Mohon tunggu...
GoneGone
GoneGone Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tukang Ketik

Menulis, Membaca, Berpetualang dan Bercinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Paprika

31 Januari 2023   17:11 Diperbarui: 31 Januari 2023   17:13 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mama menikah lagi dengan seekor babi jantan yang berusia dua tahun lebih muda darinya. Awalnya aku menentang keras, tapi aku tahu, Mama juga berhak bahagia.  Ya, menurutku bahagia itu sebuah keharusan, no matter what! Sekalipun harus melihat Mama menikahi seorang lelaki berekor babi, aku harus tetap bahagia demi Mama.

Ya, semua demi Mama. Terlebih aku tidak pernah tahu dan tidak pernah sekalipun Mama memberi tahu tentang siapa Papaku sebenarnya. Tidak ada foto pernikahan maupun kenangan Mama bersama seorang laki-laki yang bisa aku klaim sebagai ayah kandungku. Aku juga tidak pernah menanyai hal itu, kurasa Mama tidak suka berkomitmen. Mungkin aku adalah anak yang tidak diinginkan, anak haram, anak hasil perselingkuhan, atau ... Jangan-jangan Mama adalah korban pemerkosaan? Kenapa baru sekarang terpikirkana olehku?

Ah, tapi semua itu tidak penting, bukan? Yang terpenting sekarang adalah kebahagiaan Mama. Aku tidak boleh membuat Mama sedih dengan segerombol pertanyaan-pertanyaan konyol seperti itu. Aku janji, Mama akan tetap bahagia.

*

Akhirnya, sehari setelah mereka melangsungkan pernikahan, Mama membawa Si Babi Jantan beserta anak sambungnya yang bernama Paprika ke rumah kami. Aku menyukai Paprika, dia cantik, kulitnya putih, rambutnya panjang dan ya ... dia seksi. Kupikir, aku bisa mengawini Paprika jika Mama dan suaminya tidak ada di rumah.

"Hari ini sepertinya Mama pulang agak malam, kamu baik-baik di rumah ya, Sayang." Sebuah kecupan mendarat di pipiku. Aku berangguk sambil menyungging senyum ke arah Paprika.

"Sayang?"

"Iya, Ma. Aku akan mengajak Paprika  berenang hari ini."

"Wah, itu bagus. Nanti Mama bawakan pizza untuk kalian."

"Aku suka pizza," celetuk Paprika.

Aku suka kamu.

"Oke. Kalau begitu Mama berangkat kerja dulu ya."

Mama dan Si Babi Jantan meninggalkan aku bersama Paprika. Kami berdua hanya diam saling tatap di meja makan. Mama memang tidak pernah memiliki asisten rumah, dia percaya aku sudah dewasa dan bisa merawat diri dengan baik. Rumahku juga tidak terlalu besar, jadi biasanya Mama menyewa jasa cleaning service yang rutin membersihkan rumah setiap seminggu sekali. Mama juga suka memasak, dia selalu menyiapkan makanan yang banyak agar aku tidak kelaparan sampai Mama pulang nanti. Mama memang terlampau baik dan sempurna untuk menjadi isteri dari seorang babi jantan. Aku kecewa mengingat hal itu.

Paprika tetap menjaga jarak dan aku memikirkan banyak hal ketika memerhatikan wajah oriental itu. Sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan Si Babi Jantan. Jangan-jangan Paprika juga sama sepertiku, dia bukan anak kandung babi jantan. Ibunya seorang pelacur yang bingung harus memilih siapa laki-laki yang bertanggungjawab atas kehamilannya. Lalu Si Babi Jantan itu satu-satunya yang bersedia menanggung hak asuh. Bisa saja 'kan?

Bola mata Paprika memutar seperti ingin mengatakan sesuatu padaku. Kata-kata yang mungkin saja tidak pernah kudengar sebelumnya.

"Aku tidak suka ibumu, dasar kerdil!" Bibirnya menyungging senyum sinis, aku menyukainya.

Tinggi badanku cuma 150 dan tidak pernah bertambah lagi meski aku sudah minum berbagai jenis obat peninggi badan. Tak apa, dia memang pantas mengataiku. Aku tetap suka Paprika. Dia terlihat semakin seksi ketika mengumpat.

"Dan aku sangat membencimu," lanjutnya.

Aku masih diam. Suaranya benar-benar merdu. Aku semakin tertarik untuk menidurinya.

"Apa kamu mau berenang bersamaku?" Aku tetap bertanya meski tahu jawaban apa yang akan dia berikan.

"Jangan harap!" Paprika kemudian melenggang pergi ke kamarnya.

*

Hobiku berenang. Setiap hari aku berenang. Air selalu membuatku tenang. Ia tidak pernah menolakku sebagai teman. Dan tidak ada yang tahu, sebenarnya ... Air juga bisa berbicara seperti manusia, seperti Mama, seperti Paprika dan ayahnya.

"Dia tidak pernah menyukaimu, Matt!"

"Ya, aku tahu."

"Dia memang cantik, tapi dia terlalu angkuh, dia tidak pantas untukmu, Matt."

"Ya, tapi aku menyukainya."

"Apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku berencana membunuhnya, lalu menikmati tubuhnya."

"Ayahnya, Si Babi Jantan pengangguran itu akan membunuhmu lebih dulu."

"Aku juga akan membunuhnya. Aku tahu mereka tidak benar-benar menyukai Mama. Mereka cuma benalu di rumah ini. Aku akan membunuh mereka hari ini juga."

"Bagus, Matt."

Aku beranjak dari kolam setelah mendapat dukungan dari Air, temanku satu-satunya.

*

Pukul 18.00, Paprika keluar dari kamarnya. Dia sudah mengenakan pakaian tidur transparan yang luar biasa membuatnya terlihat seksi. Sebenarnya aku sedikit iri terhadap kaum hawa, mereka gencar menyuarakan emansipasi perempuan, kesetaraan gender, tapi mana buktinya? Kenapa cuma perempuan yang punya model baju tidur semenarik itu? Kenapa laki-laki cuma diberikan piyama? Kalau tidak, Mama justru lebih sering memberiku celana kolor yang karetnya mudah kendor.

"Kenapa?" Paprika menatapku dengan sengit.

"Kamu seksi."

"Aku tahu, tapi aku tidak butuh pujian darimu, kerdil!"

Aku tidak tahan lagi. Cacian Paprika kali ini membuatku tidak bisa lagi menahan nafsu untuk segera menikmati tubuhnya. Aku sudah menunggu cukup lama, aku sudah bersabar cukup lama, dan ini adalah waktu yang tepat.

Kutarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Paprika meronta, dia berusaha menamparku tapi aku lebih kuat darinya.

"Lepaskan aku kerdil! Akan kuadukan ini pada ibumu yang bodoh itu! Ayahku akan menghukummu! Lepas!"

Aku semakin bernafsu, kubawa tubuhnya ke kolam renang dan menceburkannya. Aku tahu kenapa dia tidak pernah mau diajak berenang. Ya, dia tidak bisa berenang. Dan sekarang aku akan melihatnya menemui ajal.

"Matt ... to- tolong ... Matt, a- aku ... Matt ...." Kepalanya timbul tenggelam bersama suara merdunya, aku tertawa lepas menyambut kematian Paprika.

"Aku menyukai dia, Matt, kamu benar, dia seksi," ungkap Air.

Aku bahagia mendengarnya. Sepuluh menit kemudian, tubuh Paprika mengambang, kuraih tangannya lalu membawanya ke kamar. Di sana aku bebas menggauli tubuhnya. Aku merasa bahagia. Aku sangat bahagia. Aku teringat tokoh Paprika dalam sebuah film pelacuran, ya, sama seperti Paprikaku yang ini. Dia pantas untuk mati.

*

"Matt ... Matteo ... Mama bawa pizza untukmu, ayo kita makan." Mama berteriak di luar pintu kamarku.

Aku berusaha untuk tetap tenang. Aku sudah memasukkan Paprika ke dalam koper besar, dan aku menyimpannya di bawah tempat tidur. Kurasa dia akan aman di sana.

"Hai, Ma. Pizza?" tanyaku, setelah membukakan pintu.

"Matt, kamu baik-baik saja?" Sepertinya Mama mencurigai gelagatku.

"Ah, iya, aku ... aku baik, Ma. Ayo kita makan, aku sudah sangat lapar," jawabku terbata, sambil kutuntun Mama menuju meja makan.

"Matt, kamu pasti lupa bawa handuk ya waktu berenang? Lihat, lantainya basah."

Sial. Aku lupa untuk mengepel lantai. "Oh iya, Ma. Aku lupa."

"Kebiasaan!" Mama mencubit hidungku. Dia tersenyum memamerkan giginya yang baru saja di-veneer seharga delapan juta.

Aku sayang Mama. Dia terlalu baik untuk dibodohi. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya. Maafkan aku, Ma. Aku melakukan semua ini demi Mama, percayalah ... cuma aku yang sayang sama Mama.

*

Pagi-pagi sekali Mama sudah membangunkanku. Dia berteriak seperti orang kesurupan.

"Matt, apa kamu melihat babi jantan Mama?"

Ya, tentu saja. Aku sudah membunuhnya. Sudah kubuang dia ke tempat bagus, sebuah penampungan sampah yang sebentar lagi akan menjadi bukit atau lebih tepatnya gunung sampah. Dia lebih pantas berada di sana!

"Matt?" Mama menatapku tajam.

Aku bergeleng. Aku tidak mau melukai hati Mama, jadi jangan sampai Mama tahu kalau aku sudah membunuh mereka.

"Ah, ya sudah. Ayo kita sarapan, Papa dan Paprika sudah menunggu kita di meja makan."

Apa? Papa? Paprika?

Tidak mungkin, jelas-jelas aku sudah menghabisi mereka tadi malam. Kenapa mereka masih hidup?

"Matt?"

"A-aku belum lapar, Ma. Aku akan berenang dulu sebentar."

"Baiklah, tapi nanti makan ya, Mama masak banyak menu seafood loh buat kamu." Mama mulai tersenyum sambil mengelus kepalaku. Aku jadi sedikit merasa bersalah padanya.

*

"Matt membuang boneka babiku lagi, Mas. Padahal aku membelinya dari Jepang dan harganya lumayan mahal, lho."

"Jadi ... Matt masih menganggapku babi jantan?"

"Tapi dia tetap anakku, Mas. Anakku satu-satunya."

"Ma, mulai besok aku tidak mau tinggal di sini lagi, aku takut, Ma. Kemarin Matteo nyeburin aku ke kolam renang. Untung ada Papa yang nolongin aku, kalo enggak aku bisa mati tenggelam. Pokonya aku nggak mau tau, aku minta dibeliin rumah baru, titik."

"Itu ide bagus. Gimana sayang, kamu mau kan beliin rumah baru buat aku dan Paprika?"

Aku bisa mendengar percakapan mereka dari kolam renang dan aku semakin yakin jika Mama tidak akan bahagia lebih lama lagi. Tapi Si Babii Jantan dan Paprika ternyata punya ilmu sihir. Mereka bisa hidup lagi meski aku sudah membunuhnya berkali-kali.

"Lihat, Matt! Mereka masih hidup. Kamu tidak pernah membunuh mereka."

"Aku bersumpah. Aku bahkan sudah menyetubuhi Paprika di kamarku sendiri. Aku juga tidak tahu kenapa mereka bisa hidup lagi dan lagi."

"Bodoh! Kamu hanya membunuh boneka babi ibumu, Matt. Haha! Dan kamu melakukan masturbasi bersama potongan paprika yang kamu ambil dari toping pizza? Apa kamu gila?"

"Diam! Aku akan coba membunuh mereka lagi hari ini."

"Kamu sudah mengatakannya berkali-kali sejak satu tahun lalu, Matt. Lagipula kamu tidak punya kesempatan lagi. Mereka akan pindah rumah. Ibumu akan membeli rumah baru untuk mereka."

"Cukup! Sepertinya kita tidak bisa berteman lagi. Kamu membuatku pusing. Aku akan berteman dengan Api, dia pasti bisa membantuku."

"Haha! Ya, kamu benar. Api bisa membakar rumah itu sekaligus penghuni di dalamnya, tapi kamu tidak akan pernah bisa melakukannya di dunia nyata."
 

***

23 April 2020/23.55

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun