"Kenapa? Apa ada perempuan lain?"
"Aku tidak perlu punya alasan untuk putus denganmu. Intinya, aku tidak suka dengan sikapmu, tidak suka ditekan."
"Semuanya bisa dirubah."
"Terlambat," sahutku sembari meninggalkan kost miliknya. Tidak kudengarkan teriakannya yang memanggil namaku. Sore ini aku sengaja menemuinya hanya untuk mengakhiri hubungan yang seperti neraka bagiku.
Apakah aku jahat waktu itu? Entahlah. Di mata Ariella, pasti iya.
Setelah itu---beberapa kali aku menjalani hubungan pacaran dengan beberapa perempuan. Entah dari teman kampus sendiri atau cewek kampus lain. Pesonaku memang tidak bisa ditolak kala itu, ketua senat yang mempunyai wajah tampan. Sangat mudah bagiku untuk menaklukkan hati perempuan. Aku sempat menikmati berpetualang dari perempuan yang satu ke perempat lain, hingga pada akhirnya jenuh sendiri. Memutuskan untuk tidak berpacaran lagi. Sampai detik ini.
***
Saat baru saja selesai berkunjung ke rumah penduduk untuk meminta data tentang tanah mereka yang dikuasai oleh perusahaan asing. Tanpa sengaja aku melihat Arini duduk di bale-bale depan rumahnya. Mungkin dia menunggu hujan turun.Â
Aku berusaha memberanikan diri untuk menyapanya. Sore ini dia begitu cantik. Mengenakan baju terusan berwarna peach. Rambut diikat tinggi, memperlihatkan leher jenjangnya. Lesung pipi membingkai wajahnya yang mulus natural tanpa polesan bedak. Sangat mempesona, menawan hatiku yang tak bertuan.
"Hai. Aku boleh duduk di sini?"
Sekejap Arini mendongak, menatapku. Mata bulatnya menyiratkan rasa heran. Sudah lebih seminggu di sini, tapi belum pernah bertemu langsung. Mungkin dia merasa kaget dengan kehadiran makhluk asing yang tidak dikenalnya.