Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Koran Kenangan

27 November 2022   20:30 Diperbarui: 27 November 2022   20:52 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ibuku sakit keras,"kata ayah pelan pada ibu yang sedang duduk dan mengaput untuk menambal kolor bergaris biru muda punyaku di malam itu.

"Kabar dari siapa?"

"Mang Tuman. Ia memberikan surat ini,"ucap ayah lagi sembari menyodorkan pada ibu.

Ibu seketika membaca, dan keningnya berkerut tanda serius apa yang diderita nenekku di kampung sana.

Aku masih memperhatikan ayah dan ibu berbincang di ruang tamu sembari menyelesaikan pekerjaan rumah matematika kelas tiga dari sekolah. Sementara ke dua kakakku sedang ada di kamar.

Entah apa yang dibicarakan. Aku masih bisa melihat ibu menarik napas panjang, dan ayah seperti kebingungan. Sesaat kemudian ibu keluar rumah di malam itu untuk menemui tetangga yang juga masih saudara.

Sekitar 15 menit ibu kembali.

"Saudaraku sedang kosong, katanya,"ibu mengatakan itu dengan sikap lemas, tapi kemudian bilang pada ayah sembari melangkah ke dalam kamar untuk memberitahu sesuatu.

Ayah mengikuti.

Ibu bilang," ini kalungku masih kusimpan. Mas kawin dulu darimu."

Ayah memintanya jangan. Simpan saja itu untuk yang keperluan yang lebih penting. Tapi ibu tetap memaksa.

Ayah tiada pilihan sebab memang ini tanggung bulan dan belum gajian. Ayah pun menerima kalung itu, lalu dikembalikan pada ibu, untuk esok pagi-pagi sekali ke pasar guna menjualnya.

Ibu mengangguk pelan, dan kembali tenang seraya tersenyum melihatku.

"Dengan siapa nanti berangkat, sendiri?"tanya ibu.

"Sama si bungsu, boleh?"

"Dia sekolah, kan bukan hari libur besok."

"Tidak apa-apa, nanti ibu bisa ke sekolah memberitahu si bungsu ijin tiga hari."

Aku mendengar itu girang tiada kepalang. Artinya besok akan naik bus, dan libur sekolah untk tiga hari. Lekas-lekas buku pekerjaan rumah aku lipat, dan masukan ke dalam tas.

Ibu tersenyum melihatku, dan malam rasanya panjang di pikiranku. Tapi itu tidak selama yang aku pikirkan, malah pagi sudah menjelang kemudian dengan teriak ayam tetangga yang berkokok panjang.

***

Ibu kembali dari pasar, dan kulihat uang sudah dipegang ayah dalam jumlah yang lumayan. Tapi kelihatan tidak semua yang ayah bawa, dan sebagian dikembalikan lagi pada ibu.

Ibu menyempatkan memasukan bekal ke dalam tas yang ayah bawa.

Pukul 8 pagi kami menuju terminal bus.

Aku senang tiba di sana. Bus luar kota berderet panjang. Ayah menunjuk bus yang akan dinaiki, dan aku dituntunnya cepat.  

Aku takjub di antara muka sisi kanan dan kiri bus ini ada serupa wayang yang dipasang, sepertinya Arjuna dan Bima, kata ayah.

Aku tertawa senang. Lalu naik, dan duduk di deretan kursi penumpang baris kedua sebelah kanan untuk tiga orang, persis di belakang sopir.

Bus pun melaju dengan penumpang padat. Saat itu ayah ada di tengah, dan aku duduk di sebelah kanan demi melihat pemandangan ketika bus jalan.

Di sebelah ayah seorang ibu yang sudah tua, sendiri. Ayah sesekali berbincang dengannya. Bus sudah melaju selama kurang lebih lima jam perjalanan.

Dan, aku hanya duduk, mengantuk, tidur, lalu bangun lagi untuk menengok ke jendela bus, atau meminta minum pada ayah.

Tapi tiba-tiba.

Di tikungan jalan, sebelum jembatan. Kanan kirinya sawah terhampar. Bus dan truk saling adu badan. Aku hanya merasakan benturan keras, dan kaca bus yang berhamburan menerpa penumpang termasuk wajahku.

Kemudian semuanya menjadi gelap.

Aku siuman terbaring di sisi sawah. Baju yang kukenakan bersimbah darah. Aku melihat ayah sedang menantiku sembari kulihat tangan kiri ayah seperti ia gendong.

Ayah menatapku sedih, dan ia bilang, tangan kiri ayah patah.

Orang-orang kemudian menggiring kami ke puskesmas untuk diberi perawatan. Aku perhatikan penumpang lain juga mengalami nasib yang sama. Namun ada juga yang diselimuti hingga wajahnya. Sebentar saja kami di puskesmas. Aku melihat ayah merintih, dan tidak tahan.

Seorang polisi menghampiri ayah, dan ayah meminta tolong padanya untuk mengantarkan ke sanak famili yang ada di suatu kota terdekat.

Polisi itu mengangguk, dan meminta entah siapa untuk mengantar ayah pada alamat yang dituju.

Kami pun diantarnya, dan tiba. Famili terkejut, dan meminta kami untuk istirahat sebentar sebelum dibawa ke rumah sakit.

Di rumah sakit kami dirawat selama dua hari. Selama dua hari itu pula ibu, dan kakakku tiada kabar tentang kami.

Untungnya ayah cepat meminta famili mengabarkan pada ibu, dan keluarga ayah di kampung. Akhirnya semua jadi terang kembali.

Kami berkumpul di rumah sakit. Ibu tiba bersama kedua kakakku, paman, serta kerabat. Ibu melihatku tersedu. Wajahku dibungkus perban, di bagian kening, dan pipi kanan, juga di bawah ke dua mata.

Kata ayah sembari berbaring,"terkena pecahan kaca,"

Lengan kiri ayah juga terlihat sudah digip, dan ada perban di kening sebelah kirinya.

"Bagaimana kabar ibu,"tanya ayah yang masih menyempatkan untuk bertanya pada adiknya yang juga pamanku.

Paman terlihat murung, dan menunduk seraya berbisik pelan.

"Ibu sudah tiada, kemarin."

Ayah tersedu, dan tampak menyesal sekali. Tapi ibu menguatkan ayah, dan mencoba untuk tetap kuat, demi dirinya, dan aku, anaknya. Ayah mengerti kemudian.

Esoknya, ayah memaksa untuk kami kembali dari rumah sakit ini, dan segera tiba di kampung halaman.

Di kampung halaman, orang-orang sudah menanti kami di rumah nenek. Mereka menganggap ini musibah yang tidak bisa dielakan. Takdir yang sudah ditetapkan. Aku kemudian dibaringkan sembari ada suara-suara do'a yang aku dengar untuk almarhumah nenekku.

Kami selamat, tapi ayah tidak sempat lagi menemui ibunya, yang juga nenekku. Tapi seminggu kemudian kami semua ziarah untuk terakhir kalinya pada nenek.

***

Jalannya peristiwa itu masih tersimpan dalam benakku. Koran daerah tentang kecelakaan yang terjadi 40 tahun silam itu masih aku buka dan baca sebagai kenangan pahit kami. Ayah sengaja mewariskannya padaku sebagai pelajaran juga untuk tetap hati-hati di setiap perjalanan.

Headline koran itu tercetak  besar. "Kecelakaan di Tikungan Jalan Menelan Lima Korban Tewas, dan 50 penumpang Lainnya Luka Berat dan Ringan."

Aku membacanya sebentar saja sembari melihat anak bungsuku yang sedang mengerjakan PR matematika di kelas tiga. Lalu aku lipat koran itu, dan simpan ditumpukan berkas di meja kerjaku.

"Semoga kelak, kamu bisa baca dan lihat koran kenangan ini juga, Nak,"bisikku pada anak bungsuku yang baru duduk di kelas tiga sekolah dasar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun