Mohon tunggu...
GoneGone
GoneGone Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tukang Ketik

Menulis, Membaca, Berpetualang dan Bercinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suami Saya Bilang

31 Januari 2023   21:08 Diperbarui: 31 Januari 2023   21:10 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nama saya Elvira. Hidup, bagi saya terasa seperti sebuah lagu milik Andra and The BackBone, begitu sempurna. Tuhan memang terlalu baik. Dia selalu memberikan segala sesuatu yang saya inginkan dengan cepat dan mudah.  Saya yakin, di luar sana banyak sekali perempuan-perempuan yang iri dengan kehidupan saya. Suami tampan, mapan, mobil dengan harga miliaran, rumah besar dan punya banyak perhiasan. Oya, jangan tanya berapa jumlah tabungan kami, saya bisa dibilang sombong jika menyebutkan angkanya.

Ngomong-ngomong soal anak, saya dan Ernest sengaja menunda kehamilan untuk beberapa tahun ke depan. Alasannya simple, tidak ada! Saya tidak pernah bertanya kenapa, saya juga tidak mau tahu. Lagipula saya tidak suka anak-anak. Mereka adalah asal muasal istri-istri mengalami depresi karena tidak lagi terlihat seksi.

Bagaimana jika saya hamil, melahirkan, menyusui, dan lambat laun kecantikan saya akan berangsur luntur. Teman-teman saya contohnya, mereka sudah berubah jadi tumpukan lemak yang dibalut daster. Ya, karena cuma daster yang cocok untuk menutupi timbunan lemak itu. Kasihan!

Saya tidak mau, saya masih terlalu muda untuk menjadi ibu. Suami saya bilang, saya tidak boleh gendut. Tidak ada celana dalam imut yang bisa dipakai perempuan gendut!

"Sayang, jangan lupa minum obatnya, ya," ucap Ernest dari seberang telepon.

"Kamu sudah makan siang?" 

"Sepertinya belum, saya akan segera makan selesai ini." Bukan bermaksud manja atau ingin diperhatikan. Saya memang salah satu orang yang punya penyakit lupa stadium lanjut. Melupakan sarapan atau makan malam adalah hal paling sering saya lakukan. Sering juga saya mandi sampai lebih dari lima kalii dalam sehari, karena saya yakin saya belum mandi. Tapi setelah mendapat teguran dari petugas laundry, saya baru akan ingat semuanya. Itulah kenapa cucian saya selalu banyak setiap harinya, ya ... karena saya akan terus berganti baju setiap selesai mandi.

"Oh, baiklah, nanti kutelepon lagi. Jangan lupa, minum obat."

"Iya."

Telepon pun terputus. Selain tampan dan mapan, suami saya tipe laki-laki yang super perhatian. Dia bisa menelepon sampai tujuh kali dalam sehari, kalau saya tidak salah mengingat. Pulang dari kantor, tak jarang dia membawakan saya hadiah; bunga mawar, coklat, parfum, boneka, buku-buku, dan berbagai macam makanan. Saya sangat bahagia. Suami saya bilang, saya harus selalu tersenyum.

Lima tahun delapan bulan, usia pernikahan kami. Saya menghitung dan mencoret setiap tanggal yang kami lalui berdua---nyaris tanpa pertengkaran. Orang bilang, lima tahun pertama pernikahan memang akan terasa baik-baik saja, lewat dari itu, barulah dimulai pernikahan sebenarnya: pernikahan yang membosankan. Tapi suami saya bilang, semua akan baik-baik saja.

*

Suami saya hanya akan berada di rumah sesekali saja, itu pun tidak setiap hari dia bisa berleha-leha menghabiskan waktu dengan leluasa. Selalu saja ada panggilan telepon yang mengganggu kemesraan kami. Tapi tidak malam ini. Sebelum tengah malam, dia sudah menghampiri dengan pakaian serba putih yang belum sempat dia ganti. Saya memintanya terlebih dulu untuk mandi. Bukan apa-apa, saya cuma tidak terbiasa dengan bau obat-obatan yang tertinggal di bajunya. Bukankah malam ini kami akan bercinta?

"Apa yang sedang kamu pikirkan, sayang?" Dia melepas jas putihnya, menghampiri saya yang duduk melamun di atas kasur.

Saya mengunggah senyum. "Kita."

"Kenapa kita?"

"Kenapa harus orang lain?"

"Maksudku, ada apa dengan kita?" tanyanya.

Saya beringsut dari tempat tidur--yang selalu menjajikan permainan sex yang panas--dengan rasa gerah. Orang-orang itu benar. Ada yang salah dengan pernikahan kami.

"Sayang, kamu kenapa? Sudah minum obat?" Lagi-lagi pertanyaan itu yang terlontar.

"Ernest, apa kita baik-baik saja?"

"Ada apa? Memangnya kita kenapa?"

"Apa kita baik-baik saja?"

"Sayang ...."

"Jawab! Apa kita baik-baik saja?"

Suami saya tidak memberikan jawaban, dia membungkam mulut saya dengan sebuah ciuman. Ciuman yang membawa kami kembali pada permainan panas di atas ranjang. Saya tidak menikmatinya, saya tidak lagi menikmatinya. Tapi suami saya pernah bilang, sex adalah jalan keluar segala permasalahan antara suami dan isteri. Baiklah.

*

Semakin hari saya semakin merasa ada yang salah dengan kami, dengan Ernest, dengan rumah kami, dan dengan diri saya sendiri. Saya baru sadar jika saya tidak memiliki teman satu pun kecuali teman-teman Ernest yang hampir setiap hari mampir ke rumah. Seperti Suster Nadia dan Dr. Dave.

Kebetulan sekali hari ini Dr. Dave datang berkunjung. Dia pria baik, begitu kata Ernest ketika pertama kali dia mengenalkan saya pada Dr. Dave. Umurnya tidak jauh beda dengan saya, punya satu isteri dan tiga orang anak yang semuanya laki-laki. Dave juga tidak kalah tampan dari Ernest. Dia tinggi, putih dan atletis. Ya, tapi tetap saja, setampan atau sebaik apa pun Dr. Dave, di mataku cuma Ernest yang paling sempurna.

"Sepertinya ada hal yang sedang kamu pikirkan?" Dr. Dave membuka dialog. Dia juga membantu memeriksa tekanan darah saya, karena akhir-akhir ini kesehatan saya memang sedikit bermasalah. Misalnya, pandangan saya sering kabur dan badan terasa lemas. Sesekali perut pun ikut mual ingin muntah. Apa saya hamil? Apa saya akan menjadi gendut dan jelek?

"Kami tidak pernah bertengkar. Suami saya sama sekali tidak pernah marah. Pernikahan kami terlalu baik-baik saja. Apa ini aneh?"

Dr. Dave tertawa mendengar pernyataan saya. Lalu di sela tawanya itu, dia berusaha mengatakan satu pertanyaan yang kerap ditanyakan juga oleh suami saya, "Apa ... kamu sudah minum obat?" kemudian dokter sialan itu kembali menyelesaikan tawanya.

Saya tidak menjawab.  Suami saya bilang, saya tidak boleh telat minum obat. Ya, saya ingat, saya tidak akan pernah melupakan kalimat-kalimat yang dia ucapkan. Tapi saya tidak sakit, kenapa saya harus minum obat? Tapi suami saya bilang, saya tidak boleh bertanya. Baiklah.

*

Samar-samar, saya mendengar suara Ernest sedang berbicara dengan seseorang.

"Sebenarnya, dia itu siapanya kamu, sih?"

"Ah, sudahlah, jangan mengejekku terus."

Mereka tertawa. Dia? Siapa yang mereka bicarakan?

"Jangan-jangan kamu memang jatuh cinta sama pasien itu. Ayolah, mengaku saja!"

"Cukup, Dave. Aku cuma mau menolong dia."

"Alasan. Mana ada menolong orang sampai bobo enak bertahun-tahun? Kenapa tidak kamu nikahi saja sekalian?"

"Jangan gila, istriku bisa meradang. Bisa mendadak jadi gelandangan aku nanti!"

Ernest dan Dr. Dave kembali tertawa.

Tanpa pikir panjang, saya segera berlari menghampiri mereka. "Apa maksudnya? Siapa dia? Siapa perempuan itu, Ernest?" Saya menarik dan memukuli Ernest sambil meneriakinya dengan pertanyaan yang sama terus menerus seperti orang gila.

Tidak mungkin. Tidak mungkin suami saya yang tampan, mapan dan perhatian ini mengkhianati pernikahan kami. Suami saya bilang, cuma saya satu-satunya perempuan yang dia cintai.

"Sayang, aku ... aku ...." Ernest mengunci kedua tangan saya. Dia seperti akan mengatakan sesuatu, tapi laki-laki di sebelahnya--yang tak lain adalah dokter sialan yang saya temui tadi siang, tiba-tiba menusuk lengan saya dengan sebuah suntikan. Dan gelap.

"Apa kamu masih ingin bersamanya?"

"Kurasa tidak. Aku sudah punya pasien baru yang lebih cantik, namanya Febi. Kasusnya hampir sama, dia depresi karena ditinggal suaminya."

"Dan kamu akan memberinya obat yang sama dan berpura-pura jadi suaminya lagi? Hahaha! Dokter gila!"

Ernest tertawa, dan itu adalah gelak tawanya yang terakhir saya dengar. Besok, besok, besok, besok, dan besok, besok, besoknya, sampai saat ini, saya tidak pernah bertemu dengan Ernest maupun Dr. Dave lagi.

*

Saya ingat, sebelum meninggal, suami saya bilang, saya adalah satu-satunya perempuan yang dia cintai. Suami saya bilang, saya harus selalu tersenyum.

"Nyonya, sudah waktunya minum obat." Seorang perempuan dengan pakaian serba putih berdiri di depan pintu. Di tangannya sebuah kotak obat dan segelas air putih. Dia tersenyum, wajahnya berseri-seri.

Saya bersusah payah menyunggingkan bibir, semoga ini adalah sebuah senyuman seperti yang suami saya bilang.

***

Januari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun