Mohon tunggu...
Mohammad Djaya Aji Bima Sakti
Mohammad Djaya Aji Bima Sakti Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Life is your choice :)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Materialisme dan Problem Kemanusiaan dalam Perspektif Psikologi Islam

9 Oktober 2019   21:45 Diperbarui: 16 April 2021   09:42 2523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalam perjalanan mencari kebahagiaan tersebut setiap individu memiliki cara yang berbeda-beda. | pexels

Abtrak

Manusia sebagai pelaku kehidupan sosial memiliki banyak hal yang menyita perhatian, baik dalam sifatnya maupun perbuatannya. Bentuk kehidupan manusia beragam macamnya, namun sifat setiap manusia hampir selalu mengarahkan dirinya untuk mencari kebahagiaan dan kesejahteraan. 

Dalam perjalanan mencari kebahagiaan tersebut setiap individu memiliki cara yang berbeda-beda dan karakteristik sifat yang berbeda pula. Materialistik salah satunya, sebuah sifat yang terdapat dalam diri manusia yang dianggap sebagai salah satu jalan menuju cita-cita kebahagiaan. 

Dalam makalah singkat ini penulis akan menyajikan pembahasan mengenai pengaruh sifat tersebut dalam berbagai macam problem yang terjadi pada kehidupan manusia. Pembahasan ini akan dikaji dalam sudut pandang Islam dan psikologi Islam, sehingga akan terlihat tanggapan Islam mengenai sifat yang ada dalam diri manusia tersebut.

Kata kunci : Psikologi Islam, Manusia, Materialis, Kebahagiaan

Pendahuluan

Manusia sebagai makhluk paling sempurna memang sudah sewajarnya memiliki corak kehidupan yang berbeda-beda, melalui perbedaan tersebut baik dari sifat, perilaku maupun hubungan diantara mereka terjadi banyak problem dalam kehidupan mereka. Berbagai macam sifat dari masing-masing individu membuat mereka harus berbuat sesuatu dengan berlandaskan pada suatu pertimbangan yang benar-benar matang. Meski berlainan sifat, manusia secara menyeluruh memiliki naluri yang sama untuk mencapai sebuah kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidupnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keinginan bahagia tersebut melekat erat dalam setiap individu manusia, namun terdapat suatu problem yang membedakan diantara mereka yaitu, bagaimana mereka mengartikan kebahagiaan tersebut? Lantas apa yang menjadi tolak ukur sebuah kebahagiaan ataupun kesejahteraan hidup bagi manusia?

Terdapat anggapan yang sering terdengar dalam kehidupan manusia, hal-hal yang berbau materi adalah tolak ukur dalam mencapai kebahagiaan. Anggapan tersebut dicetuskan karena secara umum manusia memilih tujuan setiap tindakan mereka kepada hal-hal materi, baik uang, baju, mobil, rumah dan lain sebagainya.

Sifat materialis dalam diri manusia ini banyak mempengaruhi beragam tindak tanduk individu manusia itu sendiri, maka dalam makalah singkat kali ini penulis akan memaparkan sifat tersebut dalam pengaruhnya terhadap kehidupan, serta bagaimana Islam dan psikologinya melihat adanya sifat materialis dalam diri manusia tersebut? Sebelum masuk pada pembahasan sifat materialis tersebut terlebih dahulu akan dipaparkan penjelasan psikologi Islam.

Pengertian Psikologi Islam

Memahami konsep manusia banyak terdapat disiplin ilmu didalamnya, mulai dari aksiologi yang mengkaji bagaimana manusia menggunakan ilmunya dan seberapa manfaat ilmu tersebut, kemudian sosiologi yang memiliki ruang llingkup kehidupan manusia dalam masyarakat sosial serta psikologi yang mengkaji tentang manusia dari unsur jiwanya.

Psikologi merupakan ilmu terapan yang mempelajari perilaku manusia dan fungsi mental ilmiah. Psikologi mencoba untuk mempelajari peran fungsi mental dalam perilaku individu dan kelompok, serta belajar tentang proses fisiologis dan neurobiologis yang mendasari perilaku.  Definisi diatas menjelaskan bahwa disiplin ilmu ini berkenaan dengan bagaimana jiwa manusia diamati, hal ini sesuai dengan istilah Psikologi itu sendiri.

Kata psikologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari "psyche" yang berarti "jiwa" dan kata "logos" yang berarti "ilmu". Namun terdapat perbedaan antara ilmu jiwa dan psikologi itu sendiri, yaitu perbedaan dalam istilah keduanya.

Adapun perbedaan ilmu jiwa dan psikologi adalah ilmu jiwa merupakan istilah Bahasa Indonesia sehari-hari yang dikenal umum yang meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, khayalan, dan spekulasi mengenai jiwa.

Sedangkan psikologi merupakan istilah ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan sistematis melalui metode-metode ilmiah yang mengandung beberapa syarat yang telah dimufakati oleh para sarjana psikologi.  Dengan kata lain Ilmu jiwa belum tentu psikologi, tetapi psikologi sudah pasti ilmu jiwa.

Selanjutnya dari segi epistimologi, psikologi membicarakan apa yang dapat diketehui dari suatu objek kajian manusia dan bagaimana cara mengetahuinya. Itu sebabnya, pemaknaan aksiologik sangat berperan untuk menentukan kebenaran epistimologik.  Dalam arti ini, segi epistemologi saja tidak cukup untuk mengartikan psikologi Islam, melainkan harus melihat pada segi aksiologinya dan ontolologinya.

Maka psikologi Islam secara ontologi berarti cara untuk memahami manusia sesuai sunnatullah (Ketetapan dan Keputusan Allah Swt). Dalam hal ini Alquran sebagai sumber ilmu pengetahuanlah yang paling dapat diandalkan dan digunakan dalam menjelaskan dan memahami manusia tersebut.

Ayat-ayat yang membicarakan terma-terma seperti insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan rujukan dalam mengkaji sejauh mana metodologi itu dapat mengejar makna dan esensi, bukan hanya gejala. Dengan alasan itu Noeng Muhajir menyatakan bahwa psikologi Islam bermakna sebagai psikologi yang menemukan landasan filsafat ilmunya pada nilai-nilai Islam.

Psikologi Islam berbeda dengan psikologi modern yang hanya melihat manusia dari sisi gejala yang terlihat saja, pengamatan yang dilakukan tidak menyeluruh hanya asumsi yang didapat dari apa yang terlihat didalamnya.

Melalui penjelasan diatas dapat ditarik beberapa definisi dari psikologi Islam, beberapa diantaranya adalah Psikologi Islam adalah suatu cabang ilmu yang tidak hanya menjadikan psikologi berlabelkan Islam namun satu cabang psikologi yang memiliki kaedah-kaedah keilmiahan berlandaskan ajaran-ajaran Islam.

Definisi ini menitik beratkan pada metode yang digunakan dalam psikologi Islam, dimana metode tersebut tidak sekedar melihat objek manusia secara utuh lewat gejala yang dapat diamati oleh mata, namun lebih kepada cara melihat objek tersebut dengan kaidah-kaidah Islam didalamnya.

Dalam pengetian lainnya, psikologi Islam adalah ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia,yang bersifat filosofis, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasasri asumsi dari sumber-sumber formal Islam (al-qur'an dan hadits) dan akal, serta indera dan intuisi.

Tidak berbeda jauh dari pengertian diatas, hanya dalam definisi ini diterangkan sumber-sumber yang dapat digunakan sebagai landasan kajian jiwa dalam Islam.

Menurut versi lainnya, psikologi Islam merupakan bagian dari tasawuf, oleh karena itu metodologi tasawuf dapat pula dijadikan sebagai patokan untuk menentukan metodologi psikologi Islam. Sebagai contoh metodologi secara konseptual pada tasawuf al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulum al-Din yang secara aksiologi bersumber dari wahyu, dasar epistimologinya adalah nisbah akal dan intuisi, dan dasar ontologinya adalah terma-terma seperti al-aql, al-nur dan etika/moral.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai psikologi Islam, memang terdapat berbagai macam pengertian yang berbeda-beda namun semua tertuju pada satu kesimpulan yaitu metode dan objek yang diamati haruslah berdasarkan pada konsep dan ajaran Islam didalamnya.

Baca Juga: Ontologi Kebahagiaan; Antara Delusi Materialisme dan Idealisme di Era Pos-Truth

Hakikat Manusia

Manusia merupakan makhluk ciptaan yang unik dan paling sempurna, perbedaan manusia dengan hewan lainnya sangat tampak dari ciri khusus yang dimiliki manusia yaitu akal. Terdapat banyak sekali pembahasan mengenai hakikat manusia yang memiliki berbagai macam perspektif baik barat maupun Islam.

Beberapa ilmuwan filsafat seperti Socrates menyebut bahwa manusia adalah Zoon Politicon atau hewan yang bermasyarakat, selain itu Max Scheller menyebutnya sebagai Das Kranke Tier atau hewan yang sakit yang selalu bermasalah dan gelisah.

Menelaah sejenak dua definisi diatas, terdapat keanehan ketika melihat manusia dengan menggunakan hewan sebagai alat untuk menjelaskannya. Hal ini mengakibatkan banyak dari ilmuwan terutama dari kalangan Islam tidak sependapat dengan penjelasan tersebut.

Dalam Islam manusia dipandang sebagai makhluk yang paling sempurna  memiliki unsur yang mencangkup seluruh aspek kehidupan dimuka bumi ini. Mulai dari unsur alam seperti air, hewan seperti insting dan lain sebagainya.

Seperti dikutip dalam sebuah buku yang mengatakan bahwa manusia adalah bentuk dari mikrokosmos . Karena dalam dirinya terdapat semua unsur kosmos yang ada dan tersebar. Hampir seluruh unsur yang ada dimuka bumi terdapat dalam dirinya, bahkan ada dua unsur yang melebihi segala unsur yang ada yaitu, Daya Ruhani dan Spiritualitas. 

Pernyataan diatas menunjukkan bahwa manusia sebagai cipataan yang sempurna ditandai dengan hal-hal yang ada didalam dirinya, baik fisik maupun nonfisik merupakan cerminan kecil dari tatanan dunia yang ada. Melebihi makhluk ciptaan lainnya, manusia bahkan memiliki dua unsur yang melebihi unsur yang ada di kosmos tersebut yaitu daya ruhani dan spiritualitas yang memang istimewa dilekatkan pada diri manusia.

Setidaknya terdapat lima unsur kosmos dalam diri manusia. Mengenai kelima unsur tersebut, manusia digambarkan sebagai makhluk dalam wujud yang paling sempurna. Sehingga ia memiliki konstruksi penciptaan yang sangat indah melebihi makhluk-makhluk lainnya. Manusia merupakan karya Allah Swt. yang terbesar, yang memiliki keistimewaan dengan dijadikannya mereka makhluk kosmis yang sangat penting, karena ia dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-sayrat yang dibutuhkan.

Jika hewan diciptakan memiliki pendengaran yang kuat itu tidak akan mampu menandingi manusia yang mampu mendengar dan mencerna dengan akalnya. Tidak seperti hewan yang tidak mampu membedakan antara suara orang yang sedang marah atau hanya mengangkat suara, meski secara lahiriyah pendengaran manusia kalah dengan pendengaran singa, namun secara bathiniyah pendengaran manusia jauh lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya.

Sedikit berbeda dengan Al-Farabi, ia melihat dari segi lainnya bahwa manusia memiliki dua komponen dalam dirinya, yaitu komponen jasad dan komponen jiwa. Komponen jasad menurutnya seperti alam ciptaan, yang mempunyai bentuk, rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan tidak diam. Sedangkan komponen jiwa adalah berasal dari alam perintah (alam Kholiq) yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad manusia, hal ini didasari dengan alasan bahwa jiwa adalah roh yang merupakan perintah Tuhan walaupun tidak menyamai Dzat-Nya.

Melalui penjelasan ini Al-Farabi ingin memperlihatkan kesempurnaan wujud manusia yang tidak sekedar berbentuk fisik saja namun juga dilengkapi dengan konsep jiwa yang memiliki daya dorong untuk langkah dalam kehidupan. Dengan kata lain, manusia adalah suatu kesatuan mekanisme biologis yang berpusat pada jantung (sebagai pusat kehidupan) dan mekanisme kejiwaan yang berpusat pada cara berpikir dan bersikap.

Manusia dalam Al-Qur'an memiliki siklus yang sederhana dalam satu kalimat, innalillahi wa inna ilaihi rojiun, meski terkesan sederhana namun terdapat arti dan makna mendalam didalamnya yang mampu menjawab persoalan penting tentang manusia, mulai dari penciptaan sampai pada kemana ia akan kembali.

Secara umum Islam menjelaskan bahwa manusia adalah suatu makhluk yang memiliki dua unsur, yaitu materi dan non materi. Allah Meniupkan ruh kedalam jasad manusia setelah sempurna  proses penciptaannya.  Dalam penjelasan ini maka semakin terlihat jelas bagaimana Islam memiliki konsep yang lebih jelas dan lengkap tentang manusia dari pada Barat, dimana Islam melihat manusia bukan unsur materinya saja melainkan dari aspek non materi juga harus diteliti secara mendalam jika berbicara mengenai manusia.

Sedangkan dalam Al-Qur'an, disebutkan kata manusia dalam tiga kata yaitu Alif, nun dan sin. Seperti dalam kata insan, ins, atau nafs kemudian ada juga kata basyar atu bani adam, yang setiap dari kata tersebut memiliki makna dan definisi yang berbeda dan saling melengkapi. Kata insan terambil dari kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak.

Pendapat lainnya mengatakan bahwa kata insan berasal dari kata nasiya yang berarti melupakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu.  Sedangkan kata basyar menunjukkan arti penampakan sesuatu yang dengan baik dan indah, seperti kulit atau hal yang bersifat lahiriyah.

Demikianlah beberapa penjelasan al-Qur'an mengenai manusia dengan menyebutkan beberapa kata yang diartikan sebagai manusia, dengan penyebutan kata yang berbeda-beda tersebut lengkaplah bekal untuk mendefinisikan manusia secara utuh baik rohani dan jasmani. Namun selain dari ketiga kata tersebut, sebenarnya terdapat tiga unsur dalam komponen manusia tersebut.

Adapun tiga unsur tersebut adalah manusia terdiri dari jasmani, didalamnya terdapat unsur air, kapur angin, api dan dan tanah. Kedua unsur ruh, didalamnya terdapat cahaya sebagai bentuk petunjuk yang menghidupkan jasmani. Kemudian unsur ketiga adalah jiwa,  atau dalam bahasa lainnya adalah nafs yang berarti perasaan atau rasa.

Sementara dalam unsur yang terakhir ini sedikitnya terdapat tiga unsur utama yaitu nafs muthmainnah, dipengaruhi oleh sifat malaikat, seperti baik, tenang, bijaksana, berbudi luhur dan berakhlak mulia. Unsur kedua adalah nafs lauwwamah, ada dibawah unsur yang pertama ia berfungsi membentengi diri dari nafsu syahwat dan menentang segala kecerobohan manusia didalamnya, baik ibadah maupun yang lainnya.

Sementara nasf yang ketiga adalah nasf ammarah, dipengaruhi oleh sifat iblis yaitu membiarkan nafsu syahwat bahkan mengikutinya dan mengikuti bisikan setan sehingga bersifat sombong, merusak dan murka.  Begitulah Islam secara menyeluruh mendefinisikan manusia, sehingga ketika masuk ke ranah psikologi tidak ada satu hal pun yang dilewatkan Islam dalam mengkaji jiwa manusia, mulai dari unsur fisiknya sampai pada sifat yang terdapat dalam esensi jiwanya.

Definisi Bahagia

Berbicara mengenai kebahagiaan adalah suatu hal sering dikaitkan dalam kajian psikologis manusia. Kebahagiaan adalah suatu perasaan yang dapat dialami oleh semua orang, namun untuk sampai pada titik kebahagiaan manusia memiliki cara dan langkah yang bermacam-macam. Hal ini sangat berkaitan dengan bagaimana manusia memandang definisi dan konsep dari kebahagiaan tersebut.

Dalam perjalanan memaknai bahagia para psikolog mendapati kebingungan akan makna sejati darinya dan bagaimana bentuknya terutama dalam masyarakat Barat.

Pernyataan diatas kemudian dapat dibuktikan dalam perjalanan psikologi ilmiah yang dibangun oleh Barat melalui salah satu psikolog mereka, terlihat dalam karya William Wundt  dan dilanjutkan dan dikembangkan oleh Sigmund Freuid yang hanya memiliki fokus kajian dalam dinamikadan kasus-kasus kepribadian manusia saja.

Melalui beberapa penelitian dalam perumusan makna dan bentuk kebahagiaan, Barat akhirnya mencetuskan kebahagiaan dengan sebutan subjective well-being. Hal ini didapatkan melalui kajian-kajian melalui aspek-aspek positif dan potensial didalam diri manusia tersebut atau sering dikenal dengan positive psychology.

Melalui penelitian tersebut kebahagiaan dimaknai dalam banyak paradigma yang berakibat pada tidak adanya korelasi antara tercapainya indikator kebahagiaan dengan fakta di lapangan. Karena sering kali paradigma yang muncul adalah kebahagiaan merupakan titik tercapainya seluruh kebutuhan hidup, namun kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.

Barat memandang kebahagiaan sebagai kombinasi antara perasaan manusia dengan kepuasan hidup yang mereka rasakan, mereka beranggapan bahwa kebahagiaan adalah hasil dari sesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi dari manusia, ini lah yang mereka sebut sebagai ranah kajian dalam subjective well being, yang dapat diartikan sebagai evaluasi seseorang terhadap kehidupannya, meliputi pendapat mereka tentang seberapa bahagia dan terpuaskan kehidupan mereka secara menyeluruh dan bagaimana ungkapan mereka tentang perasaan emosional mereka terkini.

Kerancuan makna dan definisi bahagia menurut barat berasal dari cara mereka memandang manusia itu sendiri, terlihat bagaimana mereka menafikan unsur dibalik rasa dan kepuasaan dalam diri manusia. Mereka menilai kepuasaan hanya dari segi fisik manusia saja tanpa memperhitungkan bagaimana kepuasan jiwa manusia secara menyeluruh.

Jauh sebelum para psikolog menyibukkan diri dalam kajian mengenai indikator  dan makna kebahagiaan, para filsuf terdahulu telah memiliki berbagai bentuk definisi dari kebahagiaan itu sendiri.

Hal ini menuai sisi kontradiktif dengan perumusan yang dilakukan psikologi modern yang menolak untuk mengambil kesimpulan dari makna kehidupan yang baik melalui pengamatan sekilas dan spekulasi filosofis semata. Penolakan Barat terhadap perumusan melalui ranah filosofis sebenarnya telah menyempitkan cara berpikir mereka sendiri, inilah faktor yang kemudian melandasi adanya perbedaan dalam konsep kebahagiaan dan fakta yang terjadi.

Kemudian, setelah melalui berbagai bentuk penelitian mengenai konsep kebahagiaan akhirnya Barat melalui beberapa psikolognya memperkirakan beberapa bentuk konsep kebahagiaan. Diantara bentuk kebahagiaan tersebut adalah tercapainya seluruh variabel-variabel yang dianggap sebagai indikator kebahagiaan, antara lain : kepuasan hidup (life satisfaction), pengalaman perasaan (affective experience), hubungan yang baik antar invidu (good relation) dsb.

Kebahagiaan dalam aspek psikologi barat yang dikaitkan dengan well-being atau kesejahteraan, menurut Ryan dan Deci (2001) tradisi well-being meliputi pendekatan hedonic dan pendekatan Eudaimonic.  Pendekatan Hedonic menyatakan bahwa tujuan hidup adalah untuk mencapai kebahagiaan, kesenangan, mendapatkan kenikmatan serta terhindar dari rasa sakit.

Dalam penelitian tersebut banyak digunakan pemikiran mengenai Subjective Well being dimana Subjective Well being menyangkut tiga komponen yaitu kepuasan hidup, adanya gairah yang positif, dan tidak adanya gairah negatif di dalam membentuk suatu kebahagiaan. Subjective Well being meliputi pengalaman individu yang dipengaruhi oleh kesehatan, kenyamanan, kebijakan dan kebahagiaan yang di alami oleh individu tersebut.

Kebahagiaan dalam ranah psikologi positif adalah salah satu indikator ukuran subjektif yang diambil secara universal atas ukuran kesejahteraan (wellbeing), kenyamanan hidup (life satisfication), atau kehidupan yang baik (good life). Ketiga hal ini mengarahkan indikator utama pada sebuah kebahagiaan yang akan didapat seseorang jika telah memenuhinya.

Namun, kebahagiaan inipun masih bermuara dari sebuah pernyataan yang subjektif. Hal ini dikarenakan setiap orang di dunia masih saling tumpang-tindih dalam mengartikan cara bahagia dan kebahagiaan itu sendiri. Seperti sebuah contoh penetapan tolak ukur kebahagiaan melalui survei di Kanada yang menyebutkan bahwa 66% masyarakatnya mengatakan bahwa mereka akan merasa bahagia apabila mereka lepas dari rasa takut dan stress secara finansial atau material.

Padahal Amerika sendiri yang terbukti memiliki pendapatan yang tinggi dalam masalah finansial dan material justru tidak dapat menambah kebahagiaan. Hal ini kemudian dibuktikan oleh salah seorang bernama Diener yang menemukan bahwa di Amerika walaupun daya perdagangan meningkat namun rata-rata kebahagiaan penduduknya tidak terlalu berubah, ia kemudian mengambil kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat justru memiliki kecenderungan untuk menambah permasalahan dalam kehidupan, misalnya perpindahan pekerja dan perpecahan keluarga.

Berbeda dengan konsep kebahagiaan dalam Islam, dimana kebahagiaan diungkapkan dengan istilah sa'adah yang memiliki hubungan antara dua dimensi eksistensi, yaitu akhirat dan dunia sesaat. Sa'adah secara terminologi diambil dari sebuah kata dalam bahasa arab yang berarti keberuntungan, kebalikan dari kesialan.

Sa'adah sendiri memiliki lawan kata Syaqowah yang memiliki arti kemalangan dan kesengsaraan.  Kata sa'adah sendiri memiliki orientasi pada sebuah keberadaan akhirat, sehingga dalam Al-Qur'an disebutkan kata ini dua kali dan kedunya memiliki makna mendalam ke arah akhirat.  Maka dalam sebuah pendapatnya Ibnu Sina mengatakan bahwa kebahagiaan dan kesedihan jiwa yang sebenarnya adalah di kehidupan akhirat, sedangkan kesenangan dan penderitaan di dunia bersifat perumpamaan saja.  

Namun kebahagiaan Islam tidak sampai pada titik tersebut melainkan masih terdapat korelasi antara kehidupan dunia dan kebahagiaan di akhirat. Setidaknya korelasi tersebut menyentuh pada tiga aspek yaitu diri (nafs) yang diibaratkan sebagai pengetahuan yang baik, hal ini berpengaruh pada pemahaman ajaran yang tepat untuk sampai pada sebuah tujuan kehidupan akhirat.

Kemudian tubuh (badaniyyah) dimana ketika tubuh itu sehat maka pekerjaan akan mudah dilakukan dan mampu menambah berbagai macam bekal menuju akhiratnya. Terakhir eksternal luarnya (kharijiyyah) yang berarti unsur materi yang mampu menjadi penunjang dalam kehidupan dan kebahagian manusia tersebut. Maka menurut salah seorang tokoh muslim kehidupan dunia dan akhirat harus selalu dalam koridor wahyu.    

Definisi Materialisme

Berbicara mengenai definisi materialisme, terlebih dahulu akan ditinjau dari sisi terminologinya, materialis berasal materi yang berarti terletak, terikat, tersurat dalam hati; benda, zat; sesuatu yang jadi bahan untuk berpikir, berunding, mengarang dan sebagainya.  Kemudian kata itu berkembang menjadi materialis yang berarti pengikut paham materialis: orang-orang yang mengutamakan keberadaan kebendaaan sepert harta, benda dan sebagainya.

Kemudian kata materialistik sendiri berarti sifat manusia yang bersifat kebendaan dan mengenai kebendaan.  Melalui keterangan diatas dapat kita lihat bahwa materialistik adalah sebuah sifat yang terdapat dalam diri manusia yang memiliki fokus terhadap kebendaan dan kepemilikan hal-hal yang real. Sifat tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah aliran yang sering disebut dengan materialisme.

Masih dalam arti materialisme terdapat satu definsi materialisme sendiri dalam ranah psikologi adalah satu segi pandangan yang menyatakan bahwa reaitas satu-satunya adalah zat, barang, bahan (mater). Arti selanjutnya satu sikap yang menuntun orang pada pencapaian barang-barang dan pemupukan kesenangan hidup, dengan mengorbankan pengejaran benda-benda kultural atau intelektual.

Kemudian dalam sebuah karya ilmiah, terdapat pengertian materialisme yang berarti suatu ciri karakter manusia secara umum, dimana karakter ini mempunyai oerientasi yang menekankan pada kepemilikan (material) dan uang untuk kebahagiaan dan kesejahteraan personal dan perkembangan sosial. Sebuah paham yang sangat identik dengan paham Barat, dimana kebahagiaan dan kesejahteraan sangat dikaitkan pada titik pendapatan harta dan benda semata.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang menghendaki kehidupan yang sejahtera dengan salah satu indikatornya adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar mereka (Maslow, dalam Feist, Feist, & Roberts, 2013). Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut tak dapat dielakkan tergantung pada benda-benda. Seseorang senantiasa mengkonsumsi barang dan menggunakan berbagai jasa yang perolehannya memerlukan uang.

Orientasi yang materialistis pada satu sisi sangat manusiawi karena mendukung hajat hidup manusia, namun di sisi lain mengandung sisi gelap yang merugikan manusia.  Dalam hal ini terlihat bagaimana setiap orang menginginkan kebahagiaannnya terpenuhi. Untuk itu hampir setiap individu mendedikasikan waktu, energi, dan uangnya untuk mengejar kebahagian, kesenangan, kenyamanan, dan kepuasan. Hal ini memperilhatkan bahwa pada kenyataannya, orang tidak pernah berhenti pada satu keinginan material.

Berdasarkan pada paham kebahagiaan hedonisme , sifat materialistik yang terdapat dalam paham materialisme bertolak dari ukuran kehidupan yang bersifat kualitatif dengan perolehan benda duniawi yang bersifat kuantitatif. Kebaikan dan kebahagiaan dalam hidup selalu diukur secara kualitatif dengan mengukur kualitas kehidupan yang diperoleh tanpa memperdulikan apakah kehidupan yang dijalani dapat berlangsung lama atau singkat.

Materialisme memiliki indikator utama dalam kehidupan yaitu kehidupan yang bersifat kuantitatif seperti harta atau kekayaan material, tanpa peduli apakah pengalaman hidup dan spiritualitas diperoleh juga beserta kekayaan tersebut. Indikator inilah yang kemudian bertolak belakang dengan Islam, dimana Islam melihat konsep bahagia tidak sekedar unsur materi saja tapi yang immaterial juga cukup memiliki andil didalam kebahagiaan itu sendiri.

Menurut Yusuf al-Qordhawi, unsur material dan immaterial dalam diri manusia tidaklah hilang seutuhnya namun tetap harus seimbang keberadaannya. Seseorang tidak boleh mengurangi hak-hak tubuhnya untuk memenuhi hak-hak ruhnya. Begitupun sebaliknya seseorang tidak boleh mengurangi hak-hak ruhnya demi memenuhi hak-hak tubuhnya.

Sifat materialistis yang dimiliki individu menyebabkan seseorang untuk cenderung memperkaya dirinya sendiri dengan cara terus menerus menumpuk kekayaan. Tindakan untuk mengumpulkan kekayaan dan memperkaya diri sendiri merupakan wujud refleksi dari suatu kesuksesan, kebahagian dan kenikmatan dunia.  Hal ini kemudian bertolak belakang dengan Islam, seperti yang dapat kita lihat bersama pada pendapat Yusuf Qordowi pada penjelasan sebelumnya.

Pengaruh Materialistik pada Kehidupan Manusia

Melihat kembali kepada makna materialistik sebagai sifat yang condong kepada arah kebendaan dan kekayaan semata, hal ini tentu menjadi sudut permasalahan tersendiri dalam kehidupan. Karena pola pikir manusia mayoritas terdoktrin dan terkontaminasi dengan menyebarnya paham ini, sehingga banyak dari manusia lepas kontrol terhadap hal-hal yang bersifat materi yang menimbulkan berbagai problem dalam kehidupan mereka.

Bentuk dari problem yang ditimbulkan antara lain, munculnya paham kapitalisme yang berlandaskan pada keinginan mengumpulkan kekayaan dan berkuasa, kecurangan dalam kehidupan sosial karena konsep kebahagiaan berdasarkan sifat materialis yang salah dan tidak mencangkup seluruh aspek kebahagiaan itu sendiri dan masih banyak lagi problem lainnya.

Kecenderungan materialis dapat terlihat dari Barat yang memiliki beberapa tolak ukur kebahagiaan yang cukup dipengaruhi oleh unsur materialis, seperti pencetusan Human Development Indeks oleh PBB dalam United Nations Development Programs (UNDP), dimana faktor yang mewarnai kesejahteraan dan kebahagiaan menurut indeks tersebut adalah sebagai berikut : "Pendapatan per-kapita, panjangnya masa hidup serta tingkat pendidikan yang telah diraih oleh seseorang". 

Dari penjelasan indikator diatas kita mampu untuk melihat bagaimana sebuah doktrin yang cukup menjanjikan dari kulitnya, namun sebenarnya memiliki beberapa hal yang tidak sepatutnya dijadikan prioritas utama. Kesejahteraan dan kebahagiaan dalam konteks diatas lebih diarahkan kepada sebuah keadaan keluarga dengan segala macam kehidupan materinya. Sehingga wajar jika di Amerika meski pendapat per-kapita selalu mengalami perkembangan namun ketika melihat dari aspek kebahagiaannya kenaikan angka didalam kehidupan masyarakat sukar diharapkan.

Contoh diatas adalah salah satu efek dari sebuah sifat materialis yang sengaja didewakan oleh Barat, berlandaskan pada adanya nafsu terhadap harta sebagai keinginan didalam jiwa manusia yang dituntut dan didambakan serta diimpikan keberadaannya. Dambaan dan keinginan kuat tersebut dikarenakan jiwa itu sendiri telah mengetahui peranan harta dalam menopang kehidupan itu sendiri.

Namun problem yang terjadi adalah ketika keinginan itu tidak terkontrol dan kemudian mendorong manusia melakukan berbagai kejahatan, kekejian dan pelecehan kehormatan dan martabat. Tidak sedikit dari manusia tersebut berubah seperti binatang karena hanyut oleh keinginan nafsu ini.  Melalui problem tersebut maka manusia mengalami banyak sekali ketidaksinambungan antara pencarian kebahagian yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka dapatkan.

Salah satu dari bentuk ketidaksinambungan antara langkah menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dan hasil dari langkah tersebut yang berlandaskan pada keinginan material dalam diri manusia adalah rumus kebahagiaan dan kesejahteraan yang di cetuskan oleh salah satu presiden Amerika Franklin D. Roosevelt.

Pada awal abad ke-20 ia mempromosikan "The Four of Freedoms" yaitu; Freedom of Speech (Kebebasan dalam berbicara), Freedom of Religion (Kebebasan dalam beragama), Freedoms of Fear (Kebebasan dari rasa takut), Freedom of Want (Kebebasan dalam berkehendak). Kebebasan dalam bertindak dan beragama menimbulkan masalah tersendiri dalam diri manusia, ketidakadanya aturan dalam diri mereka menimbulkan mereka bebas dan hal itu menyalahi konsep manusia dalam Islam.

Islam memandang manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan bentuk yang paling sempurna, meskipun tidak dapat dipungkiri memang dalam diri manusia terdapat nafsu dan keinginan kuat untuk memiliki suatu kelebihan dari manusia lainnya, baik dalam segi materi maupun kekuasaan, tapi hal itu tidak seutuhnya benar, karena manusia itu sendiri sejatinya tidak bebas melainkan memiliki koridor aturan dalam hidupnya.

Dalam Islam manusia diartikan sebagai : Human being is the superior most creature of Allah. The superiority is not physical but spiritual. Human being have developed faculty of understanding, which enables them to comprehend the reality, distinguish between right and wrong. Dilain sisi, penciptaan manusia memang sangat lengkap dari unsur materi dan unsur yang tersembunyi didalam materi tersebut.

Manusia diciptakan dari tanah bisa diartikan mewakiliki seluruh sifat yang terdapat dalam diri mereka yang manusiawi, namun keseluruhan sifat dan keinginan itu telah dirancang khusus dengan aturan peribadatan kepada Allah Yang Menciptakan mereka. Aturan tersebut menjadi bentuk pembatas dan petunjuk yang mengarahkan sifat manusia tersebut kedalam hal-hal yang benar.

"Human beings, according to Islamic doctrine of creation, are made of two elements. One is clay and the other is the spirit of Allah. Clay being the lowest element represents the drive, desires, ambitions, and egoistic traits that the lead them such a state where they learn to respond only to these needs and get physical pleasure that is of temporary nature. Spirit of Allah being the highest and the purest element leads human beings to such a state where they learn to respond to the command of Allah (Swt)."

Bersimpangan dengan konsep manusia dan jalan hidupnya yang telah diatur dalam Islam, timbul kemudian sebuah paham yang menjadi problem dalam kehidupan manusia. Paham tersebut adalah kapitalisme, kaum kapitalis memandang bahwa kemiskinan itu termasuk salah satu dari bahaya kehidupan dan merupakan salah satu dari problematikanya. Dalam pandangan mereka kaum miskin adalah beban negara dan hartawan, karena manusia itu memiliki tanggungjawab atas diri mereka sendiri, mereka bebas berbuat, mereka bebas menggunakan hartanya.

Paham tersebut kemudian banyak menimbulkkan problem dalam kehidupan masyarakat, dimana individu-induvidu dalam paham ini mulai mencerminkan pribadi yang keras, egois serta mementingkan diri sendiri secara berlebih-lebihan. Sikap ini dilandasi keinginan memiliki harta dan kekayaan melebihi lainnya, sehingga yang miskin akan semakin miskin dan yang kaya akan semakin waspada pada segala kemungkinan kerugiaannya.

Sangat berbeda dengan Islam, dimana nafsu terhadap harta tersebut benar-benar diatur dalam berbagai macam konsep dan ajaran, seperti zakat yang telah ada sejak sebelum Rasulullah Saw. diutus sebagai Nabi, yaitu ketika masa Nabi Ismail yang telah menyeru pada umatnya untuk mendirikan sholat dan membayar zakat  dengan tujuan terciptanya pengaturan atas nafsu terhadap harta sehingga manusia jauh dari bentuk dan paham materialis apalagi kapitalis.

Dalam hal ini zakat memiliki konsep yang sangat lengkap berbeda dengan kapitalis ataupun materialis yang membuat manusia seakan bebas dan tidak beradab terutama dalam masalah harta. Konsep dua haul, nisab dan kewajiban berzakat telah mengarahkan manusia pada sisi kemanusiaan yang sebenarnya.

Baca Juga: Menelisik Madzhab Materialisme serta Menjawab Keragu-raguan Mereka

Kesimpulan

Pembahasan mengenai manusia memang sangat kompleks dan beragam, jangkauan ranah manusia sebagai makhluk paling sempurna membuat kajian mengenai konsep manusia merupakan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Melalui makalah singkat ini, dapat kita lihat bagaimana jika unsur materialistik dalam diri manusia tidak diimbangin dengan koridor wahyu dan petunjuk ajaran agama, sudah pasti akan menuai banyak problem baik lama maupun problem baru yang entah kapan akan terlahir lagi.

Sifat materialis dalam diri manusia memang hal yang tidak dapat dinafikan, Islam pun telah menanamkan konsep jiwa manusia yang memiliki arah kecenderungan didalamnya. Namun sifat tersebut tidak dibiarkan bebas dalam jiwa manusia dan menguasainya, tetap sifat tersebut diatur dan dirangkai sedemikian rupa agar terhindar dari lobang-lobang seperti sifat kapitalis, egois dan menghalalkan segala cara.

Dengan demikian Islam memandang kebebasan sifat tersebut sangat berbahaya, maka hal itulah yang melatarbelakangi beberapa fakta dimana tidak semua orang yang memiliki harta berlimpah mampu bertahan dalam sebuah kebahagiaan dalam hidupnya.

Daftar Pustaka

  1. Al-Afriqiy, Muhammad bin Mukrim bin Manzhur, Lisanul 'arab, (Darul Hadits, Kairo)
  2. Al-Faruqi, Ismail Raji, Islam dan Kebudayaan, (Mizan, Bandung: 1984)
  3. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya' Ulum al-Din, (Darul Ma'rifah, Kairo: 1964)
  4. Al-Jamal, Ibrahim M., Penyakit Penyakit Hati, (Pustaka Hidayah, Bandung: 2000)
  5. Al-Najati, Muhammad Utsman, Darosah Nafsiyah inda al-Ulama' al-Muslim, (Kairo, Maktabah Dar- al-Syuruq: 1993)
  6. Al-Sa'di, Abdurrahman bin Nashir, Al-Wasail Al-Mufidah li al-Hayyah al-Sa'adah, (Propagation Office Rabwah, Riyadh, 1426)
  7. Chaplin, J.P, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, (Rajawali Press, Jakarta: 2001)
  8. Darpito, Surpiko Hapsoro dan Chairil Anwar. Proceeding International Conference and Call of paper. Transformation Malaysia Indonesia 
  9. Relation: Towards Asean Community 2015
  10. Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, (Bulan Bintang, Jakarta: 1989)
  11. Diener, Ed, Culture and Well Being the Collected Work of Ed Diener, (New York: Springer, 2009)
  12. Djijarkara, Percikan Filsafat, (Kanisius, Semarang: 1978)
  13. Faridah, Siti, Metodologi Dalam Kajian Psikologi Islam, (Journal Studia Insania, Vol.4)
  14. Fitriyah, Lailatul, Jangan Terlalu Materialistik! Materialisme sebagai Tolak Ukur Kepuasan Hidup, (Psikovidya, Vol. 20 : 2016)
  15. Harmaini, Alma Yulianti, Peristiwa-Peristiwa Yang Membuat Bahagia, (Psympatic, Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol. 1)
  16. Hidayat, Komaruddin, Psikologi Kebahagiaan "Merawat Kebahagiaan Tiada Akhir", (Noura Books, PT. Mizan Publika, Jakarta Selatan)
  17. Husna, Aftina Nurul, Psikologi Anti-Materialisme, (Buletin Psikologi Vol. 24: 2016)    
  18. Hussain, Mohd. Yusof, Islamization of Human Sciences, (IIUM Press, Malaisya : 2006)
  19. Joseph, Tim Kasser in Alex Lingley and Stephen, Positif Psychology in Practice, (New Jersey: John Willey Sons, 2004)
  20. Krueger, Alan B., Measuring the Subjective Well Being of Nation, (Chicago: The University of Chicago Press, 2009)
  21. McGillivary, Mark, The Human Development Indeks, dalam World Goverment, Vol. 19 No. 10, (Great Britain: PergamonPress, 1991)
  22. Muslih, Muhammad Kholid et. al, World View Islam (Unida Press, Ponorogo)
  23. Nawawi, Rif'at Syauqi, et. al., Metodologi Psikologi Islami
  24. Nurussakinah, Daulay, Pengantar Psikologi dan Pandangan Al-Qur'an tentang Psikologi, (Prenadamedia Goup, Jakarta: 2014)
  25. Prilleltensky, Isaac, Promoting Well Being Linking Personal, Organizational and Community Change, (New Jersey USA: John Willey and Sons Inc).
  26. Qordowi, Yusuf, Musykilatul Fakri wa Kaifa 'ilaajuha fil Islam, Terj. Umar Fanany, (PT. Bina Ilmu, Surabaya: 1982)
  27. Ryff, Carol D., "Happiness in Everything or is it?", Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 54 No. VI, 1989
  28. Suharsono dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (PT. Widya Karya, Semarang: 2005)
  29. Susniane, Dalia & Algirdas Jurkauskas, "The Concepts of Quality of Life and Happiness-Correlation and Diffrences", (Journal Inzinerine 
  30. Economika Engineering Economics, 2009)
  31. Syukur, M. Amin Abdullah dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf,Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali (Pustaka Pelajar, Yogyakarta:  2002)
  32. Veenhoven, Ruud, "How Do We Assess How Happy We Are?, paper presented at Conference on "New Directions in the Study of 
  33. Happiness: United States and Internasional Perspective", (University of Notre Dame, USA, 2006)    
  34. Walgito, Bimo, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), (Andi Offset, Yogyakarta: 2000)
  35. Zakariya, Abu al-Hasan Ahmad bin Faris bin, Mu'jam Maqoyis al-Lughoh, Jil. 5, (Darul Fikri, Beirut)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun