Mohon tunggu...
Fadlil Hidayatullah
Fadlil Hidayatullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Malang

Sorang mahasiswa yang menyukai bidang musik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelap Tersekap

17 Juni 2024   10:03 Diperbarui: 17 Juni 2024   10:03 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                "Gun, bisakah kita melakukannya lagi?"

                "Tentu,"

                Gunawan meraih kembali kondom yang selesai digunakan. Mereka punya masalah sendiri untuk bertemu meski hidup dalam satu kota. Ganas dan beringas. Tidak ada uang, tidak ada waktu. Kesempatan tidak boleh dibiarkan barang sedetik. Tidak jadi masalah, bukan kali pertama Gunawan menggunakan satu kondom untuk dua kali pakai, pada Hana, kekasihnya. Entah apa yang mereka maksud, tapi soal cinta memang setiap orang punya cara sendiri mengungkapkannya. Semua masih baik-baik saja

                Sebuah tempat yang tidak layak disebut kamar kontrakan. Tapi lumayan, sebab harga miring yang mereka dapatkan untuk sebuah ruang bawah tanah bisa digunakan sebagai titik paling aman dari riuhnya kota. Tentu saja mereka sadar jika itu sementara. Tadinya tuan tanah membangunnya sebagai gudang. Apa boleh buat, celah terkecil seperti apapun harus dimanfaatkan secara maksimal jika masih doyan hidup. Hana tidak pernah merasa keberatan, lagi pula hampir setiap malamnya dihabiskan di hotel, ruang karaoke, kadang juga rumah pribadi tamu yang memesannya.

                "Aku masih punya waktu sebelum pergi," kata Hana sambil melepas bra yang baru saja ia kenakan.

                Gunawan tak membalas. Terbaring sedikit lemas diduduki kekasihnya.

                "Lakukan lebih cepat," suaranya memelan, jatuh di dada Gunawan.

                Urusan bercinta Gunawan tidak berperan banyak. Ia hanya mengikuti intruksi dari kekasihnya. Suara dalam kepalanya seperti obat bius. Tapi Gunawan paling mengerti isi hati Hana. Ia gelisah. Perempuan paling dicintainya itu dikejar oleh takdir. Tangisnya sekedar sampai berkaca-kaca di mata. Terikat hutang, Tidak boleh memilih mati, tidak boleh mengungkit masa lalu.

                Gunawan tak bisa pergi kemana-mana kecuali mendapat perintah dari atas. Meski ia sebut bedebah, tak ada pilihan menolak. Sekali pergi, perlu hitungan hari untuk kembali. Tempat kecil bawah tanah itu satu-satunya arti pulang yang sebenarnya. Segala syukur hanya tertuang pada tenggak-tenggak alkohol. Berserakan di sana-sini bercampur puntung rokok entah berapa jumlahnya. Otot-otot mereka juga perlu dilonggarkan. Malam memikat, menjerat sangat rapat. Bukan waktunya lelap. Sudah lama pula tidak bisa tidur. Mereka hanya tertidur, sebab terlalu berat menanggung beban di siang dan petang.

                Gunawan hanya sampai bertanya di balik lidah kala desah-desah Hana masuk ke telinganya. Memang apa arti baik dan buruk? Semua pekerjaan hanya berarti uang. Bukankah tak jadi masalah, bertahan hidup  bersama dengan nilai-nilai yang campur aduk, tumpang tindih, samar, yang diatur oleh kalangan elit? Lelah sudah biasa, apa doa masih perlu untuk kami?. Menangis dan lari sudah jadi pilihan paling kuno. Sejak dulu dunia ini sudah menyebalkan. Mengapa justru kata selesai hanya kami temukan pada pertemuan? Aku tak ingat pernah meminta situasi seperti ini. Bagi Gunawan, mengeluh bukan solusi yang tepat.

Harus puas, bercinta juga masalah waktu. Tidak ada yang menjamin setelah perpisahan akan ada pertemuan kembali. Tidak boleh percaya pada orang lain. Habitat kecil sepasang merpati yang sekarat. Dua kali puncak klimaks belum mampu meredakan pelik yang berkepanjang.

                "Kita akan kembali berpisah," Hana terkulai dalam pelukan.

                Gunawan meraih sebatang rokok, menyalakannya untuk dihisap bergantian.

                "Jangan sampai kalah dalam pertempuran," Hana mendekap dada bidang kekasihnya.

                "Tenanglah, aku masih mampu untuk bertarung,"

                "Maaf, kau harus menjadi anjing suruhan orang-orang itu. Uang kita akan segera terkumpul untuk membayar kebebasan,"

                Keduanya terdiam sejenak. Tidak ada kesempatan paling sempurna dari pada sebuah pertemuan.

                "Aku belum boleh mati Gun,"

                Gunawan tak membalas, kekasihnya itu merebut rokok darinya.

                "Kita tidak boleh mati, dan harus meninggalkan kehidupan yang menjijikkan ini, pasti!"

                "Apakah ada tempat seperti itu?"

                "Maka aku lebih memilih mati untuk mencarinya. Dari pada terus di tempat konyol ini. Aku muak dengan orang-orang kaya, nafas mereka bau seperti

kotorannya sendiri. Mereka bebas mencicipi tubuhku untuk naf-

su yang tak pernah kenal istirahat. Entah bagaimana kantongnya bisa tetap tebal oleh  kertas menggiurkan itu. Aku muak dengan mimpi dan harapan, bahkan untuk tidur

aku harus terus waspada. Tapi setidaknya harapan itu aku miliki saat bersamamu," Hana mengencangkan dekapan. Tak ingin meraih pakaian, telanjang meski di luar sangat dingin.

                "Maaf, aku tak bisa memberimu hidup seperti yang kau inginkan,"

                "Tidak Gun, seharusnya kau bisa saja meninggalku sekarang. Justru kau memilih tinggal dan menyelamatkanku. Memilih menjadi tukang pukul demi hidup yang bebal ini. Kau mungkin akan menemukan kehidupan yang enak tanpa memikirkanku,"

                "Jika ada yang lebih indah dari mati, aku pikir itu adalah bersamamu,"

                Hana terdiam, hanya ingin diam.

                "Setelah ini aku akan menemuinya,"

                Hana masih diam.

                "Laki-laki yang menyelamatkanmu itu sepertinya mengerti sesuatu,"

                "Si dukun aborsi?" Hana menatap wajah kekasihnya.

                "Aku menemuinya beberapa hari lalu dalam penyerangan. Saat itu aku dan yang lain harus menghancurkan sebuah bar. Ternyata ia mengenal seseorang di dalam bar. Yang jelas ia masih mengenalku, aku hampir dibuat tak berdaya dengan caranya berkelahi. Sial, padahal sepertinya ia lebih muda. Akhirnya aku menyebut nama laki-laki tua itu,"

                "Keparat itu!" Paras cantik Hana menjadi raut yang marah.

                "Laki-laki tua yang seenaknya menjamah tubuhmu, merenggut Mia darimu,"

                Hana pecah tangisnya dalam diam.

                "Ada banyak hal yang kami bicarakan, Tapi dia menyebut nama Mia. Sepertinya ada hubungan di antara kita dengannya,"

                "Tapi kau tidak boleh keluar dari tempat ini,"

                "Kita tidak boleh percaya orang lain, tapi Mia bukan orang lain. Dia satu-satunya keluargamu dan alasan kenapa kita tidak boleh mati. Dari mata dukun itu aku melihat dendam yang sangat dalam,"

                "Dendam?"

                "Situasi ini sudah sangat sulit, tapi jika ada kesempatan balas dendam, sepertinya boleh juga. Lagi pula tidak ada jaminan untuk benar-benar selamat dari situasi ini,"

                Hana harus pergi melayani tamu. Gunawan juga beranjak. Menyusuri jalan terlarang, pikirannya selalu was-was. Namun yang paling ia cemaskan tentu masih kekasihnya. Berkali-kali membayangkan tubuh Hana harus direlakan pada laki-laki kaya membuatnya terus geram. Lagi pula siapa bisa tahan dengan kesempurnaan tubuh Hana. Perempuan malam kelas atas tanpa kemewahan yang harusnya didapatkan. Ia relakan semua untuk menebus Mia, adiknya yang sudah ketergantungan candu. Hutang terus berulang. Disekap, tersuplai, candu, sebuah lingkaran yang tak akan berhenti.

                Di tempat pertemuan yang tersepakati, ruang gelap dengan sedikit cahaya. Gunawan terkesiak, seorang perempuan terbaring terselimuti kain dengan rapi di sofa. Itu Mia, entah tertidur atau sedang tak bernyawa.

                "Apa maksud semua ini!" Gunawan siap dengan kepalan tangannya.

                "Aku mengeluarkannya dari kurungan si tua bangka," kata dukun aborsi.

                Gunawan tercekat, meraba-raba situasi yang sedang terjadi.

                "Apa yang kau minta sebagai pengganti Mia?"

                Dukun aborsi itu berjalan mendekati Gunawan. Keduanya berdiri sejajar berhadap-hadapan.

                "Aku tak butuh imbalan uang, tapi kau harus tinggal bersamaku,"

                "Maksudmu?"

                "Aku tak kenal perempuan malang ini, dia sudah kecanduan obat. Untuk menyelamatkannya bukan soal yang tidak mungkin bagiku, tapi sebagai gantinya aku hanya butuh kekuatanmu,"

                "Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan,"

                "Tidak ada waktu. Sebentar lagi si tua bangka akan menyadari benda berharganya telah dicuri. Mereka berdua harus segera pergi,"

                "Hana?" Gunawan semakin kebingungan, "Pergi? Aku tak mengerti maksud ucapanmu,"

                "Aku mengenal seorang dokter, dan aku rasa kau mengerti situasi perempuan ini. ia tidak akan bertahan hidup tanpa seorang dokter. Di sana adalah tempat paling aman dari kota ini. Si tua bangka tidak akan berani mendatangi tempat itu. Putuskan sekarang. Aku yakin kekasihmu belum sampai bertemu dengan tamunya,"

                "Sial, aku tak bisa mempercayaimu!"

                "Kekasihmu seharusnya sudah lari menuju tempat ini,"

                Gunawan tak lagi dapat menahan emosinya. Mereka sudah tahu kemampuan bertarung masing-masing. Lantas begitu saja kepalan tangan sampai di kerah baju si dukun aborsi.

                "Apa yang kau lakukan pada Hana? dan jangan macam-macam dengan Mia,"

                "Aku telah menyuruh seseorang menyampaikan salamku pada kekasihmu. Tamunya sedang sibuk, lebih baik menemuimu di tempat ini," dukun aborsi itu masih tenang di tempatnya.

                "Aku benar-benar tidak mengerti!" Mata gunawan terjatuh pada Mia yang terlelap di sofa, di sebelahnya.

                "Kau mencemaskannya? Aku memberinya obat penenang yang biasa aku gunakan untuk pasien aborsi. Hanya orang kelas atas yang mampu membeli obat itu sekedar demi tak merasakan sakit ketika proses operasi. Terlalu mahal untuk orang-orang seperti kalian,"

                Gunawan melepas tangannya dari kerah si dukun aborsi itu. Situasi ini terlalu mendadak. Musim dingin tidak lagi memiliki arti apapun. Kilat menyambar dan hujan tiba-tiba deras. Di tempat lain Hana belum sampai menemui tamunya. Tanpa sebab yang jelas, seseorang memintanya pergi ke tempat pertemuan. Ada banyak noda darah, tak terlihat, tapi Hana mencium sesuatu yang buruk sedang terjadi. Gunawan dibalut kebingungan. Hujan semakin deras.

                "Belum cukup untuk membuatku yakin. Katakan mengapa kau melakukan semua ini? lagi pula dari ucapanmu, kau tidak seperti orang yang kekurangan uang. Sebenarnya apa alasanmu, mengapa aku harus membantumu untuk imbalan, Dendam?"

                "Dendam? Kau terlalu sentimen, Gun. Setidaknya kau benar akan satu hal, aku tak pernah kesulitan uang. Maka untuk itu aku harus menghancurkan kota ini. Bukankah kau juga sudah muak dengan bedebah-bedebah kaya itu?"

                Kebingungan Gunawan meledak-ledak. Tidak ada waktu. Ia menarik langkahnya kebelakang, gontai. Langkah kaki berlari gelisah, Hana telah tiba dan mendekap adiknya, Mia. Suara di dalam kepala Gunawan kembali bercampur, tidak boleh percaya orang lain. Sedang dalam resah di kepalanya, kekasihnya menatap. Paras cantik itu basah kuyup, kedinginan. Tentu saja itu adalah air mata, menjadi satu dengan basah. Samar dalam sisa kesadarannya, terdengar suara si dukun aborsi menyelinap, tidak ada waktu. 

                "Gun!" Teriakan Hana mengumpulkan kembali kesadarannya, "Kita harus selamatkan Mia!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun