Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rahasia di Balik Tata Letak Ka'bah - Bagian 2: Hajar Aswad dan Pintu Ka'bah

23 Januari 2023   05:00 Diperbarui: 23 Januari 2023   08:24 5839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kutipan Rig Veda hymne 7.77 tentang "sang pemohon umur panjang" dalam buku David Kinsley (1988) "Hindu Goddesses..." Hlm. 7--8. (Dokpri) 

Metafora adalah gaya bahasa yang umum digunakan leluhur kita di masa kuno dalam mengungkap sesuatu. Terutama terhadap kejadian, figur, atau hal-hal apa pun yang dianggap sangat sakral dan sifatnya suci. 

Selain sebagai wujud penghormatan terhadap apa yang dianggap Sakral tersebut, kenyataannya, gaya bahasa metafora memang memiliki kedalaman atau keluasan makna yang bisa dikatakan tepinya tak terjangkau nalar - sehingga dengan demikian bernuansa kesadaran kosmis.

Penempatan Hajar Aswad di sudut timur laut, pintu Ka'bah yang diletakkan di sampingnya, dan sudut ini sebagai titik awal melakukan tawaf, adalah: rangkaian metafora atau simbolisasi - yang berbicara banyak tentang sesuatu di masa yang sangat kuno, di masa ketika semua hal (tentang manusia) baru saja dimulai.

Dalam bagian 1 saya telah mengungkap bahwa nabi Ibrahim tidak hanya membuat Ka'bah sebagai tempat ibadah bagi umat manusia dari segala penjuru dunia, tapi juga menjadikannya sebagai: tempat sarat dengan simbol-simbol teramat penting yang dapat menuntun umat manusia mengetahui asal usulnya. Dan, Hajar Aswad di sudut timur laut serta pintu Ka'bah yang ditempatkan di sampingnya, adalah "pintu masuk" kita memasuki lorong waktu itu.

Nabi Idris (atau Hermes) adalah orang yang berperan sangat penting dalam menyiapkan dan memastikan kita mampu menjelajahi lorong waktu itu. Dia mengajarkan ilmu hermeneutikanya sebagai bekal kita dalam upaya menerjemahkan simbol-simbol. Karena itu, dalam perjalanan ini, ia adalah guru kita. 

Hermeneutika adalah sebuah teori yang mengatur tentang metode penafsiran, yaitu interpretasi terhadap teks dan tanda- tanda lain yang dapat dianggap sebagai teks (Palmer, 1969).

Mengenai sosok nabi Idris atau Henokh atau Hermes Trismegistus atau Thoth dan beberapa lagi sosoknya yang lain,  telah saya bahas dalam artikel ini: Sosok Nabi Idris di Berbagai Tradisi Agama dan Mitologi, serta Rahasia yang Meliputinya.

Dalam jurnal penelitian Museum Salar Jung, disebutkan sebagai berikut: Orang pertama setelah periode Adam, yang menulis dengan pena adalah nabi suci Idris. Ia juga disebut sebagai "Hurmus Al Haramisah" dan "Al Muthallath" dengan alasan bahwa ia pernah menjadi nabi, raja, dan filsuf. Dia juga disebut "Hurmus-ul-Awwal". [Museum Salar Jung: Jurnal Penelitian SJM, Volume 6-7, 1974: 109]

Dalam bagian pertama sudah saya sebutkan bahwa Ka'bah, satu-satunya bangunan suci dan bersejarah di bumi yang sadar "realita geografis"-nya dengan mengacu pada utara sebenarnya bukan utara magnet. Ini kejujuran dan hal fundamental yang ditanamkan nabi Ibrahim dalam konsep desain yang ia terapkan pada tata letak Ka'bah.

Pilihan nabi Ibrahim untuk mengacu pada titik utara sebenarnya (bukan utara magnet yang semu), Secara filosofis, ingin menunjukkan bahwa Ka'bah yang ia bangun didasari oleh konsep dan fakta-fakta yang riil (nyata) - bukan semu atau pun imajinatif, dan bahwa hanya dengan mengikuti konsep fundamental tersebut, simbol-simbol yang ia benamkan dalam desain tata letak Ka'bah dapat terungkap.

Dengan menaati konsep tersebut, dalam bagian pertama, kita telah berhasil mengetahui bahwa yang diisyaratkan oleh letak maqam Ibrahim di sebelah utara Ka'bah (mengacu pada utara sebenarnya) adalah tentang eksistensi nabi Ibrahim di wilayah Bangladesh. 

Ia berada di sana setelah diperintahkan Allah untuk hijrah, menyingkir dari wilayah timur tengah untuk menghindari bencana hantaman meteor yang tumbukannya setara ratusan bom nuklir - yang menimbulkan bencana susulan seperti kebakaran besar, dan kekeringan hebat (mega drought) yang menurut penelitian para ahli menyebabkan wilayah jazirah Arab ditinggalkan kosong tak berpenghuni selama sekitar 300 tahun.

Dengan mencermati bangunan setengah lingkaran Hijr Ismail yang terletak di sebelah barat Ka'bah ((mengacu pada utara sebenarnya) kita pun akhirnya mengetahui bahwa nabi Ismail tidak mengikuti nabi Ibrahim hijrah ke timur. Ia memilih berhijrah ke arah barat. 

Jejak nabi Ismail di barat kita dapatkan setelah mencermati nama 'spain' (spanyol) yang pada dasarnya memiliki korespondensi bunyi secara morfologis dengan 'smail' karena, p dan m  sama-sama bagian dari konsonan bilabial (konsonan yang diartikulasi atau dihasilkan dengan mempertemukan kedua belah bibir), sementara n dan l sama-sama bagian dari Konsonan alveolar, yaitu konsonan yang diartikulasi dengan lidah menyentuh atau menghampiri alveolum (belakang gigi bagian atas).

Pada bagian kedua ini saya ingin lebih lanjut mengungkap rahasia-rahasia yang terpendam di balik tata letak Ka'bah, seperti mengenai sudut letak Hajar Aswad yang tepat mengarah ke wilayah Indonesia, dan hal-hal lain yang dapat kita ungkap dengan menggunakan tata letak Ka'bah yang sungguh sangat banyak menyimpan rahasia. 

Seperti yang saya sebutkan pada bagian pertama: Mengetahui rahasia yang tersimpan di balik tata letak Ka'bah berarti memiliki kunci untuk mengungkap lintasan sejarah umat manusia.

Sudut Hajar Aswad tepat menghadap ke Indonesia

Mengetahui jawaban pertanyaan "mengapa sudut Hajar Aswad tepat menghadap ke Indonesia? pada dasarnya, mengetahui pula  jawaban dari pertanyaan yang juga sangat penting, yaitu: mengapa sudut Hajar Aswad menjadi tempat orang memulai tawaf?

Secara harfiah 'Hajar Aswad' artinya Batu Hitam (hajar= batu, Aswad= hitam). Menurut riwayat yang berkembang dalam tradisi Islam, Hajar Aswad adalah batu yang berasal dari Surga. Awalnya berwarna putih susu lalu seiring waktu berubah warna menjadi hitam.

Dengan menaati konsep yang diterapkan nabi Ibrahim pada tata letak Ka'bah yaitu mengacu pada utara sebenarnya, kita mendapati sudut Hajar Aswad menghadap ke sekitar arah Timur Laut.

Untuk menentukan di mana wilayah "timur laut" yang dimaksud, kita mesti kembali menggunakan metode yang, di bagian pertama  telah kita gunakan untuk mengetahui di mana wilayah "utara" yang disimbolisasi oleh letak maqam Ibrahim di sisi utara Ka'bah,  yaitu, konsep interpretasi "posisi jarum jam sebagai penunjuk arah". 

jika jam 6 pagi merepresentasi arah timur (terbit fajar) - jam 12 siang merepresentasi arah utara (tengah hari) - jam 6 petang merepresentasi arah barat (terbenam matahari) - maka, jam 9 pagi tentunya dapat diduga merepresentasi arah timur laut (Silahkan cermati gambar berikut ini)...

posisi jam sebagai penunjuk arah dan penentu zona waktu (dokpri)
posisi jam sebagai penunjuk arah dan penentu zona waktu (dokpri)

Dalam gambar di atas kita melihat, wilayah Indonesia dari Papua hingga Sumatera masuk dalam kawasan "Timur Laut". Ini sesuai dengan fakta bahwa di masa lalu wilayah Indonesia (Nusantara), selain dikenal sebagai "negeri sabah" atau "negeri pagi", juga disimbolisasi dengan sebutan "negeri timur laut". 

Hal ini sudah saya ulas panjang lebar dalam artikel berjudul: 

Dalam teks Cina kuno, Sui shu (kitab sejarah dinasti Sui), yang disusun oleh Wei Zheng (580-643 M) terdapat informasi bahwa negara Zhenla atau Chen-la pada sekitar awal abad ke-7 diperintah oleh Zhiduosina dan Yishinaxiandai, yang ibukotanya disebut "Isanapura." Nama Isanapura oleh para sejarawan dianggap berasal dari bahasa Sanskerta "Isana" yang berarti "timur laut".

Mengenai letak Isanapura sebagai ibukota Zhen-la, sejarawan dunia pada umumnya menempatkannya di Wilayah Kamboja namun, klaim para sejarawan yang menempatkan Zhen-la di wilayah Kamboja sebenarnya mudah dilihat sebagai sebuah bentuk klaim yang dipaksakan.

Transkripsi Toponim yang disebut dalam berita cina terlihat begitu mudah dikait-kaitkan dengan toponim tertentu di Kamboja yang, pada kenyataannya, sama sekali tidak memiliki keidentikan jika ditinjau menurut struktur fonetisnya.

Berikut ini beberapa informasi dari catatan cina kuno mengenai Zhen-la yang menguatkan indikasi jika Zhen-la yang dimaksud dalam kronik Cina letak sesungguhnya adalah di pulau Sulawesi.

Dalam artikel mengenai Zhen-la di halaman chinaknowledge.de disebutkan sebagai berikut:

dicapture dari halaman web http://www.chinaknowledge.de yang membahas tentang Zhenla (dokpri) 
dicapture dari halaman web http://www.chinaknowledge.de yang membahas tentang Zhenla (dokpri) 

Dalam artikel yang saya capture di atas, disebutkan jika ibukota Zhenla selain disebut Isanapura ( Yi-shang-na-bu-lu-o / Yi-she-na-bu-luo) pernah pula disebut "Wuge " yang dalam buku Zhufanzhi disebut "Luwu."

Selanjutnya di bagian akhir disebutkan bahwa Zhenla terpecah menjadi dua kerajaan, yakni "Lu Zhenla" (Zhenla tanah) dan "Shui Zhenla" ( Zhenla air). Lu Zhenla juga disebut "Wendan".

Toponim wuge dan Luwu yang disebut dalam artikel di atas terlihat identik dengan entitas nama wilayah yang ada di pulau sulawesi. "Wuge" dapat kita lihat identik dengan: wugi -- ugi -- bugis. "Luwu" jelas identik dengan Luwu yaitu kerajaan tertua dan terbesar di pulau Sulawesi. 

Yang menarik adalah terjemahan kata 'Wendan' yang secara harfiah berarti "seni fajar" atau "budaya/ kultur pagi" (lihat capture di bawah ini). 

wen-dan secara harfiah berarti
wen-dan secara harfiah berarti "seni fajar" (dokpri)

Makna nama 'Wedan' (sebagai nama lain dari Zhenla yang ibukotanya disebut isanapura, pernah juga disebut Wuge dan Luwu) mengkonfirmasi - bahwa apa yang saya bicarakan di sini - tentang kaitan antara negeri timur laut (isanapura) dengan negeri pagi/ negeri sabah/ negeri fajar yang saya identifikasi terletak di pulau Sulawesi - bukanlah isapan jempol atau pengantar tidur bagi kelas pekerja (seperti anda) yang lelah sepanjang siang hari bekerja hingga ketika malam sulit tidur dan karenanya butuh sesuatu bacaan yang bisa membuatnya  mengantuk. Bukan.

Mengapa Suatu wilayah di Pulau Sulawesi disebut "negeri fajar/ negeri pagi/ negeri sabah", pada masa lalu?

Pertanyaan ini membawa kita ke penelusuran yang lebih dalam masuk ke masa yang sangat kuno, saat paling awal, di mana konsep penyembahan matahari terlahir dan  kemudian mendasari filosofi hidup bangsa Matahari (dikenal sebagai wangsa Surya dalam literatur India dan sebagai bangsa Suryani dalam literatur Islam).

Kita patut bersyukur karena pemahaman filosofi yang mendasari spirit peradaban manusia selama ribuan tahun itu dapat kita temukan terekam dalam catatan Himne tertua Veda, yakni pada himne 1.115 Rgveda yang menyebutkan: 

Surya sebagai penghormatan khusus untuk "Matahari Terbit" dengan simbolismenya sebagai penghilang kegelapan, orang yang memberdayakan pengetahuan, kebaikan dan semua kehidupan. 

Untuk diketahui, dalam tradisi Hindu, Surya berkonotasi Dewa Matahari. (Roshen Dalal, Hinduism: An Alphabetical Guide, 2011), begitu pula Dewi Usas (Dewi Fajar). 

Hal terpenting untuk dicermati dari Rekaman Himne tertua Veda di atas adalah pada kalimat "sebagai penghormatan khusus untuk Matahari terbit" karena, ini mesti kita cermati bahwa dari kesemua rentang waktu posisi matahari di langit pada siang hari, hal yang paling dikhususkan terletak pada posisi waktu ia terbit, yang dalam perbendaharaan Bahasa kita pada hari ini, kita kenal dengan sebutan "pagi".

Dengan kata lain, pada masa paling awal, Bangsa Matahari hanya mengkhususkan pemujaannya pada matahari terbit saja. Dan, leluhur Bangsa Matahari yang menganut konsep ini, menamai negeri mereka sebagai "negeri pagi/ negeri fajar/ atau negeri sabah", yaitu: Nusantara (Indonesia kuno).

Seorang teman saya yang bertempat tinggal di Singaraja Bali mengatakan; Di bali setiap perande, peranda, atau pedanda (pendetanya orang Bali) memiliki kewajiban "nyurya sewana" di pagi hari memuja matahari yang baru terbit. 

Beliau juga mengatakan bahwa orang Bali kebanyakan menyebut perandenya (pendetanya) dengan sebutan "suryan tityange" (matahari saya) atau bisa diartikan "wakil saya memuja matahari". Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa sikap penghormatan khusus untuk Matahari terbit" hingga kini masih lestari dalam kebudayaan masyarakat Bali.

Siapakah sosok yang dianalogikan  bagai "Matahari terbit di pagi hari yang menghilangkan gelap malam"? 

Literatur kuno kuat mengindikasikan Batara Guru adalah personifikasi dari nabi Adam sebagai "guru yang paling awal."

Rajeshwari Ghose dalam bukunya Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period mengatakan bahwa dalam kitab Jawa kuno, Tantu Panggelaran, Bhattara Guru digambarkan sebagai guru pertama kali dari sekolah yang paling awal (paling tua), ia dikatakan sebagai guru para dewa. Dia direpresentasikan sebagai guru berbicara (speech) dan guru bahasa (language). 

Literatur kuno juga menunjukkan bahwa Batara  Guru terkait dengan Dewa Siwa, dan Surya adalah salah satu dari delapan bentuk (ashta murti) Dewa Siwa.

Bunyi himne 1.115 Rgveda; Surya sebagai penghormatan khusus untuk "Matahari Terbit" dengan simbolismenya sebagai penghilang kegelapan, orang yang memberdayakan pengetahuan (...), pada dasarnya dapat kita maknai menyiratkan sosok seorang pembawa cahaya (ilmu pengetahuan) yang menghilangkan kegelapan (kebodohan), dan ini, jelas adalah kualitas yang ditunjukkan  oleh seorang guru.

Jadi, di masa yang paling awal, Adam dipersonifikasi sebagai "matahari terbit" yang datang membawa cahaya (ilmu pengetahuan) dan menghilangkan kegelapan (kebodohan) - lalu, dalam perjalanannya, metaforanya berkembang menjadi Batara Guru (Guru paling awal/ guru para dewa).

Tetapi bukan nabi Adam yang membuat itu semua. Melainkan Hawa, istrinya. Pengakuan telah diberikan, walau pun dalam kalimat yang bersifat kiasan: 

Aku adalah semua yang telah dan akan terjadi

Belum ada makhluk fana yang pernah mengangkat kerudungku (membuka tabirku)

Buah rahimku adalah matahari

Puisi ini ditemukan tertulis pada prasasti bagian bawah patung Isis di kota Sais Mesir kuno. Hal ini dilaporkan oleh  Plutarch (seorang penulis Yunani pada akhir abad pertama dan awal abad kedua Masehi). Lebih dari 300 tahun setelah Plutarch, filsuf Neoplatonis Proclus menulis tentang patung yang sama dalam Buku  yang membahas Komentarnya tentang "Timaeus" Plato. 

Patung perunggu setinggi 2,2 meter, sebuah interpretasi tentang patung kerudung Isis, karya pematung Belgia, Auguste Puttemans (dokpri)
Patung perunggu setinggi 2,2 meter, sebuah interpretasi tentang patung kerudung Isis, karya pematung Belgia, Auguste Puttemans (dokpri)

Isis adalah seorang dewi utama dalam mitologi Mesir kuno. Ia pertama kali disebutkan di Kerajaan Lama Mesir (sekitar 2686-2181 SM). Personifikasinya sebagai dewi kehidupan, dewi alam, dihormati sebagai seorang ibu, dan diyakini sebagai penyihir paling kuat di alam semesta, menguatkan dugaan saya jika ia tidak lain adalah sosok "Sang pemohon umur panjang".

Hal ini telah saya bahas khusus dalam artikel panjang berjudul: Hawa: Aku adalah semua yang telah dan akan terjadi (Sang Pemohon Umur Panjang dan Konsekuensi yang Ia Dapatkan).

Hawa: Sang janda yang memohon umur panjang

Jauh di ribuan tahun yang lalu, ketika doa dari bumi yang memanjat ke langit belum seramai hari ini, dari sebuah puncak gunung yang hening dan dingin, sebuah doa membelah langit malam -- meluncur deras ke langit tertinggi.

