Paman terlihat murung, dan menunduk seraya berbisik pelan.
"Ibu sudah tiada, kemarin."
Ayah tersedu, dan tampak menyesal sekali. Tapi ibu menguatkan ayah, dan mencoba untuk tetap kuat, demi dirinya, dan aku, anaknya. Ayah mengerti kemudian.
Esoknya, ayah memaksa untuk kami kembali dari rumah sakit ini, dan segera tiba di kampung halaman.
Di kampung halaman, orang-orang sudah menanti kami di rumah nenek. Mereka menganggap ini musibah yang tidak bisa dielakan. Takdir yang sudah ditetapkan. Aku kemudian dibaringkan sembari ada suara-suara do'a yang aku dengar untuk almarhumah nenekku.
Kami selamat, tapi ayah tidak sempat lagi menemui ibunya, yang juga nenekku. Tapi seminggu kemudian kami semua ziarah untuk terakhir kalinya pada nenek.
***
Jalannya peristiwa itu masih tersimpan dalam benakku. Koran daerah tentang kecelakaan yang terjadi 40 tahun silam itu masih aku buka dan baca sebagai kenangan pahit kami. Ayah sengaja mewariskannya padaku sebagai pelajaran juga untuk tetap hati-hati di setiap perjalanan.
Headline koran itu tercetak  besar. "Kecelakaan di Tikungan Jalan Menelan Lima Korban Tewas, dan 50 penumpang Lainnya Luka Berat dan Ringan."
Aku membacanya sebentar saja sembari melihat anak bungsuku yang sedang mengerjakan PR matematika di kelas tiga. Lalu aku lipat koran itu, dan simpan ditumpukan berkas di meja kerjaku.
"Semoga kelak, kamu bisa baca dan lihat koran kenangan ini juga, Nak,"bisikku pada anak bungsuku yang baru duduk di kelas tiga sekolah dasar.