Â
Dapat kita ketahui berdasarkan data (nu.or.id) yang menunjukkan bahwa Islam mempengaruhi budaya Indonesia ditemukan 26 "ungkapan penghubung". Di sisi lain terdapat ungkapan yang menunjukkan adanya keseimbangan antar keduanya yakni ada 13. Sementara hanya ada 3 ungkapan yang menunjukkan budaya lokal mempengaruhi Islam. Dengan demikian hubungan antara islam dan budaya bisa dipetakan menjadi tiga.
Â
Pertama, islam adalah agama yang datang ke nusantara dengan tujuan mengislamkan masyarakat nusantara. Dengan hadirnya agama Islam di nusantara sangat berpengaruh. Ini dapat kita lihat dari suatu ungkapan yang menjelaskan tentang Islam Nusantara (IN) sebagai konsep bahwa islam dengan nilai-nilai itu yang mempengaruhi. Seperti kaidah yang ada dalam kitab fikih fath al-mu'in yang mendatangi itu lebih lebih unggul dari pada yang didatangi. Dalam hal ini, budaya yang dibawa Islam untuk memengaruhi Nusantara adalah sistem nilai subtantif atau universal, teologi, dan ritual Ibadah yang sifatnya pasti. Sementara budaya Islam yang bersifat fisik---dalam pengertian sosiologis---seperti cara berpakaian, berjilbab, dan nada membaca Alquran (langgam) dianggap sebagai budaya Arab yang tidak perlu dibawa ke Nusantara. Konsep inilah yang ditonjolkan IN sebagaimana dijelaskan Moqsith (sebagai metodologi) dengan ungkapan "melabuhkan"
Â
"Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Islam nusantara bukan sebuah upaya sinkretisme yang memadukan Islam dengan "agama Jawa", melainkan kesadaran budaya dalam berdakwah sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendahulu kita walisongo (www.nu.or.id 2016).
Â
Dalam hal ini juga dijelaskan oleh faisol ramdhoni (Islam sehari-hari): islamisasi dan merangkul, Milal Bizawie (islam khas Indonesia dan teori): didakwahkan, kontekstualisasi, merangkul budaya, memberangus budaya, memperkaya dan mengislamkan tradisi, dan budaya dan Islam yang telah melebur dengan tradisi, Abdurrahman Wahid: pribumisasi, disampaikan dengan meminjam "bentuk budaya" lokal, Azyumardi Azra: vernakularisasi, pribumisasi, membumi ke dalam bentuk budaya, Islam embedded (tertanam) dalam budaya Indonesia, Mahrus eL-Mawa (pemikiran khas Indonesia): akuturasi dan sosialisasi ajaran Islam, Oman Fathurrahman (Islam empirik yang terindegenisasi): kontekstualisasi, indigenisasi, vernakularisasi, Afifuddin Muhajir (fikih Nusantara): Islam membumi di Nusantara, Irham (Islam faktual): menyebarkan Islam, Islam diimplementasikan dan dikembangkan di Nusantara dan Ishom Yusqi (IN sebagai istilah/pendekatan): menyempurnakan budaya (www.nu.or.id 2016).
Â
Bila kita cermati kembali, istilah-istilah di atas menghasilkan tiga pola, sebagaimana diungkapkan Quraish Shihab (Islam subtantif) dengan menyebut tiga akulturasi budaya, yaitu menolak budaya setempat, merevisi budaya setempat, dan menyetujui budaya setempat. (nu.or.id). Tiga hal ini dilakukan Islam Nusantara (IN) dengan sangat hati-hati dan secara bertahap sehingga membutuhkan puluhan tahun atau beberapa generasi. Pengaruh ini tidak untuk merusak atau menantang budaya Indonesia, tapi untuk memperkaya dan mengislamkan budaya tersebut.
Â