di kalangan bagi umat Islam, maupun umat lainnya. Mereka mulai mempertanyakan ajaran Islam. Benarkah Islam mengajarkan kekerasan, peperangan, pembunuhan, dan pengeboman atas nama agama? Di manakah Islam yang damai, humanis, dan toleran itu?

 

Dari pertanyaan itu, bagi orang-orang NU sangat dimaklumi karena Islam memiliki berbagai model, tergantung dari penafsirannya terhadap teks. Tidak ada yang salah dari ajaran Islam. Yang perlu dikoreksi adalah orang-orang yang menafsirkan ajaran agama itu, dan kontekstualisasinya dalam budaya tertentu. Ini dibuktikan dengan adanya Islam model Islam Nursantara (IN) yang ada di Indonesia. Namun Islam Nusantara tidaklah anti Arab, karena bagaimanapun juga dasar-dasar islam dan semua referensi pokok dalam ber-islam berbahasa Arab (www. nu.or.id 2016).

 

Atas dasar inilah, NU sebagai lembaga yang mempraktekkan Islam Nusantara (IN) berkeinginan "mengekspor" nya ke berbagai belahan di dunia. Ini sebagaimana diungkapkan Nur Syam, bahwa sudah saatnya Islam Nusantara diekspor ke luar dan menjadi salah satu ikon internasional. Islam ala Indonesia ini akan menjadi sumbangan Indonesia untuk dunia. (nu.or.id). Sebagaimana dinyatakan pula oleh Imam Aziz (nu.or.id), bahwa Islam Nusantara (IN) seharusnya menunjukkan posisi strategisnya sebagai "agen" Islam rahmatan lil 'alamiin di Indonesia dan di seluruh dunia. Kalaupun ada yang mempertanyakan posisi Indonesia itu jauh dari tempat turunnya wahyu (Arab), tidaklah menjadi masalah. Dalam aspek pemahaman, pengamalan dan budaya Islam Nusantara (IN) sangat menjanjikan untuk dijadikan pegangan dunia Islam, dengan dibuktikan oleh peran Islam Nusantara (IN) dalam sejarah Indonesia yang mampu menjaga perdamaian dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Sedangkan menurut Imam Bukhori dan Musthofa Bisri, akhir-akhir ini kecederungan dunia mulai melirik model keberagamaan IN. (nu.or.id). Ini menunjukkan keinginan mendakwahkan IN ke skala global bukan hanya datang dari internal NU, melainkan tokoh-tokoh Dunia. James B. Hoesterey misalnya, memprediksikan IN layak dijadikan contoh internasional:

 

"Sebagai seorang antropolog yang sudah lama melakukan penelitian di Indonesia, saya senang bahwa dunia luar dan wakil-wakil serta duta besar dari negara masing-masing dapat mendengarkan sedikit lebih dalam mengenai Islam di Indonesia yang mungkin tidak sama dengan Islam di negara mereka, misalkan Arab Saudi. Kalau kita lihat ke depan, mungkin Indonesia bisa menjadi contoh" (www.nu.or.id 2016).

 

Bahkan pada tataran praktis konsep IN menginspirasi Afganistan-negara Islam yang sampai hari ini masih bergelut dengan perangan atas nama agama guna membentuk organisasi masyarakat yang bertujuan untuk kemaslahatan umat. Pendapat yang sama juga dilontarkan Dr. Chiara Formichi, bahwa banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Islam di Indonesia, yakni Islam Nusantara (IN) bisa menjadi contoh untuk mengerti mengapa seseorang memeluk Islam. (www.nu.or.id 2016).

 

Berdasarkan ungkapan-ungkapan "menjadi contoh", "menginspirasi", "dijadikan pegangan dunia Islam", "ikon internasional" dan "melirik model keberagamaan Islam Nusantara (IN)" di atas, menunjukkan bahwa Islam Nusantara merupakan konsep ideal dalam mendakwahkan Islam dengan cara berdialog dengan budaya lokal secara damai, sopan-santun, dan tanpa kekerasan.

 

Kesimpulan 

 

            Konsep dalam Islam Nusantara, intelektual NU menggunakan delapan pendekatan yakni filsafat, budaya, linguistik, filsafat hukum, hukum, historis-antropologis, historisfilologis dan sosiologis-antropologis-historis. Dalam menjelaskan konsep ini, intelektual NU memberikan frasa (istilah lain) lagi yang memberikan spesifikasi maknanya. Selain itu, IN memosisikan Islam sebagai sistem nilai, teologi, dan fiqih-ubudiyyah yang memengaruhi budaya Indonesia dengan karaktersitik tertentu. IN yang mampu berdialog dengan budaya Indonesia dengan damai, tanpa kekerasan, serta pengakuan tokoh-tokoh dunia, maka para intelektual NU ingin mendakwahkannya pada skala Internasional. Hanya saja, konsep IN yang ada di web resmi NU ini lebih banyak didominasi pendapat dari STAINU Jakarta yang bisa jadi belum mewakili NU secara umum (baca: kultural). Selain itu, penjelasannya pun tampak elitis, sehingga warga NU pada tataran "akar rumput" (lapisan bawah) belum mampu memahaminya. Atau bisa jadi, penciptaan istilah-istilah baru untuk menjelaskan IN justru semakin mengaburkan makna IN itu sendiri.

 

 

 

 

Referensi

 

Luthfi, K. M. (2016). Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal. SHAHIH: Journal of Islamicate Multidisciplinary, 1(1), 1-12.

