https://www.kompasiana.com/erusnadi/5f318552d541df52540f3142/cerita-pejuang-kafe-dan-ott
https://www.kompasiana.com/erusnadi/5f34b4996e383367e502d7e2/cerita-pejuang-kafe-dan-ott-bagian-2
*****
 "Mama masih ingat?"Tanya Naomi.
"Masih. Dan, tidak ada perubahan. Apa kabar, mas?"
"Baik ibu,"ucapku tersenyum membalas tulus sapanya.
Ia bertanya sekadarnya, dan menceritakan singkat, bahwa Naomi telah meninggalkan semua yang ia lakukan dulu sebagai pekerja kantoran. Kata mamanya, ia malu dengan semua peristiwa itu. Aku mendengarkan, namun tidak pasang wajah sedih. Biasa saja. Sebab aku tahu, Naomi tidak ingin dikasihani. Ia tipikal perempuan yang sudah khatam soal-soal seperti ini. Ibunya sebentar kemudian meninggalkan kami berdua.
Siang itu seolah membuka hari baru. Naomi tetap sebagaimana dulu. Obrolan masih di seputar nilai-nilai kehidupan yang humanis, dan menguatkan sikap optimis. Aku beruntung mengenalnya.
****
Di kantor beres-beres dilakukan. Bos yang menjadi atasanku disingkirkan. Aku pun sempat dimintai keterangan. Sebab ada bukti surat kuasa yang diberikan atasan padaku ketika itu. Aku tak membantah, dan juga tidak berdalih. Memang itu adanya.
Aku katakan tidak tahu sama sekali dengan segala urusan uang tersebut. Pihak kantor mau mengerti pada akhirnya. Di luar itu, tidak lagi ada urusan.Â
Urusanku saat ini ingin dekat Naomi. Titik.
Sudah dua minggu aku tidak menemuinyai. Oleh karena urusan tetek bengek itu. Tapi  komunikasi via WA tetap aku jalani. Aku datangi warung itu kemudian di malam minggu ketiga. Ia terbuka seperti biasa. Ia bilang malu sebagaimana ibunya bilang dengan kejadian OTT tersebut.
Malam minggu ke empat di warung ini juga, ia katakan sudah meninggalkan semua cerita dulu. Segala yang ia miliki dikembalikan pada negara secara sukarela. Minggu ke lima, Naomi ingin mengembangkan usaha ini.
Setiap minggu ada perbincangan yang menarik. Kadang diselingi canda dan tawa berderai-derai darinya. Â Terasa ada magnet dan chemistry di antara kami. Di bulan berikutnya, pada minggu pertama, aku mengajaknya ke suatu tempat. Dan, ia tidak menolak.
Aku izin pada ibunya, dan ia bilang,"hati-hati di jalan, dan pulang sebelum tengah malam."
Ah! Aku ingat ucapan ini ketika dulu mengijinkan Naomi keluar bersamaku.Â
Naomi sebagaimana biasa. Tapi malam ini tampak luar biasa. Ia sama persis apa yang dikenakannya dulu. Jeans, kemeja, lalu jaket, serta sandal yang berbeda, sekarang datar, dan tali terlihat mengikat di mata kakinya.
"Kemana?"
"Putar-putar."
"Iya, putar  juga lurus. Kemana?"
"Ikut aja ya. Kan aku yang mengajak."
"Baiklah."
Sepanjang jalan terasa terang. Malam seolah dihiasi lampu-lampu gedung yang berderet di sisi kiri kanan jalan. Lampu traffict light justru malah redup. Beganti kemilau sorot kendaraan di sana-sini.
Aku meliuk cepat menerobos kendaraan yang ada di jalan ini. Naomi terasa tak ragu lagi memelukku agar terhindar dari goncangan jalan. Aku sekali lagi tidak memanfaatkan situasi ini. Tidak. Ini agar cepat sampai saja.
 Memang tiba akhirnya. Naomi keras memukul pundakku. Ia tak menyangka aku mengajaknya ke kafe yang dulu pernah ia gagas.
"Gila. Ke sini lagi, mas?"
("Mas?"Aku tersentak kaget mendengar sebutan itu. Ini surprise. Tidak pernah terucap sebelumnya dari dia. "Mas?"kata hatiku berisik tak karuan)
"Iya. Kali ini aku yang traktir. Awas ya jangan menghalangi lagi."
Naomi terbahak, senang. Kami pun masuk. Musik juga sudah di mulai. Denting piano dan penyanyi terdengar sebagaimana semula. Syahdu, lembut, dan menghanyutkan oleh lagu-lagu lawas, dan baru. Baik produk barat, maupun lokal. Pop Slow, rata-rata.
Kami pun duduk tidak berhadapan, tapi samping menyamping sekarang. Agak lebih dekat, namun tetap  berjarak. Aku mendengar setiap tutur kata Naomi. Semua hal seperti biasa.
Sajian pun seketika datang, sama persis sebagaimana kesukaan Naomi. Kentang goreng, es juice jeruk, lalu disusul Makaroni Schotel. Aku nasi goreng, dan es teh manis. Plus air putih. Sama seperti ini juga ketika dulu.
Lagu demi lagu kami dengar, sembari ringan menyantap sajian. Obrolan mengalir ke segala penjuru.
"Sikapku salah tidak, mas?"
"Tidak ada yang salah. Kamu kan dihadapi situasi yang tidak semua orang merasakan."
"Maksudnya?"
"OTT itu, lalu berita media massa, dan hidup yang dijalani sekarang. Kamu sudah paham itu semua. Malah aku memuji apa yang kamu dan ibumu lakukan sekarang. Hebat itu."
"Selama ini aku tak pernah keluar sama sekali. Baru kali ini saja. Segera dulu setelah papa di gerebek di rumah itu, dua hari kemudian aku resign dari kantor. Aku mencoba menguatkan mama selama ini. Ada sisa tabunganku, dan juga pesangon dari kantor. Lalu kami pindah."
Ia akui ia butuh sendiri ketika itu, dan sembunyi. Sembari menyiapkan rencana jalani hidup kelak bersama ibunya. Ia pun mengakui ketika jumpa denganku di warungnya seperti tidak percaya. Aku cuma bisa timpali bahwa itu semua skenario Tuhan. Juga sedikit keterangan pembantu di samping rumahnya dulu sebagai ikhtiar aku untuk mencarinya. Â Â
Hening seketika di tengah lagu-lagu yang lembut, dan meromantisir situasi aku, dan Naomi. Seperti ada sesuatu yang lepas yang menyumbatku selama ini. Juga Naomi. Â Akupun punya keberanian untuk mengutarakan isi hati, dan sudah kukatakan tadi.
Naomi ragu, dan meminta kepastian kembali," mas sungguh-sungguh?"
Aku tidak menjawabnya, tapi minta izin sebentar ke belakang. Ia menuruti, dan hanya bilang jangan lama.
Iringan musik dengan piano, dan penyanyi  itu berjarak sekitar tujuh meter, terhalang agak sedikit oleh sekat partisi yang menjadi layout caf ini. Pianis memang tampak tidak terlihat dari tempat di mana kami duduk.
 Aku dekati penyanyi sebelum usai. Ketika ia tuntaskan lagu "That"s What Friends Are For", aku membisikinya untuk minta izin, baik padanya maupun pada pianis itu.
"Maaf mbak, mas. Â aku minta izin satu lagu untuk instrumental piano."
"Oh boleh, pianis yang main?"
 "Biar saya saja yang main, mbak."
"Ah asik pasti nih. Boleh tahu judulnya mas?"
"Kiss The Rain, dari Yiruma, mbak."
"Keren, mas,"puji penyanyi wanita ini, seraya menepuk bahuku, dan pianis pun memberikan isyarat jempolnya.
Aku sendiri agak gugup, sebab ini pertama aku mainkan piano di ruang publik. Yang tentu  bakal mencuri perhatian mata pengunjung caf ini. Tapi demi Naomi, dan kejutan untuknya, aku nekat saja. Bismilah!
