Orientasi yang materialistis pada satu sisi sangat manusiawi karena mendukung hajat hidup manusia, namun di sisi lain mengandung sisi gelap yang merugikan manusia. Â Dalam hal ini terlihat bagaimana setiap orang menginginkan kebahagiaannnya terpenuhi. Untuk itu hampir setiap individu mendedikasikan waktu, energi, dan uangnya untuk mengejar kebahagian, kesenangan, kenyamanan, dan kepuasan. Hal ini memperilhatkan bahwa pada kenyataannya, orang tidak pernah berhenti pada satu keinginan material.
Berdasarkan pada paham kebahagiaan hedonisme , sifat materialistik yang terdapat dalam paham materialisme bertolak dari ukuran kehidupan yang bersifat kualitatif dengan perolehan benda duniawi yang bersifat kuantitatif. Kebaikan dan kebahagiaan dalam hidup selalu diukur secara kualitatif dengan mengukur kualitas kehidupan yang diperoleh tanpa memperdulikan apakah kehidupan yang dijalani dapat berlangsung lama atau singkat.
Materialisme memiliki indikator utama dalam kehidupan yaitu kehidupan yang bersifat kuantitatif seperti harta atau kekayaan material, tanpa peduli apakah pengalaman hidup dan spiritualitas diperoleh juga beserta kekayaan tersebut. Indikator inilah yang kemudian bertolak belakang dengan Islam, dimana Islam melihat konsep bahagia tidak sekedar unsur materi saja tapi yang immaterial juga cukup memiliki andil didalam kebahagiaan itu sendiri.
Menurut Yusuf al-Qordhawi, unsur material dan immaterial dalam diri manusia tidaklah hilang seutuhnya namun tetap harus seimbang keberadaannya. Seseorang tidak boleh mengurangi hak-hak tubuhnya untuk memenuhi hak-hak ruhnya. Begitupun sebaliknya seseorang tidak boleh mengurangi hak-hak ruhnya demi memenuhi hak-hak tubuhnya.
Sifat materialistis yang dimiliki individu menyebabkan seseorang untuk cenderung memperkaya dirinya sendiri dengan cara terus menerus menumpuk kekayaan. Tindakan untuk mengumpulkan kekayaan dan memperkaya diri sendiri merupakan wujud refleksi dari suatu kesuksesan, kebahagian dan kenikmatan dunia. Â Hal ini kemudian bertolak belakang dengan Islam, seperti yang dapat kita lihat bersama pada pendapat Yusuf Qordowi pada penjelasan sebelumnya.
Pengaruh Materialistik pada Kehidupan Manusia
Melihat kembali kepada makna materialistik sebagai sifat yang condong kepada arah kebendaan dan kekayaan semata, hal ini tentu menjadi sudut permasalahan tersendiri dalam kehidupan. Karena pola pikir manusia mayoritas terdoktrin dan terkontaminasi dengan menyebarnya paham ini, sehingga banyak dari manusia lepas kontrol terhadap hal-hal yang bersifat materi yang menimbulkan berbagai problem dalam kehidupan mereka.
Bentuk dari problem yang ditimbulkan antara lain, munculnya paham kapitalisme yang berlandaskan pada keinginan mengumpulkan kekayaan dan berkuasa, kecurangan dalam kehidupan sosial karena konsep kebahagiaan berdasarkan sifat materialis yang salah dan tidak mencangkup seluruh aspek kebahagiaan itu sendiri dan masih banyak lagi problem lainnya.
Kecenderungan materialis dapat terlihat dari Barat yang memiliki beberapa tolak ukur kebahagiaan yang cukup dipengaruhi oleh unsur materialis, seperti pencetusan Human Development Indeks oleh PBB dalam United Nations Development Programs (UNDP), dimana faktor yang mewarnai kesejahteraan dan kebahagiaan menurut indeks tersebut adalah sebagai berikut : "Pendapatan per-kapita, panjangnya masa hidup serta tingkat pendidikan yang telah diraih oleh seseorang".Â
Dari penjelasan indikator diatas kita mampu untuk melihat bagaimana sebuah doktrin yang cukup menjanjikan dari kulitnya, namun sebenarnya memiliki beberapa hal yang tidak sepatutnya dijadikan prioritas utama. Kesejahteraan dan kebahagiaan dalam konteks diatas lebih diarahkan kepada sebuah keadaan keluarga dengan segala macam kehidupan materinya. Sehingga wajar jika di Amerika meski pendapat per-kapita selalu mengalami perkembangan namun ketika melihat dari aspek kebahagiaannya kenaikan angka didalam kehidupan masyarakat sukar diharapkan.
Contoh diatas adalah salah satu efek dari sebuah sifat materialis yang sengaja didewakan oleh Barat, berlandaskan pada adanya nafsu terhadap harta sebagai keinginan didalam jiwa manusia yang dituntut dan didambakan serta diimpikan keberadaannya. Dambaan dan keinginan kuat tersebut dikarenakan jiwa itu sendiri telah mengetahui peranan harta dalam menopang kehidupan itu sendiri.
Namun problem yang terjadi adalah ketika keinginan itu tidak terkontrol dan kemudian mendorong manusia melakukan berbagai kejahatan, kekejian dan pelecehan kehormatan dan martabat. Tidak sedikit dari manusia tersebut berubah seperti binatang karena hanyut oleh keinginan nafsu ini. Â Melalui problem tersebut maka manusia mengalami banyak sekali ketidaksinambungan antara pencarian kebahagian yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka dapatkan.