Tidak mungkin. Tidak mungkin suami saya yang tampan, mapan dan perhatian ini mengkhianati pernikahan kami. Suami saya bilang, cuma saya satu-satunya perempuan yang dia cintai.
"Sayang, aku ... aku ...." Ernest mengunci kedua tangan saya. Dia seperti akan mengatakan sesuatu, tapi laki-laki di sebelahnya--yang tak lain adalah dokter sialan yang saya temui tadi siang, tiba-tiba menusuk lengan saya dengan sebuah suntikan. Dan gelap.
"Apa kamu masih ingin bersamanya?"
"Kurasa tidak. Aku sudah punya pasien baru yang lebih cantik, namanya Febi. Kasusnya hampir sama, dia depresi karena ditinggal suaminya."
"Dan kamu akan memberinya obat yang sama dan berpura-pura jadi suaminya lagi? Hahaha! Dokter gila!"
Ernest tertawa, dan itu adalah gelak tawanya yang terakhir saya dengar. Besok, besok, besok, besok, dan besok, besok, besoknya, sampai saat ini, saya tidak pernah bertemu dengan Ernest maupun Dr. Dave lagi.
*
Saya ingat, sebelum meninggal, suami saya bilang, saya adalah satu-satunya perempuan yang dia cintai. Suami saya bilang, saya harus selalu tersenyum.
"Nyonya, sudah waktunya minum obat." Seorang perempuan dengan pakaian serba putih berdiri di depan pintu. Di tangannya sebuah kotak obat dan segelas air putih. Dia tersenyum, wajahnya berseri-seri.
Saya bersusah payah menyunggingkan bibir, semoga ini adalah sebuah senyuman seperti yang suami saya bilang.
***