Perlahan dan konsentrasi penuh, ketukan tuts yang ada kumainkan. Bunyi denting piano mengisyaratkan suasana hati yang sedang kurasakan malam ini. Aku berharap Naomi juga merasakan hal yang sama. Ini lagu favoritnya yang kerap ia kirim lewat WA dulu, sebelum peristiwa OTT itu.
Dari tempat duduk itu tampak Naomi mendengarkan, awas. Ia sangat menikmati nada lagu ini yang begitu disukainya. Ia tampak tidak tenang seakan ingin mendengar dari dekat. Ia larut oleh bunyi instrumentalia itu. Beberapa kali kepalanya mencoba melihat ke arah piano.
Ia paksa dirinya untuk bangkit, dan melangkah ke arah bunyi nada itu. Ia mendekat sekitar empat langkah, Â dan kini jelas ia melihatku. Aku selintas meliriknya. Tetap konsentrasi untuk menuntaskan lagu ini.
Dua langkah kian mendekat di sisi penyanyi. Naomi terlihat basah oleh air matanya. Keduanya juga tampak haru, serta saling berbisik. Penyanyii itu kemudian memberikan tissue pada Naomi, seraya merangkulnya.
Ia tak mengira, dan jauh sangka, aku yang memainkannya. Pengunjung kafe pun larut dengar lagu ini. Beberapa pasangan, juga saling merangkul satu sama lain. Menikmati. Hening terasa di ruang ini.
Usai itu, tepuk riuh mengganti keheningan. Dan, Naomi tetap berdiri di sisi penyanyi itu. Aku ke arahnya. Kami diselimuti rasa yang sama. Tak kuasa dilawan, kamipun sejenak berpelukan.
"Itu kesungguhan mas, pada Naomi," bisikku lirih menahan haru.
Aku pun merangkulnya kemudian ke arah meja semula.Â
Tak lama terdengar suara,"Untuk Naomi, dan mas-nya yang asik ini. Lagu lawas "First Love. Semoga mereka bahagia selamanya."
Ia kemudian menyanyikan lagu itu tanpa kami minta. Aku, dan Naomi lebih banyak menikmati, dan memberikan standing applaus usai itu. Tanda terima kasih kami.
Jam pulang pun sudah pas, 22.30. Aku bereskan tagihan semua. Lalu di sepanjang perjalanan itu tak ada lagi cerita masa lalu. Naomi memelukku erat, tak ragu. Dan, aku semakin berhati-hati mengendarai motor ini.
Sebagaimana pertama datang tempo hari, di kediamannya ini pun, Naomi dicegah ibunya ketika hendak masuk ke dalam. Dan ibunya juga membawa baki minuman sambil mengatakan,"sudah sana temani temanmu lagi."
Tapi ibunya sebentar saja, hanya meletakkan minuman itu, dan bilang,"terimakasih sudah membuat Naomi bahagia."
Lagi-lagi aku tak kuasa menjawab. Betapa ketulusannya ditunjukkan lewat cara yang sangat sederhana, seperti dulu juga. Tak ada yang berbeda. Naomi juga tampak terharu mendengar itu. Lalu ibunya kembali ke dalam.
"Terima kasih untuk semuanya mas,"kata Naomi lirih, dan aku menimpali dengan ucapan serupa,"terima kasih juga ya."
*****
Dua tahun kemudian, kami sudah memiliki seorang anak. Namun tiga bulan sebelum pernikahan, bapaknya meninggal dunia akibat serangan jantung. Ia telah di vonis 12 tahun penjara. Kendati begitu semasa hidupnya ia pernah minta agar aku menikahi Naomi. Sayang ia tak sempat menyaksikan pernikahan kami.
Aku, anakku, dan Naomi bahagia kemudian, dan kami menjalani hidup secara sederhana, dan bersahaja.
DIRGAHAYU RI KE-75
MERDEKA!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H