Â
Keempat, pendekatan hukum yang memunculkan istilah fiqih nusantara. Istilah ini dimunculkan oleh KH Afifuddin Muhajir (nu.or.id). Menurutnya, IN merupakan pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih muamalah sebagai hasil dialektika antara nash, syariat, 'urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Ia menjelaskan bahwa IN hanya masuk dalam wilayah hukum ijtihadiyyat yang bersifat dinamis, berpotensi untuk berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi tertentu. Tidak masuk pada wilayah syawabit qath'iyyat.
Â
Kelima, pendekatan filsafat hukum yang memunculkan istilah Islam sebagai metodologi. Abdul Moqsith Ghazali mencoba merumuskan metodologi yang digunakan dalam memahami atau mengaplikasin Islam Nusantara (IN) sebagai maslahah mursalah, istihsan dan 'urf. Moqsith mengambil metodologi ini dari kajian ushul al-fiqh yang dipraktekkan para mazhab Sunni. Tiga metode ini dipandangnya relevan karena sejatinya Islam Nusantara (IN) lebih banyak bergerak pada aspek ijtihad tatbiqi (dilihat salah satunya dari segi koherensi teks) daripada ijtihad istinbati (dilihat dari korespondensinya dengan aspek kemanfaatan di lapangan). (nu.or.id).
Â
Keenam, pendekatan historis-antropologis yang memunculkan dua istilah, yaitu Islam Khas Indonesia dan islam budaya nusantara. Yang dimaksud Islam Nusantara (IN) sebagai Islam khas Indonesia adalah: Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Dalam konteks ini, budaya suatu daerah atau negara tertentu menempati posisi yang setara dengan budaya Arab dalam menyerap dan menjalankan ajaran Islam. Suatu tradisi Islam Nusantara menunjukkan suatu tradisi Islam dari berbagai daerah di Indonesia yang melambangkan kebudayaan Islam dari daerah tersebut. (www.nu.or.id 2016).
Â
Istilah ini dimunculkan Aqil Siradj, Ketua PBNU. Menurutnya, Islam Nusantara (IN) merupakan Islam yang hanya dimiliki Indonesia, yakni corak Islam Nusantara yang heterogen. Satu daerah dengan daerah lainnya memiliki ciri khas masing-masing, tetapi memiliki ruh yang sama. Kesamaan nafas, merupakan saripati dan hikmah dari perjalanan panjang Islam berabadabad di Indonesia yang telah menghasilkan suatu karakteristik yang lebih mengedepankan aspek esotoris hakikah, ketimbang eksoteris syariat.
Â
Sementara menurut Zastrouw el-Ngatawi, Islam Nusantara (IN) sudah mengalami empat fase perkembangan hingga terinternalisasi dalam masyarakat Nusantara, karena memiliki tiga kemampuan, yaitu hamengku (budaya baru dapat dijaga), hangemot (budaya yang baru masuk diberikan tempat) dan hangemong (budaya dapat dibina) sehingga bisa serasi dan harmoni dalam kehidupan masyarakat Nusantara. (nu.or.id).
Â