"Aku menemuinya beberapa hari lalu dalam penyerangan. Saat itu aku dan yang lain harus menghancurkan sebuah bar. Ternyata ia mengenal seseorang di dalam bar. Yang jelas ia masih mengenalku, aku hampir dibuat tak berdaya dengan caranya berkelahi. Sial, padahal sepertinya ia lebih muda. Akhirnya aku menyebut nama laki-laki tua itu,"
        "Keparat itu!" Paras cantik Hana menjadi raut yang marah.
        "Laki-laki tua yang seenaknya menjamah tubuhmu, merenggut Mia darimu,"
        Hana pecah tangisnya dalam diam.
        "Ada banyak hal yang kami bicarakan, Tapi dia menyebut nama Mia. Sepertinya ada hubungan di antara kita dengannya,"
        "Tapi kau tidak boleh keluar dari tempat ini,"
        "Kita tidak boleh percaya orang lain, tapi Mia bukan orang lain. Dia satu-satunya keluargamu dan alasan kenapa kita tidak boleh mati. Dari mata dukun itu aku melihat dendam yang sangat dalam,"
        "Dendam?"
        "Situasi ini sudah sangat sulit, tapi jika ada kesempatan balas dendam, sepertinya boleh juga. Lagi pula tidak ada jaminan untuk benar-benar selamat dari situasi ini,"
        Hana harus pergi melayani tamu. Gunawan juga beranjak. Menyusuri jalan terlarang, pikirannya selalu was-was. Namun yang paling ia cemaskan tentu masih kekasihnya. Berkali-kali membayangkan tubuh Hana harus direlakan pada laki-laki kaya membuatnya terus geram. Lagi pula siapa bisa tahan dengan kesempurnaan tubuh Hana. Perempuan malam kelas atas tanpa kemewahan yang harusnya didapatkan. Ia relakan semua untuk menebus Mia, adiknya yang sudah ketergantungan candu. Hutang terus berulang. Disekap, tersuplai, candu, sebuah lingkaran yang tak akan berhenti.
        Di tempat pertemuan yang tersepakati, ruang gelap dengan sedikit cahaya. Gunawan terkesiak, seorang perempuan terbaring terselimuti kain dengan rapi di sofa. Itu Mia, entah tertidur atau sedang tak bernyawa.