Mohon tunggu...
Fahlevi Vici Febriyani
Fahlevi Vici Febriyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Public Relations - Universitas Mercu Buana

Nama : Fahlevi Vici Febriyani NIM : 44223010169 Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB Dosen : Prof.Dr. Apollo , Ak , M. Si. Universitas Mercu Buana Meruya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Quiz_Diskursus Sigmund Freud dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia_Fahlevi Vici Febriyani

15 Desember 2023   02:54 Diperbarui: 15 Desember 2023   02:54 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama: Fahlevi Vici Febriyani
NIM: 44223010169
Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB
Dosen : Prof.Dr. Apollo , Ak , M. Si.

Latar Belakang

Pada tahun 1879, ilmu psikologi dianggap sebagai ilmu yang mandiri ketika Wilhelm Mundt mendirikan laboratorium psikologi di Jerman. Sejak itu, ilmu psikologi berkembang pesat dengan munculnya berbagai aliran di dalamnya. Salah satu aliran yang penting adalah konsep kepribadian, yang memiliki beragam definisi, termasuk salah satunya dari aliran psikoanalisis.

Teori psikoanalisis berusaha menjelaskan hakikat dan perkembangan kepribadian. Teori ini menekankan motivasi, emosi, dan aspek-aspek internal lainnya. Psikoanalisis berpendapat bahwa konflik-konflik psikologis, terutama pada anak-anak atau usia dini, memainkan peran penting dalam perkembangan kepribadian. Sigmund Freud, seorang tokoh utama dalam psikoanalisis, merumuskan teorinya berdasarkan pengalaman dengan pasien, analisis mimpi, dan bacaan luasnya.

Freud memandang kesadaran manusia sebagai hanya sebagian kecil dari kehidupan mental, sementara sebagian besar adalah ketaksadaran atau alam tak sadar. Ia menggambarkan alam sadar dan tak sadar sebagai gunung es, di mana hanya sedikit yang terlihat (alam sadar) dibandingkan dengan yang tidak terlihat (alam tak sadar). Freud juga memandang manusia sebagai makhluk deterministik, diatur oleh kekuatan irasional, alam bawah sadar, dorongan biologis, dan insting sejak usia enam tahun pertama.

Meskipun psikoanalisis mendapat banyak kritikan, terutama dari aliran behaviorisme seperti H.J. Eysenck, pandangan Freud memiliki pengaruh besar dalam berbagai bidang, termasuk sosiologi, antropologi, ilmu politik, filsafat, dan kesenian. Dalam psikologi, terutama dalam teori kepribadian, pengaruh psikoanalisis masih terlihat, karena banyak teori modern yang setidaknya mempertimbangkan atau mengkritik gagasan-gagasan Freud.

Psikoanalisis Sigmund Freud

Psikoanalisis adalah ilmu yang dirancang oleh Sigmund Freud dan para pengikutnya untuk memahami cara kerja serta tingkah laku manusia. Pada awalnya, istilah psikoanalisis hanya terkait dengan Freud, sehingga istilah "psikoanalisis" dan "psikoanalisis Freud" dianggap sama. Namun, beberapa pengikut Freud kemudian mengembangkan ide-ide mereka sendiri dan meninggalkan istilah psikoanalisis, memilih nama baru untuk menggambarkan ajaran mereka. Contoh terkenal termasuk Carl Gustav Jung dan Alfred Adler, yang menciptakan istilah "psikologi analitis" dan "psikologi individual" untuk merinci konsep-konsep mereka.

Psikoanalisis dapat diterapkan dalam tiga hal:
1. Sebagai metode penelitian tentang pikiran.
2. Sebagai ilmu pengetahuan sistematis tentang perilaku manusia.
3. Sebagai metode pengobatan untuk masalah psikologis atau emosional.

Teori Psikoanalisis sendiri dikembangkan oleh Sigmund Freud dan memiliki dua peran utama, yaitu sebagai teknik terapi dan sebagai suatu aliran dalam bidang psikologi. Sebagai aliran psikologi, psikoanalisis banyak membahas tentang kepribadian, khususnya mengenai struktur, dinamika, dan perkembangannya.

Teori psikoanalisis yang dibuat oleh Sigmund Freud adalah pandangan lengkap tentang kepribadian yang sangat memengaruhi bidang ilmu sosial, seni, dan masyarakat secara umum. Meskipun begitu, teori ini juga mendapat banyak kritik, terutama karena Freud tidak mengembangkannya dengan metode ilmiah yang baik. Beberapa kritik mencakup kurangnya laporan riset yang sistematis, tanpa definisi operasional, tanpa eksperimen kontrol, tanpa pengukuran kuantitatif, dan kurangnya bukti hubungan antar gejala. Karl Popper bahkan menyebut psikoanalisis sebagai pseudosains, atau ilmu semu. Eysenck juga melihat psikoanalisis sebagai cara untuk menginterpretasi peristiwa daripada sebagai ilmu (Alwisol, 2008: 38 Fikri, I. F., Ismail, S. N., Zainiyati, H. S., & Kholis, N. (2023)).

Secara praktis, psikoanalisis adalah metode untuk menggali pengalaman emosional yang menjadi sumber gangguan mental dan represi. Metode ini diyakini dapat membantu individu memahami konflik-konflik dalam pikiran bawah sadar mereka (Andi, 2006: 258). Para ahli psikoanalisis meyakini bahwa teknik seperti katarsis dan asosiasi bebas dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan gangguan perilaku manusia (Alwisol, 2008: 3). Katarsis melibatkan pelepasan energi emosional yang terkait dengan konflik bawah sadar.

Freud membandingkan kehidupan psikis manusia dengan gunung es yang mengapung di laut. Bagian kecil yang terlihat di atas air adalah alam sadar, sedangkan bagian besar di bawah permukaan air adalah alam bawah sadar. Ada juga daerah yang menghubungkan keduanya, yaitu alam pra-sadar (Alwisol, 2008: 14 mengutip dari Fikri, I. F., Ismail, S. N., Zainiyati, H. S., & Kholis, N. (2023)).

Freud membagi pikiran manusia menjadi tiga bagian utama. Pertama, alam sadar mencakup semua yang kita sadari pada saat tertentu seperti penginderaan langsung, ingatan, pemikiran, fantasi, dan perasaan. Kedua, alam pra-sadar adalah kenangan yang mudah diingat dan dapat dipanggil dengan mudah ke alam sadar. Ketiga, alam bawah sadar mencakup hal-hal yang sulit dibawa ke alam sadar, termasuk nafsu, insting, dan kenangan yang terkait dengan trauma (Boeree, 2006: 36 mengutip dari Fikri, I. F., Ismail, S. N., Zainiyati, H. S., & Kholis, N. (2023) ).

Freud mengasumsikan bahwa sebagian besar perilaku manusia berasal dari alam bawah sadar. Meskipun ide tentang alam bawah sadar bukanlah konsep baru, Freud membuatnya terkenal. Bagi Freud, alam bawah sadar adalah sumber dari motivasi, dorongan, dan keinginan dalam diri manusia (Atkinson dkk., tanpa tahun: 271). Freud percaya bahwa tindakan manusia lebih sering dipengaruhi oleh motif bawah sadar daripada penalaran rasional. Meskipun banyak psikolog tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan Freud tentang konsep bawah sadar, mereka mungkin setuju bahwa tidak semua aspek kepribadian kita sepenuhnya disadari oleh kita sendiri.

Canva by Fahlevi Vici F
Canva by Fahlevi Vici F

Tiga Tingkat Kesadaran Menurut Sigmund Freud

Freud melihat manusia sebagai suatu sistem energi yang rumit. Energi ini berasal dari makanan yang kita makan dan digunakan untuk berbagai aktivitas seperti peredaran darah, pernapasan, gerakan otot, pengamatan, berpikir, dan mengingat.

Menurut Freud, manusia dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi tak sadar, kebutuhan biologis, dan dorongan naluriah. Selain itu, peristiwa psikoseksual yang terjadi selama lima tahun pertama kehidupan juga memainkan peran penting dalam menentukan perilaku seseorang.

Freud berpendapat bahwa energi dapat berubah dari energi fisik menjadi energi psikis atau sebaliknya. Ketika energi digunakan untuk aktivitas psikologis seperti berpikir, energi tersebut menjadi titik pertemuan antara energi jasmaniah dan energi kepribadian seperti id dan instink-instinknya. Instink-instink ini mencakup semua energi yang digunakan oleh tiga struktur kepribadian, yaitu id, ego, dan superego, untuk menjalankan fungsinya.

Dinamika kepribadian melibatkan cara energi psikis dibagikan kepada id, ego, dan superego. Menurut Freud, perilaku seseorang lebih kompleks daripada yang mungkin mereka sadari. Freud juga berpendapat bahwa perilaku manusia ditentukan oleh kekuatan irasional yang berasal dari dorongan biologis dan dorongan naluri psikoseksual selama enam tahun pertama kehidupan.

Freud menekankan bahwa tantangan terbesar bagi manusia adalah bagaimana mengendalikan dorongan agresif. Bagi Freud, rasa resah dan kecemasan seseorang terkait dengan kesadaran bahwa umat manusia akan punah. Konsep menarik Freud melibatkan id (komponen biologis), ego (komponen psikologis), dan superego (komponen sosial).

1. Id (das Es)

Id adalah bagian dalam sistem kepribadian yang muncul sejak kita lahir. Setiap orang memiliki id saat baru dilahirkan, dan ini adalah tempat di mana naluri-naluri dasar kita berada. Kita bisa membayangkan id seperti kawah yang selalu aktif dan bersemangat, yang tidak tahan terhadap ketegangan dan selalu berusaha untuk menghilangkannya secepat mungkin.

Fokus utama id adalah mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit. Dengan kata lain, id beroperasi secara tidak sadar dan selalu berusaha memuaskan kebutuhan dasar kita sesuai dengan prinsip kesenangan. Id dapat dianggap sebagai bagian dalam diri kita yang selalu ingin memenuhi keinginan naluriah, seperti makan, minum, menghindari rasa sakit, dan merasakan kenikmatan seksual.

Perlu dicatat bahwa id tidak pernah berkembang atau "matang" sepenuhnya; itu tetap seperti "anak manja" dalam struktur kepribadian kita. Sebagai contoh, bayi yang baru lahir memiliki id yang terdiri dari dorongan biologis dasar, seperti kebutuhan makan, minum, buang kotoran, menghindari rasa sakit, dan mencari kenikmatan seksual.

Id mencakup segala sesuatu yang bersifat impersonal atau anonim, dan berada di luar pemahaman sadar kita. Ini melibatkan kekuatan dasar yang mengendalikan kehidupan psikis manusia, tetapi kita tidak selalu menyadarinya secara langsung.

2. Ego (das Ich)

Ego bisa diartikan sebagai keinginan untuk memenuhi keinginan kita. Tetapi, kita punya kendali atas ego kita sendiri. Kita memikirkan tindakan kita, mempertimbangkan konsekuensinya, dan berusaha berpikir logis. Ego berperilaku realistis karena diatur oleh kenyataan. Ego membuat rencana tindakan untuk memenuhi kebutuhan kita.

Hubungan antara id dan ego bisa dijelaskan seperti ini: ego adalah tempat di mana kecerdasan dan rasionalitas kita berkumpul untuk mengawasi dan mengendalikan id. Id hanya mengenal kenyataan subjektif, sementara ego beroperasi dengan kesadaran, prasadar, atau taksadar. Kebanyakan dari kegiatan ego bersifat sadar, seperti melihat sesuatu, merasakan emosi, atau melakukan proses berpikir.

Ego mengikuti prinsip realitas, yang berarti bahwa kepuasan impuls dari id ditunda sampai situasinya tepat. Ego dapat dianggap sebagai "badan eksekutif" dari kepribadian kita yang memutuskan tindakan yang tepat, impuls mana yang boleh dipenuhi, dan bagaimana cara melakukannya. Ego juga berfungsi sebagai perantara antara keinginan hewaniah dan tuntutan yang rasional dan realistis. Dengan demikian, melalui ego, kita bisa mengendalikan keinginan hewaniah kita dan hidup sebagai individu yang normal dan rasional.

3. Superego (das Ueber Ich)

Superego itu seperti polisi moral dalam kepribadian kita, sering disebut sebagai "hati nurani". Sejak kita kecil, lingkungan sekitar kita memainkan peran besar dalam membentuk dan mengembangkan superego ini. Superego memberikan pedoman moral kepada kita untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.

Superego mewakili standar-standar ideal dan mendorong kita menuju kesempurnaan, bukan hanya mencari kesenangan semata. Nilai-nilai tradisional dan norma-norma masyarakat yang diajarkan oleh orangtua kita tercermin dalam superego. Fungsi utamanya adalah untuk mengendalikan dorongan-dorongan impulsif yang muncul dari id.

Superego juga terkait dengan imbalan dan hukuman. Imbalan bisa berupa perasaan bangga dan kasih sayang pada diri sendiri, sementara hukuman menciptakan perasaan bersalah dan rendah diri. Superego memiliki dua aspek utama: pertama, suara hati nurani yang merupakan hasil internalisasi dari hukuman dan imbalan; kedua, ego-ideal yang berasal dari pujian dan contoh positif yang kita lihat dari orang-orang di sekitar kita.

Pada tahap awalnya, kita belajar tentang benar dan salah dari orangtua kita melalui proses yang disebut introyeksi. Namun, seiring berjalannya waktu, kita mulai mengembangkan kontrol diri yang menggantikan peran kontrol orangtua.

Dengan kata lain, menurut teori Freud, id (keinginan tak terkendali) dan superego (aturan moral) itu seperti dua hal yang bertentangan. Jika ego (bagian kepribadian yang membuat keputusan) tidak mampu menyeimbangkan keduanya, maka bisa terjadi konflik batin yang berlarut-larut, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan jiwa.

Freud berpendapat bahwa konflik ini selalu ada, karena id selalu ingin memuaskan keinginan tanpa batasnya, sementara superego menerapkan aturan-aturan yang membatasi keinginan tersebut sesuai dengan norma masyarakat. Akibatnya, ego berada di antara tekanan dari tiga sisi: id, realitas, dan superego. Ketegangan berlebihan pada ego dapat menimbulkan kecemasan, yang merupakan tanda bahaya atau ancaman terhadap ego dan perlu diatasi atau dihindari.

Dinamika Kepribadian Menurut Freud 

Freud mengatakan bahwa sifat kepribadian berdasarkan pada perubahan energi, di mana energi bisa berubah dari energi tubuh menjadi energi pikiran, atau sebaliknya. Energi pikiran digunakan saat kita berpikir. Id dan instink-instinknya menghubungkan kedua jenis energi ini.

Dinamika kepribadian berkaitan dengan memuaskan instink, mendistribusikan energi pikiran, dan dampak ketidakmampuan ego mengatasi ketegangan saat berinteraksi dengan dunia luar, yaitu kecemasan.

Naluri manusia, atau instink, adalah kumpulan keinginan. Instink memiliki empat ciri, seperti sumber rangsangan fisik atau kebutuhan, tujuan menghilangkan rangsangan fisik untuk mencapai kesenangan, objek yang bisa memuaskan kebutuhan, dan pendorong yang tergantung pada intensitas kebutuhan.

Freud membagi instink menjadi dua kelompok, yaitu instink hidup yang mendorong perilaku positif, dan instink mati yang mendorong perilaku negatif. Instink hidup dihubungkan dengan libido, energi yang berasal dari bagian tubuh yang sensitif terhadap rangsangan, seperti bibir dan organ seks. Sementara instink mati mendorong perilaku destruktif dan bersifat negatif.

Freud meyakini bahwa manusia membawa dorongan untuk mati, berdasarkan prinsip bahwa semua proses kehidupan cenderung kembali kepada dunia yang tidak bernyawa. Dia menghubungkan evolusi manusia dengan perjuangan antara dorongan hidup dan mati, menyimpulkan bahwa manusia bisa bersikap agresif dalam peradaban mereka.

Canva by Fahlevi Vici F
Canva by Fahlevi Vici F

Faktor Munculnya Mekanisme Pertahanan (defence mechanism) 

Freud menyatakan bahwa konflik selalu ada dalam diri kita karena dorongan dari "id" yang selalu menginginkan kepuasan, namun di sisi lain ada aturan dan norma-norma dalam masyarakat yang diwakili oleh "superego" yang membatasi keinginan ini. Sebagai hasilnya, "ego" kita berada dalam tekanan dan kebingungan di antara tiga aspek, yaitu "id", realitas, dan "superego". Ketika tekanan pada ego terlalu besar, hal ini dapat menimbulkan kecemasan sebagai sinyal bahwa ada bahaya atau ancaman yang perlu diatasi atau dihindari.

Untuk mengatasi kecemasan ini, kita seringkali menggunakan mekanisme pertahanan, yang sebagian besar terjadi tanpa disadari, sebagai respons melindungi diri dari emosi yang tidak menyenangkan, seperti rasa bersalah. Dalam konteks ini, mekanisme pertahanan Freudian dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menjelaskan bagaimana kita melindungi diri dari perasaan yang tidak nyaman tersebut. 

Freud mengatakan bahwa mekanisme pertahanan ego merupakan cara yang digunakan oleh individu untuk mencegah agar dorongan-dorongan dari bagian das Es tidak muncul secara terbuka atau untuk menghadapi tekanan dari bagian das Uber Ich terhadap bagian das Ich. Tujuannya adalah agar kecemasan yang dirasakan oleh individu dapat berkurang atau diatasi (Kuntojo, 2015:46 mengutip dari Syawal, H., & Helaluddin, H. (2018). Menurut Freud, mekanisme pertahanan ego ini sangat kompleks dan memiliki berbagai macam bentuk. Berikut adalah tujuh jenis mekanisme pertahanan ego yang umum ditemui menurut Freud (Koeswara, 2001: 46---48 mengutip dari Syawal, H., & Helaluddin, H. (2018)).

1. Represi: Ego menggunakan mekanisme ini untuk mengurangi kecemasan dengan cara menekan dorongan-dorongan yang menjadi penyebab kecemasan ke dalam ketidaksadaran.

2. Sublimasi: Mekanisme pertahanan ego ini ditujukan untuk mencegah atau mengurangi kecemasan dengan cara mengubah dorongan primitif das es menjadi tingkah laku yang dapat diterima dan bahkan dihargai oleh masyarakat.

3. Proyeksi: Adalah cara mengalihkan dorongan, sikap, atau tingkah laku yang menimbulkan kecemasan kepada orang lain.

4. Displacement: Merupakan ungkapan dorongan yang menimbulkan kecemasan kepada objek atau individu yang kurang berbahaya daripada individu semula.

5. Rasionalisasi: Merupakan usaha individu untuk memutarbalikkan kenyataan yang mengancam ego dengan menggunakan alasan tertentu yang seolah-olah masuk akal. Ada dua jenis rasionalisasi, yaitu teknik anggur masam (sour grape technique) dan teknik jeruk manis (sweet orange technique).

6. Pembentukan reaksi: Upaya mengatasi kecemasan karena individu memiliki dorongan yang bertentangan dengan norma, dengan cara bertindak sebaliknya.

7. Regresi: Upaya mengatasi kecemasan dengan berperilaku tidak sesuai dengan tingkat perkembangan yang seharusnya.

Fase Perkembangan Kepribadian

Canva By Fahlevi Vici Febriyani
Canva By Fahlevi Vici Febriyani

Freud mengatakan bahwa manusia mengalami lima tahap perkembangan kepribadian yaitu

a. Tahap Oral (Usia 0-18 bulan):
   Pada tahap ini, bayi menemukan kesenangan dengan menghisap dan menggigit. Menurut Freud, kesenangan pertama berasal dari menyusui atau botol susu. Tugas utama dalam fase ini adalah membentuk ketergantungan dan kepercayaan pada orang lain. Jika bayi mengalami stimulasi oral yang berlebihan atau kekurangan, ia dapat mengembangkan kepribadian oral-passive, yang cenderung penurut, pasif, kurang matang, dan bergantung pada orang lain.

b. Tahap Anal (Usia 18 bulan - 3-4 tahun)
   Pada tahap ini, anak menemukan kesenangan melalui aktivitas seputar anus, terutama dalam hal menahan kotoran. Orang tua memainkan peran penting dalam mengajarkan aturan kebersihan melalui toilet training. Jika pendekatan toilet training terlalu ketat, anak bisa memiliki kepribadian anal-retentive yang ditandai dengan sifat keras kepala dan kaku. Jika terlalu longgar, anak bisa memiliki kepribadian anal-aggressive yang ditandai dengan sifat destruktif dan kecenderungan untuk menguasai orang lain.

c. Tahap Phallic (Usia 3-7 tahun)
   Tahap ini melibatkan kepuasan melalui alat kelamin dan masturbasi. Anak mengembangkan rasa ingin memiliki orang tua yang berlawanan jenis dan bersaing dengan orang tua yang sejenis. Anak laki-laki menyadari kelebihan alat kelamin mereka, sementara anak perempuan bisa merasa iri. Ada juga ketakutan pada anak laki-laki terhadap penghukuman dari ayah.

d. Tahap Laten (Usia 7 - Pubertas)
   Freud percaya bahwa stimulasi seksual ditekan selama tahap ini untuk mendukung pembelajaran. Anak-anak cenderung tenang secara seksual, tetapi ini bisa berubah setelah pubertas. Aktivitas seksual berkurang, dan energi libidinal dialihkan ke kegiatan lain seperti belajar dan bermain.

e. Tahap Genital (Mulai Pubertas)
   Fase ini dimulai pada pubertas dengan peningkatan dorongan seksual. Freud menganggap aktivitas seksual seperti masturbasi dan homoseksualitas tidak normal. Fokusnya adalah pada hubungan seksual heteroseksual yang matang dan bertanggung jawab. Untuk mencapai kepribadian genital yang ideal, individu harus bebas dari hambatan masa kanak-kanak awal.

Teori Freud Jika Dikaitkan dengan Fenomena Korupsi di Indonesia

Ketika teori psikoanalisis Sigmund Freud diterapkan pada fenomena kejahatan korupsi, kita dapat mengidentifikasi beberapa aspek kepribadian dan perkembangan individu sebagai faktor yang mungkin berkontribusi. Meskipun teori ini tidak secara khusus dirancang untuk menjelaskan perilaku kriminal atau korupsi, konsep-konsep Freudian dapat memberikan wawasan tambahan yang berguna. Berikut adalah beberapa hubungan potensial:

1. Pengaruh Tahap Perkembangan Kepribadian
   Freud berpendapat bahwa pengalaman pada tahap-tahap awal perkembangan dapat membentuk kepribadian seseorang. Jika seseorang menghadapi ketidakpuasan atau hambatan signifikan pada tahap-tahap ini, hal ini dapat memengaruhi interaksi individu dengan dunia di masa depan. Sebagai contoh, kepribadian yang terbentuk pada tahap anal-agresif (terkait dengan tahap anal) dapat menunjukkan perilaku destruktif dan kecenderungan untuk menguasai orang lain, yang mungkin berperan dalam perilaku korupsi.

2. Konsep Kesadaran dan Tak Sadar
   Freud memisahkan pikiran manusia menjadi kesadaran dan tak sadar. Menurut Freud, motivasi manusia sebagian besar berada di luar kesadaran kita. Dalam konteks korupsi, individu mungkin memiliki dorongan tak sadar yang mendorong mereka terlibat dalam tindakan korupsi. Misalnya, dorongan untuk mencapai keuntungan pribadi tanpa memperhatikan norma sosial.

3. Teori Id, Ego, dan Superego
   Freud mengembangkan konsep id, ego, dan superego. Id mencerminkan dorongan primitif dan naluri manusia, ego mewakili realitas rasional, sementara superego menciptakan norma dan moral. Dalam konteks korupsi, konflik antara keinginan mendapatkan keuntungan pribadi (id) dan mematuhi norma sosial (superego) dapat mempengaruhi perilaku koruptif.

Teori psikoanalisis Freud dapat memberikan wawasan yang menarik dalam menjelaskan fenomena kejahatan korupsi. Menurut Freud, tingkah laku manusia dipengaruhi oleh tiga komponen kepribadian utama, yaitu id, ego, dan superego.

Pertama, id merupkan bagian dari kepribadian yang memuat dorongan dasar dan insting. Dalam konteks korupsi, id dapat dianggap sebagai keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kekuasaan.

Kedua, ego berperan sebagai penengah antara id dan superego. Ego berusaha memenuhi kebutuhan id dengan cara yang realistis dan sosial diterima. Dalam konteks korupsi, ego dapat mencerminkan usaha individu untuk mencapai keuntungan pribadi secara sah dan etis.

Ketiga, superego merupakan bagian dari kepribadian yang berfungsi sebagai sistem moral dan etika. Superego berusaha mengendalikan dorongan id dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai moral. Dalam konteks korupsi, superego dapat diartikan sebagai hukum dan norma sosial yang melarang praktek korupsi.

Jika seseorang terlibat dalam tindakan korupsi, mungkin disebabkan oleh dominasi id mereka terhadap ego dan superego. Dengan kata lain, mereka mungkin mengabaikan norma sosial dan hukum demi memenuhi keinginan pribadi. Atau, mungkin juga karena kegagalan ego mereka dalam menjaga keseimbangan antara id dan superego.

Korupsi di Indonesia sering kali dipandang sebagai hasil dari penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan untuk kepentingan individu atau kelompok. Hal ini bisa terjadi akibat sistem pengawasan yang tidak efektif, masalah birokrasi, dan budaya yang ada di pemerintahan. Para pelaku korupsi memiliki berbagai motif, termasuk keserakahan, peluang, kebutuhan, dan ketidaktransparanan.

4. Tidak Mampu Menangani Frustrasi
   Konsep frustasi dalam teori Freudian menyatakan bahwa individu yang tidak dapat mengatasi ketidakpuasan secara sehat dapat mengembangkan perilaku merugikan. Dalam konteks kejahatan korupsi, individu mungkin terlibat dalam korupsi sebagai cara untuk mengatasi ketidakpuasan atau frustrasi terhadap situasi atau lingkungan tertentu.

5. Ketergantungan pada Objek Eksternal
   Pada fase oral, individu dapat mengembangkan ketergantungan pada objek eksternal. Dalam konteks korupsi, ketergantungan ini mungkin terkait dengan usaha memperoleh keuntungan atau perlindungan melalui praktik-praktik koruptif.

Penting untuk diperhatikan bahwa teori psikoanalisis tidak dapat menjelaskan atau meramalkan perilaku korupsi secara langsung. Faktor-faktor eksternal seperti lingkungan sosial, ekonomi, dan kebijakan juga memiliki peran penting dalam pemahaman fenomena kompleks seperti kejahatan korupsi.

Daftar Pustaka

Syawal, H., & Helaluddin, H. (2018). Psikoanalisis Sigmund Freud Dan Implikasinya Dalam Pendidikan. Banten. Uin Sultan Maulana Hasanuddin. 

Bertens, K. (2006). Psikoanalisis Sigmund Freud. Gramedia Pustaka Utama. 

Fikri, I. F., Ismail, S. N., Zainiyati, H. S., & Kholis, N. (2023). STRUKTUR KEPRIBADIAN MANUSIA DALAM PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD: PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM. Edupedia: Jurnal Studi Pendidikan dan Pedagogi Islam, 8(1), 71-88. 

Juraman, S. R. (2017). Naluri Kekuasaan dalam Sigmund Freud. Jurnal Studi Komunikasi, 1(3), 280-287. 

Ismail, M. R. (2019). Kepribadian Tokoh Utama Dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari (Kajian Teori Psikoanalisis Sigmund Freud) (Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah Malang).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun