Pukul 8 pagi kami menuju terminal bus.
Aku senang tiba di sana. Bus luar kota berderet panjang. Ayah menunjuk bus yang akan dinaiki, dan aku dituntunnya cepat. Â
Aku takjub di antara muka sisi kanan dan kiri bus ini ada serupa wayang yang dipasang, sepertinya Arjuna dan Bima, kata ayah.
Aku tertawa senang. Lalu naik, dan duduk di deretan kursi penumpang baris kedua sebelah kanan untuk tiga orang, persis di belakang sopir.
Bus pun melaju dengan penumpang padat. Saat itu ayah ada di tengah, dan aku duduk di sebelah kanan demi melihat pemandangan ketika bus jalan.
Di sebelah ayah seorang ibu yang sudah tua, sendiri. Ayah sesekali berbincang dengannya. Bus sudah melaju selama kurang lebih lima jam perjalanan.
Dan, aku hanya duduk, mengantuk, tidur, lalu bangun lagi untuk menengok ke jendela bus, atau meminta minum pada ayah.
Tapi tiba-tiba.
Di tikungan jalan, sebelum jembatan. Kanan kirinya sawah terhampar. Bus dan truk saling adu badan. Aku hanya merasakan benturan keras, dan kaca bus yang berhamburan menerpa penumpang termasuk wajahku.
Kemudian semuanya menjadi gelap.
Aku siuman terbaring di sisi sawah. Baju yang kukenakan bersimbah darah. Aku melihat ayah sedang menantiku sembari kulihat tangan kiri ayah seperti ia gendong.