Kupriyanov dan Zhdanov (2014) bahkan menjelaskan stres yang ada saat ini merupakan sebuah atribut kehidupan modern. Artinya, stres sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa terelakkan dan dapat dirasakan siapa aja, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia.
Suatu peristiwa kehidupan bisa menjadi sumber stres terhadap seseorang apabila kejadian tersebut membutuhkan penyesuaian perilaku dalam waktu yang sangat singkat (Thoits, 1994 dalam Gaol, 2016).Â
Sejalan dengan hal tersebut, fenomena sekolah daring menuntut ibu untuk beradaptasi dengan cepat sehingga dibutuhkan daya adaptasi yang tinggi. Ketika Ibu kurang dapat menyesuaikan situasi atau perubahan-perubahan yang secara ekstrem tersebut, maka dapat menimbulkan lahirnya 'taring' baru bagi para ibu.Â
Emosi yang biasanya menemani para Ibu bertaring ini yaitu rasa cemas, marah, panik, kuatir, menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berdaya. Deretan taring ini secara tidak langsung berdampak pada kesejahteraan psikologi anak dalam menjalankan program belajar secara daring.
Kepiawaian Ibu dalam mengelola taring yang muncul dapat mengubah tekanan menjadi sebuah lecutan yg berdampak positif. Inilah yang dinamakan Eustress, stress yang memberikan efek positif (Gadzella, Baloglu, Masten & Wang, 2012).Â
Misal seorang ibu yang lebih semangat belajar menata emosi dan waktu saat membersamai belajar anak, atau ibu yang berusaha terus bergerak dalam mengenali metode belajar yang dirasa klik untuk anak.
Tantangan belajar daring bagi orang tua
Pembelajaran daring menjadi pilihan utama di masa pandemi yang bertujuan untuk memudahkan aktivitas belajar. Caranya dengan menyediakan banyak sumber belajar yang mudah diakses, pembelajaran yang fleksibel metode, tempat, dan waktunya bisa sepenuhnya daring.Â
Melalui webinar yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dijelaskan bahwa belajar online memberikan beberapa manfaat antara lain belajar dilakukan dimana saja dan kapan saja, belajar juga dapat disesuaikan dengan kapasitas masing-masing siswa yang mengedepankan inisiatif dan independensi siswa.Â
Interaksi akademis yang tidak terbatas juga diharapkan dapat membuat kualitas belajar siswa meningkat (Pgdikmen Kemdikbud.go.id)
Namun ternyata, terhitung sejak 16 Maret hingga 9 April 2020, selama tiga minggu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 213 pengaduan pembelajaran jarak jauh (PJJ).Â