Diiringi tangisan sedu sedan, untaian kalimat doa beserta ikrar itu tercetus ke angkasa. Makhluk-makhluk di alam yang mendengar... dibuatnya tertegun, tak terkecuali para malaikat penjaga langit. 

Malam itu, awal bencana terbesar dalam sejarah umat manusia dimulai. Itu adalah bencana terbesar kedua, setelah yang pertama yaitu saat diusirnya nenek moyang manusia keluar dari surga. Uniknya, penyebab terjadinya bencana masihlah orang yang sama.

Adegan permohonan doa itu terekam dalam Rigveda, hymne 7.77 : "dia juga mengajukan petisi untuk diberikan umur panjang, karena dia konsisten mengingatkan orang-orang akan waktu yang terbatas di bumi". 

Tujuan permohonannya agar diberi umur panjang bisa dicermati pada hymne 1.48, yang berbunyi: "Dia yang memelihara/ merawat/ menjaga semua hal, layaknya seorang janda yang baik".

ia juga dikatakan "memancarkan cahaya yang diikuti oleh matahari (surya), yang mendesaknya untuk maju (3,61). Dia dipuji karena mengarahkan, atau diminta untuk mengusir kegelapan yang menindas". (7.78; 6.64; 10.172). 

Kutipan Rig Veda hymne 7.77 tentang
Kutipan Rig Veda hymne 7.77 tentang "sang pemohon umur panjang" dalam buku David Kinsley (1988) "Hindu Goddesses..." Hlm. 7--8. (Dokpri) 

Dalam tradisi Rigveda, dia yang disebut sebagai "janda yang baik" lebih dikenal dengan nama Ushas.

Ushas adalah dewi yang paling mulia di Rig Veda. Ia dianggap setara dengan dewa (laki-laki) utama Veda. Ia dihormati sebagai yang menghidupkan kembali bumi setiap hari, mengusir kekacauan dan kegelapan, menggerakkan semua hal, mengirim semua makhluk hidup untuk melakukan tugas mereka. 

Dalam "family books" dari Rig Veda, Ushas disebut sebagai putri ilahi. Menurut Sri Aurobindo (1872 -- 1950), seorang filsuf, yogi, guru, penyair, dan nasionalis India, Ushas adalah medium kebangkitan, aktivitas dan pertumbuhan dewa-dewa lain; ia adalah kondisi pertama dari realisasi "Veda" (sanskerta: pengetahuan dan kebijaksanaan). Ushas berasal dari bahasa Sanskerta "usa" yang berarti "fajar". Karena itu ia dikenal sebagai dewi fajar dalam tradisi Hindu.

Ya, sepeninggal Adam, Ibu Hawa mulai mengembangkan konsep "Adam sebagai guru paling awal yang kehadirannya bagaikan  matahari pagi yang menghilangkan gelap malam" yang, awalnya hanyalah ungkapan filosofis bergaya metafora semata, ia dorong ke tingkat yang lebih konkrit.

Karena itu, muncullah nama berhala Suwwa yang dipuja kaum nabi Nuh. Dalam bahasa chichewa yang digunakan oleh orang Chewa (bagian dari etnis Bantu di Afrika), terdapat kata "dzuwa" yang berarti "matahari". Jadi, Suwwa atau Siwa atau Surya, artinya: Matahari.

Pada dasarnya, Hawa mengembangkan metafora ini bukan untuk Adam tapi untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia perlu itu untuk melegitimasi dirinya. 

Dalam perjalanannya mengarungi umur panjang, ia selalu menciptakan metafora dalam konsep dualisme "maskulinitas dan feminitas" - di mana ia menyandingkan dirinya dengan suaminya. 

Misalnya, Surya dan Ushas (dewa dan dewi fajar). 'Kala' dan 'Kali' (nama lain Parvati, istri Siwa). Ia juga menggunakan nama Artemis agar dapat berpasangan dengan nama Miteras/ Mithras  (nama lain Dewa Surya).  Nama artemis adalah bentuk anagram dari nama miteras.

Tapi dari begitu banyak personifikasi yang ia munculkan untuk dirinya, profilnya sebagai dewi fajar yang akan saya gali lebih dalam karena ini terkait dengan tema pembahasan utama kita yaitu Hajar Aswad.

Jejak Dewi Fajar di Pegunungan Latimojong

Dalam tradisi lokal masyarakat di sekitar kaki pegunungan Latimojong terdapat kisah tentang Nenek Mori yang dipercaya, pada zaman dahulu kala hidup di atas puncak Latimojong.

Nenek Mori dipercaya memiliki kemampuan istimewa. Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari bagi ia dan cucunya, Nenek Mori berburu Anoa. Namun, ia tidak berburu seperti yang dilakukan orang-orang pada umumnya. 

Ketika berburu, nenek Mori cukup melantunkan nyanyian khusus dan sesaat kemudian Anoa-anoa yang banyak berkeliaran di pegunungan Latimojong akan jinak datang mendekatinya. Setelah itu Nenek Mori tinggal memilih salah satu diantaranya, dan Anoa yang terpilih dengan pasrah menyerahkan diri tanpa perlawanan sedikit pun.

Nenek Mori dianggap bukan saja bersahabat dengan Anoa ataupun binatang lainnya yang terdapat di pegunungan Latimojong, tapi ia juga dipercaya bersahabat dengan makhluk halus atau makhluk gaib yang terdapat di wilayah tersebut. Demikianlah penggalan singkat kisah tentang asal usul nama puncak Nenemori di pegunungan Latimojong.

Hal penting yang perlu mendapat telaah dari legenda ini adalah nama "Nene-mori" itu sendiri. Sebutan 'Nene' tentunya mudah dimaknai bermakna "nenek" dalam bahasa Indonesia. Sementara itu "Mori" butuh analisa yang cukup panjang untuk mendapat makna yang sesungguhnya.

Sesungguhnya, terdapat banyak toponim dan etnonim yang menggunakan kata 'Mori' di pulau Sulawesi, seperti; Suku Mori di Sulawesi tengah, Pulau Mori di muara sungai Malili di Luwu Timur, dan Puncak Nene' Mori yang merupakan puncak kedua tertinggi di pegunungan Latimojong setelah puncak Rante Mario. 

Untuk memahami makna sesungguhnya dari kata "Mori" salah satu tinjauan yang layak untuk dipertimbangkan adalah kata "Mrena" yang merupakan ucapan selamat pagi dalam bahasa orang Maori (penduduk asli Selandia Baru). 

"Mrena", identik dengan bentuk "morning" dalam bahasa Inggris yang, pada situs merriam-webster.com dijelaskan bahwa bentuk dasar kata "morning" adalah: "morn" yang mendapat suffix -ing. Dari tinjauan ini dapat diduga jika kata "mori" sangat mungkin bermakna "pagi".

Secara tinjauan fonetis, nama teluk 'boni' di pulau Sulawesi memiliki korespondensi bunyi secara morfologis dengan kata 'mori.'  Huruf b pada kata boni dan m pada kata mori merupakan bagian dari kelompok konsonan bilabial. Huruf n pada kata boni dan r pada kata mori merupakan bagian dari kelompok konsonan alveolar. Sementara itu, huruf vokal o dan i pada keduanya tidak berubah (tidak bermorfologi) dan tetap berada di posisi yang sama.

Table Konsonan. Disadur dari The International Phonetics Alphabet (IPA), Iggy Roca dan Wyn Johnson, 1999 (dokpri)
Table Konsonan. Disadur dari The International Phonetics Alphabet (IPA), Iggy Roca dan Wyn Johnson, 1999 (dokpri)

Dengan demikian, kata mori dan boni yang banyak digunakan sebagai toponim dan etnonim di pulau Sulawesi (terutama di bagian selatan hingga bagian tengah pulau Sulawesi), memiliki akar sejarah yang kuat dan, bisa dikatakan,  eksis di wilayah ini dalam waktu yang sudah sangat lama.

Sekarang kita ketahui: mori berarti pagi, jadi nenek mori berarti "nenek pagi; boni berarti pagi, jadi teluk boni berarti "teluk pagi". Apakah kedua kata yang bermakna pagi ini saja yang menghiasi lanskap sejarah kuno pulau sulawesi? tidak, masih ada satu lagi, yaitu kata 'makale' yang sekarang menjadi nama ibukota kabupaten Toraja. Dalam bahasa Tae makale artinya "pagi".

Demikianlah, ketika naskah Cina kuno menginformasi kita bahwa wilayah (Luwu) di pulau Sulawesi pernah disebut 'Wendan' yang secara harfiah berarti "seni fajar" atau "budaya/ kultur pagi" maka, bisa dikatakan sebutan itu tidaklah berlebihan, bahkan tepat. 

Wilayah kerajaan Luwu antara abad ke-19 hinga awal abad ke-20. (dokpri)
Wilayah kerajaan Luwu antara abad ke-19 hinga awal abad ke-20. (dokpri)

Unsur "budaya pagi" yang kuat mengakar di wilayah ini pada masa kuno jelas disebabkan oleh adanya pengaruh dari sosok kharismatik yang kuat dan mungkin sangat ditakuti. 

"Nenek mori" atau "Nenek pagi" yang dalam cerita rakyat di sekitar pegunungan Latimojong disebut bersahabat dengan Anoa dan memiliki keahlian khusus dalam berburu, dapat kita lihat identik dengan uraian tentang dewi ushas dalam Rigveda yang disebut : ibu dari sapi -- seorang yang suka sapi -- pemburu yang terampil. Faktanya, Anoa yang oleh masyarakat lokal latimojong disebut "tedong malillin" (kerbau gelap) memang merupakan jenis kerbau, dan tentunya sejenis pula dengan sapi.

Jadi apakah Nenek Mori  adalah sosok yang sama dengan Dewi Ushas? Ya, makna kedua nama ini pada dasarnya memang sangat identik. Nenek Mori= Nenek Pagi, Dewi Ushas= Dewi Fajar.

Saya pribadi tidak ragu dalam hal ini. Dewi fajar atau Dewi Pagi atau dalam tradisi hindu dikenal sebagai Dewi Ushas, tidak lain adalah sosok Nenek Mori atau Nenek Pagi. Ia berasal dari wilayah ini, pegunungan latimojong di pulau Sulawesi, yang kemudian dalam kurun waktu ribuan tahun sosoknya yang melegenda terbawa hingga ke wilayah dunia barat.

Sosoknya yang pada awalnya adalah manusia biasa yang dikaruniai memiliki kemampuan atau kelebihan khusus lambat laun dalam masa ribuan tahun kemudian termitologisasi menjadi sosok Dewi yang disembah.

Pada masa yang sangat awal, ketika ia masih menetap di pulau Sulawesi, ia masih diketahui sebagai manusia biasa (yang mempunyai kemampuan luar biasa), oleh karena itu ia masih disebut "nenek". Ribuan tahun kemudian, setelah figur dirinya melegenda dan menjadi sosok yang paling ditakuti oleh bangsa-bangsa di masa kuno, dia tidak lagi disebut nenek tapi "dewi" (dewa perempuan).

Hal ini dengan sendirinya memberi gambaran bahwa, pulau Sulawesi, di mana ia masih dikenal sebagai manusia biasa, merupakan tempat awal mula ia bereksistensi di muka bumi. Dengan demikian: apakah pulau Sulawesi, dalam hal ini gunung Latimojong, adalah tempat menetap pertama kali Adam dan Hawa di bumi, setelah terusis dari surga? Tampaknya demikian. Seluruh data yang terkumpul selama saya meriset subjek ini mengarah kuat pada kesimpulan itu.

Hajar Aswad mengkonfirmasi

Di bagian awal saya telah menyatakan bahwa: Penempatan Hajar Aswad di sudut timur laut, pintu Ka'bah yang diletakkan di sampingnya, dan sudut ini sebagai titik awal melakukan tawaf, adalah: rangkaian metafora atau simbolisasi - yang berbicara banyak tentang sesuatu di masa yang sangat kuno, di masa ketika semua hal (tentang manusia) baru saja dimulai.

Uraian panjang lebar saya di atas bisa dikatakan sudah mengurai sebagian besar benang merah yang terdapat pada rangkaian metafora tersebut.

Simbol "Sudut timur laut" 

Timur laut mengacu pada wilayah Indonesia jika ditinjau menggunakan konsep interpretasi "posisi jarum jam sebagai penunjuk arah". 

Isanapura yang berarti "kota timur laut" adalah nama negeri di pulau Sulawesi (isana= timur laut; pura= kota). Kronik Cina kuno menginformasi bahwa Isanapura juga disebut 'wuge' (identik dengan wugi/ ugi/ bugis, yaitu entis di pulau Sulawesi), dan pernah pula disebut Luwu (sebuah kerajaan terbesar di pulau terbesar. umumnya budayawan dan sejarawan di Sulawesi selatan menyebut Luwu sebagai Bugis kuno)

Dengan menggunakan tinjauan konsep interpretasi "posisi jarum jam sebagai penunjuk arah", timur laut adalah sisi zona pagi...

  • jam 6 pagi sebagai sisi paling timur tempat terbit fajar mengacu pada wilayah Tuvalu dan sekitarnya; 
  • jam 9, 10, 11 pagi sebagai sisi timur laut mengacu pada wilayah Indonesia timur, Indonesia tengah, dan Indonesia barat; 
  • jam 12 siang sebagai sisi utara mengacu pada wilayah Bangladesh dan sekitarnya; 
  • jam 3 sore sebagai sisi barat laut mengacu pada wilayah Irak dan sekitarnya; 
  • jam 6 petang sebagai sisi paling barat tempat matahari terbenam mengacu pada wilayah Maroko dan sekitarnya)

"Timur laut" yang terkait dengan aspek "pagi" terbukti, hadir beriringan dan kental mewarnai lanskap sejarah kuno pulau sulawesi, dalam bentuk toponim dan etnonim yang tersebar di berbagai wilayah di Sulawesi (terutama bagian Selatan hingga bagian tengah pulau Sulawesi).

Simbol "pintu Ka'bah yang terletak di samping Hajar Aswad"

mengisyaratkan bahwa: sisi ini (sisi timur laut) adalah pintu masuk paling awal bagi "utusan pertama dari langit" untuk memulai kehidupan peradaban umat manusia di bumi.

Simbol "sudut Hajar Aswad di sisi timur laut sebagai titik awal tawaf"

Mengisyaratkan bahwa: dari titik inilah perjalanan "umat manusia" (anak cucu Adam) dimulai. "Titik timur laut" sebagai titik awal peradaban manusia. Titik awal semula bermula. 

Lalu apa makna simbol "Hajar Aswad yang berada di sisi timur laut Ka'bah?"

Hajar aswad yang berarti "batu hitam" persis sama makna nama tradisional gunung Latimojong yaitu Buntu Batu lotong artinya "gunung Batu hitam" (Buntu= gunung, Batu= batu, Lotong= hitam). Masyarakat lokal yang hidup di kaki gunung umumnya menggunakan nama ini untuk menyebut gunung Latimojong. 

Hajar Aswad dalam riwayatnya disebut berasal dari Surga. Ini juga ada kesamaan dengan makna nama puncak tertinggi latimojong yaitu "Rante Mario" yang artinya "tanah kebahagiaan" (rante= tanah/ dataran; mario= bahagia/ kebahagiaan). Kita dapat melihat bahwa makna nama "rante mario" ini merupakan bentuk kalimat naratif untuk kata "surga", bukan? 

Puncak Nenemori (Nenek Mori) yang merupakan puncak kedua tertinggi di pegunungan Latimojong berada di sisi selatan puncak Rante Mario. Secara intuitif saya melihat bahwa di gunung Nenemori inilah 'nenek pagi' atau dewi fajar atau dewi ushas pertama kali bersemayam.

Jika kita mendaki melalui jalur timur Latimjong (dari arah Kabupaten Luwu), untuk mencapai puncak Nenemori kita mesti melewati buntu (gunung) 'Katapu'.

Ketika saya dan teman-teman melakukan survey untuk membuka jalur pendakian gunung latimojong dari arah timur, Buntu Katapu kami gelari "jembatan langit" oleh karena bentuknya berupa punggungan sempit dengan lebar antara 1-1,5 meter yang memanjang sekitar 2-3 Kilometer.

Nama 'Katapu' tampaknya berasal dari kata dasar 'tapu' atau 'tabu', yang artinya: terlarang, Sakral, suci. Dalam bahasa orang Maori (suku asli di Selandia Baru) kata 'tapu' bermakna sakral atau suci. Sementara itu, Suku kata ka- di depan ka-tapu, sinonim dengan bentuk 'ke' dalam bahasa Indonesia. Jadi, 'Katapu' dapat dimaknai: "menuju tempat terlarang, sakral atau suci." 

Demikianlah, buntu Katapu yang berupa lintasan jalan sempit yang memanjang sekitar 2-3 kilometer dan makna etimologi yang dimilikinya mengisyaratkan bahwa, ia adalah lintasan menuju tempat yang terlarang, sakral atau suci.

Satu hal yang juga cukup menarik adalah sebutan lain untuk puncak nenemori yaitu "bubun dirangkang" . Secara harfiah "Bubun Dirangkang" berarti: "sumur dikurung" atau "sumur ditutup" (bubun = sumur; dirangkang = dikurung / ditutup). 

"memang ada sumur di atas sana yang menurut cerita orang dulu, ditutup oleh seorang Wali," kata seorang sesepuh yang berusia 92 tahun yang tinggal di kaki gunung Latimojong, yang kediamannya menjadi tempat nginap saya sewaktu survei jalur timur Latimojong 2019 lalu. Beliau menjelaskan ini ketika saya tanya, apa mungkin makna nama "bubun dirangkang" artinya "sumur yang ditutup?" 

Kesimpulan

Demikianlah, ketika nabi Ibrahim mendesain tata letak Ka'bah dengan menempatkan Hajar Aswad di sudut timur laut, menempatkan pintu Ka'bah tepat berada di sisinya dan putaran tawaf dimulai dari sudut yang sama, Dia, pada hakikatnya merancang rangkaian metafora yang bercerita tentang awal mula peradaban manusia. Di mana itu dimulai, siapa yang memulai, dan bagaimana itu kemudian berkembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun