Aku bahagia mendengarnya. Sepuluh menit kemudian, tubuh Paprika mengambang, kuraih tangannya lalu membawanya ke kamar. Di sana aku bebas menggauli tubuhnya. Aku merasa bahagia. Aku sangat bahagia. Aku teringat tokoh Paprika dalam sebuah film pelacuran, ya, sama seperti Paprikaku yang ini. Dia pantas untuk mati.
*
"Matt ... Matteo ... Mama bawa pizza untukmu, ayo kita makan." Mama berteriak di luar pintu kamarku.
Aku berusaha untuk tetap tenang. Aku sudah memasukkan Paprika ke dalam koper besar, dan aku menyimpannya di bawah tempat tidur. Kurasa dia akan aman di sana.
"Hai, Ma. Pizza?" tanyaku, setelah membukakan pintu.
"Matt, kamu baik-baik saja?" Sepertinya Mama mencurigai gelagatku.
"Ah, iya, aku ... aku baik, Ma. Ayo kita makan, aku sudah sangat lapar," jawabku terbata, sambil kutuntun Mama menuju meja makan.
"Matt, kamu pasti lupa bawa handuk ya waktu berenang? Lihat, lantainya basah."
Sial. Aku lupa untuk mengepel lantai. "Oh iya, Ma. Aku lupa."
"Kebiasaan!" Mama mencubit hidungku. Dia tersenyum memamerkan giginya yang baru saja di-veneer seharga delapan juta.
Aku sayang Mama. Dia terlalu baik untuk dibodohi. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya. Maafkan aku, Ma. Aku melakukan semua ini demi Mama, percayalah ... cuma aku yang sayang sama Mama.