"Sikapku salah tidak, mas?"
"Tidak ada yang salah. Kamu kan dihadapi situasi yang tidak semua orang merasakan."
"Maksudnya?"
"OTT itu, lalu berita media massa, dan hidup yang dijalani sekarang. Kamu sudah paham itu semua. Malah aku memuji apa yang kamu dan ibumu lakukan sekarang. Hebat itu."
"Selama ini aku tak pernah keluar sama sekali. Baru kali ini saja. Segera dulu setelah papa di gerebek di rumah itu, dua hari kemudian aku resign dari kantor. Aku mencoba menguatkan mama selama ini. Ada sisa tabunganku, dan juga pesangon dari kantor. Lalu kami pindah."
Ia akui ia butuh sendiri ketika itu, dan sembunyi. Sembari menyiapkan rencana jalani hidup kelak bersama ibunya. Ia pun mengakui ketika jumpa denganku di warungnya seperti tidak percaya. Aku cuma bisa timpali bahwa itu semua skenario Tuhan. Juga sedikit keterangan pembantu di samping rumahnya dulu sebagai ikhtiar aku untuk mencarinya. Â Â
Hening seketika di tengah lagu-lagu yang lembut, dan meromantisir situasi aku, dan Naomi. Seperti ada sesuatu yang lepas yang menyumbatku selama ini. Juga Naomi. Â Akupun punya keberanian untuk mengutarakan isi hati, dan sudah kukatakan tadi.
Naomi ragu, dan meminta kepastian kembali," mas sungguh-sungguh?"
Aku tidak menjawabnya, tapi minta izin sebentar ke belakang. Ia menuruti, dan hanya bilang jangan lama.
Iringan musik dengan piano, dan penyanyi  itu berjarak sekitar tujuh meter, terhalang agak sedikit oleh sekat partisi yang menjadi layout caf ini. Pianis memang tampak tidak terlihat dari tempat di mana kami duduk.
 Aku dekati penyanyi sebelum usai. Ketika ia tuntaskan lagu "That"s What Friends Are For", aku membisikinya untuk minta izin, baik padanya maupun pada pianis itu.