Sementara Ulin Nuha (nu.or.id), memberikan landasan pengertian  epistemologi tentang Islam Nusantara (IN) yang tidak hanya bersifat positivistik, melainkan "non-positivistik". Berawal dari fakta sejarah dan bukti empiris yang otentik tentang berlakunya pengetahuan dengan pendekatan metodologis yang dianggap non-positifistik. Di sini, Ulin ingin meng-counter pengetahuan Barat yang bersifat postivistik, karena sudah menghegemoni pengetahuan di Nusantara.
Â
Kedua, pendekatan budaya yaitu menjadikan kebudayaan dan tradisi sebagai sarana untuk menanamkan dan mengajarkan nilai-nilai dan ajaran Islam. Metode ini terlihat jelas dalam strategi kebudayaan Wali Songo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, para wali telah menggunakan berbagai ragam tradisi dan budaya lokal sebagai sarana untuk mensosialisasikan dan mengamalkan ajaran Islam. Salah satu yang monumental adalah wayang, tembang dan gamelan (Mulyono, 1975).
Â
Pendekatan budaya ini memunculkan tiga istilah, yaitu Isalm Nusantara (IN) sebagai Islam bahari, Islam sehari-hari, dan model. Islam Nusanatara (IN) sebagai "islam bahari" adalah praktik keislaman yang diwarisi dari gaya hidup masyarakat bahari atau masyarakat maritim yang biasa berhubungan dengan para pendatang baru dari berbagai pulau. Radhar Panca Dahana menunjukkan karateristis Islam Nusanatara (IN) sebagai keyakinan dan kepercayaan yang berbeda-beda, terbuka, egaliter dan tidak merasa paling tinggi satu sama lain. Karakter ini diambil dari horizon laut Indonesia yang lurus dan setara. (nu.or.id).
Â
Sementara pengertian Islam Nusanatara (IN) sebagai model yang dimunculkan Imam Bukhori, Dawam Multazam, dan Imam Aziz (nu.or.id), dijadikan sebagai contoh islam ideal yang bisa diterapkan di seluruh dunia. Sebagai contoh bisa dilihat dari Islam yang dipraktekkan warga nahdliyyin sejak era Walisongo.
Â
Sementara Faisol Ramdhoni, menjelaskan Islam Nusanatara (IN) dengan "islam sehari-hari", yakni pelaksanaan ajaran Islam. Baik terkait tata cara peribadatan, ritual, maupun tradisi keagamaan lainnya yang telah dilakukan, diturunkan, serta ditanamkan oleh para leluhur dalam praktek keagamaan keseharian masyarakat. (nu.or.id).
Â
Ketiga, pendekatan linguistik dapat diartikan secagai sebuah cara padang, tentang bagaimana sesuatu dibahas, dianalisa, didekati berdasarkan suatu teori atau ilmu tertentu. Disini, pendekatan lebih bersifat operasional dari paradigma, namun tidak lebih operasional dari metodologi (Nurhakim, 2004: 15). yang memunculkan istilah Islam di Indonesia. Istilah ini digagas Umar A.H, yang mendefiniskan Islam Nusantara (IN) dengan mengkiaskan pada frasa ida fi dalam bahasa Arab. (nu.or.id). Menurutnya, Islam Nusantara bukanlah upaya me-lokal-kan Islam, atau membuat "agama" Islam Nusantara, tetapi usaha dalam memahami dan menerapkan islam tanpa mengesampingkan tempat islam diimani dan dipeluk, yakni Indonesia. Islam Nusantara (IN) sama dengan Islam yang di praktekkan di Indonesia dengan pengertian geografis. Musthofa Bisri (nu.or.id), secara sekilas juga menjelaskannya dengan contoh pertanyaan, istilah "air gelas": apakah maknanya airnya gelas, apa air yang digelas, apakah air dari gelas, apa gelas dari air, santri pasti bisa menjawab.