 

Buku Panduan Kewarganegaraan. Universitas Sriwijaya. UPT Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian. Tahun 2014

 

Salim, M. (2017). Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Perwujudan Ikatan Adat-Adat Masyarakat Adat Nusantara. Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan, 6(1), 65-74.

 

Surawardi, S. (2021). Education Of Understanding Islam Nusantara. Al-Falah: Jurnal Ilmiah Keislaman dan Kemasyarakatan, 21(1), 1-15

 

Astuti, H. J. P. (2017). Islam Nusantara: Sebuah Argumentasi Beragama dalam Bingkai Kultural. INJECT (Interdisciplinary Journal of Communication), 2(1), 27-52.

 

Fauzi, H. Pendekatan dalam Pengkajian Islam.

 

Ridha, M., & Alfian, M. (2020). Pendekatan Linguistik dalam Pengkajian Hukum Islam Klasik. Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum, 18(1).

 

Al-Amri, L., & Haramain, M. (2017). Akulturasi Islam Dalam Budaya Lokal. KURIOSITAS: Media Komunikasi Sosial dan Keagamaan, 10(2), 87-100.

 

Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Shahih al Bukhari, Juz 1, bab Iman, hadis no. 7. CD ROM, al-Maktabah al-Syamilah, Kutub Mutun, Vol. I Global Islamic Software.

 

Bungin, Burhan. 2006. Metodologi penelitian kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

 

Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

 

Kroef, Justus M. van der. 1951. "The Term Indonesia: Its Origin and Usage". Journal of the American Oriental Society Vol. 71, no. 3.

 

 Kasdi, Abdurrahman. 2000. Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi. Kritik Wacana dan Politisasi Agama". Jurnal Tashwirul Afkar. Lakpesdan NU Jakarta. No. 3.

 

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi II Pokok -- Pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta.

 

Lemhanas. Wawasan Nusantara. 1995. Jakarta: Penerbit Ismujati.

 

de Beaugrande, R.A. & Dressler. 1986. W.U.. Introduction to Text Linguistics. Harlow-Essex: Longman Group Limited.

 

Foley, William A. 2001. Anthropological Linguistics: an Introduction. Oxford: Blackwell.

 

www.nu.or.id/post/read/58077/ini-tema-muktamar-nu-ke-33-di-jombang, diakses Kamis, 31/03/2016, 13.23 WIB.

 

www.nu.or.id/post/read/58791/gali-konsep-islam-nusantara-stainu-jakarta-adakan-fgdberkala-dan-tematik, diakses Kamis 31/03/2015, 08.47. WIB.

 

 www.nu.or.id/post/read/58821/teks-dan-karakter-islam-nusantara, diakses Rabu, 30/03/2016, 08.20 WIB

 

 www.nu.or.id/post/read/59035/apa-yang-dimaksud-dengan-islam-nusantara, diakses Kamis, 29/03/2016, 12.39 WIB.

 

 www.nu.or.id/post/read/59081/saatnya-islam-nusantara-diekspor, diakses kamis 31/03/2016, 08.42. WIB

 

. www.nu.or.id/post/read/59286/parade-budaya-dan-seni-nusantara-warnai-dies-natalis-ke13-stainu-jakarta, diakses Kamis, 31/03/2016, 09.15 WIB.

 

www.nu.or.id/post/read/59442/milal-bizawie-karakter-islam-nusantara-tidak-homogen, diakses Kamis, 31/03/2016, 09.15 WIB.

 

www.nu.or.id/post/read/59849/rais-aam-pbnu-islam-nusantara-solusi-peradaban-dunia, diakses Selasa, 31/03/2016, 08.51 WIB.

 

www.nu.or.id/post/read/60392/islam-nu-dan-nusantara, diakses Kamis, 31/03/2016, 09.59 WIB.

 

www.nu.or.id/post/read/60458/maksud-istilah-islam-nusantara, diakses Kamis, 31/03/2016, 09.24 WIB.

 

www.nu.or.id/post/read/60510/landasan-operasional-islam-nusantara, diakses Kamis, 31/03/2016, 09.54 WIB.

 

www.nu.or.id/post/read/60706/islam-nusantara-dari-nu-untuk-dunia, diakses Kamis, 31/03/2016, 11.23 WIB..

 

www.nu.or.id/post/read/60756/pbnu-senang-diskusi-islam-nusantara-digelar-di-gedungpbb, diakses Kamis, 31/03/2016, 10.30 WIB.

 

www.nu.or.id/post/read/60834/ metodologi-islam-nusantara, diakses Kamis, 31/03/2016, 11.13 WIB.

 

www.nu.or.id/post/read/60914/gus-mus-kaget-soal-islam-nusantara-berarti-tidak-pernahngaji, diakses Kamis, 31/03/2016, 10.35 WIB.

 

www.nu.or.id/post/read/60920/ memahami-islam-nusantara-dalam-bingkai-ilmu-nahwu, diakses Jumat, 26/03/2016, 07.55 WIB.

 

www.nu.or.id/post/read/61002/islam-nusantara-dan-islam-sehari-hari-potret-respon-dantantangan-gagasan-islam-nusantara-di-desa, diakses Kamis, 31/03/2016, 10.51 WIB.

 

www.nu.or.id/post/read/61063/quraish-shihab-dan-islam-nusantara, diakses Kamis, 31/03/2016, 10.16 WIB.

 

www.nu.or.id/post/read/61182/mengaji-islam-nusantara-sebagai-islam-faktual, diakses Kamis, 31/03/2016, 10.26 WIB.

 

www.nu.or.id/post/read/61182/mengaji-islam-nusantara-sebagai-islam-faktual, diakses Kamis, 31/03/2016, 10.26 WIB.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun