Usai subuh itu, jalan di gang rada gelap. Sementara Tejo mulai melakukan aktivitasnya, jualan nasi uduk masakan istrinya. Ia biasa jual di dekat halte bis, samping gerobak rokok. Harga nasi uduknya bukan lima ribu, tapi ia biasa jual 10 ribu sudah include telur ceplok, dan gorengan.
Ditambah, air minum teh hangat, gratis. Jadilah ia bawa jualannya itu, dengan motor bebek di belakangnya. Satu bakul penuh nasi, empat kaleng kerupuk Kong Guan, gorengan juga sambal, dan piring, gelas, tikar, dan lainnya, komplitlah. Istrinya Tinah, turut membantu semua persiapan suami tersayangnya itu.
"Nanti jam 8, aku susul mas ya di sana,"ucapnya lembut sembari cium hangat punggung lengan kanan suaminya, takzim.
Tejo meluncur tenang. Ada doa dari istri untuk usahanya itu. Semua itu dijalani dengan penuh semangat, sarat harapan, dan optimistik. Ia juga jualan tidak makan waktu banyak, paling telat jam 10 sudah selesai. Kadang laris dan tandas, tapi juga masih tersisa yang ia jual.
Dan, yang tersisa itu tidak sekalipun ia bawa kembali ke rumah. Acapkali ia berikan pada petugas kebersihan di sekitar tempatnya berdagang, atau ia berikan pada yang patut menerimanya.
Dan, di dekat halte itu pula ia menggelar lapaknya. Satu meja setinggi 35 cm, dan lima jojodog papan sudah melengkapi display dagangannya. Pelanggan tak perlu repot berdiri untuk makan di lapaknya.
Memang terkesan seperti lesehan, tapi nyaman dan bersih adalah prinsip usahanya itu. Tak heran, mulai dari anak sekolah sampai pekerja kantoran meriung di lapaknya untuk sarapan pagi.Â
Bangku memang dirasa kurang, tapi ia juga melengkapinya dengan tikar di situ. Namun begitu soal meja yang ia titipkan pada mas Bahlul, yang punya gerobak rokok itu, kadang masih mengganjalnya.
Sebab mulanya meja itu dipinjamkan Bahlul padanya saat dulu ia baru merintis usahanya ini. Tapi belakangan, ia tidak enak hati. Istrinya Bahlul yang pendek, dan gemuk itu seringkali cemberut jika Tejo mengembalikan mejanya di samping gerobak usai berniaga.
Di hari itu, matahari juga belum menampakkan sinarnya, Bahlul yang tampak kucel, menghampiri Tejo saat hendak mengangkat meja. Dia bilang, mejanya nanti habis dagang jangan dikembalikan lagi di samping gerobak. Tapi kalau mau, dibawa saja, dengan imbalan sepantasnya.
Tejo hanya mengangguk, mengerti tanpa perlu membalasnya lagi. Karena ia sudah pastikan suatu saat pasti soal meja akan juga dipersoalkan. Kalau soal laris dagangnya ia sudah tahan nafas, dan tutup kuping. Istrinya Bahlul punya rohani, isinya iri dan dengki saja. Apalagi jika Tinah ada, cemberut di wajahnya itu persis seperti buntelan baju butut.
Karenanya untuk tidak mengganggu fokus usahanya itu, soal remeh temeh semacam meja bisa ia singkirkan sementara. Paling tidak ia sudah ada niat untuk membayar meja itu sebagai imbalannya selama ia dagang. Tentu tidak untuk dibawa pulang meja itu. "Untuk apa?"Pasti repot nantinya.
Belum lagi soal pungutan liar dari orang yang merasa punya wilayah. 10 ribu itu keharusan, juga sebungkus nasi uduk yang dimintanya gratis. Tapi bagi Tejo itu lumrah, namanya juga lapak liar. Ia juga sudah hati-hati, jika suatu saat tempat usahanya ini dilarang oleh pemerintah daerah cq kecamatan atau kelurahan, terus hingga ke RT.
Jam enam kurang lebih, ia sudah dihampiri oleh  dua anak sekolah lanjutan. Pesan nasi, lalu melahapnya senang. Nikmat rasanya, kata mereka. Saat kenyang dan membayar dua puluh ribu berdua, Tejo kembalikan lagi 10 ribunya.
"Kok sering dikembalikan sih, pak?Kan emang segitu harganya."
"Iya, tidak apa-apa nak. Kalian kan masih sekolah. Lumayan itu untuk jajan tambahan di sekolahnya,"sering Tejo menjawab demikian, dan langganannya itu juga riang.
Tejo tahu persis, sebab ia juga punya anak yang masih sekolah. Keadaan demikian tentu sama saja. Orang tua anak itu barangkali belum sempat menyiapkan sarapannya, makanya selalu disiapkan uang untuk menambah energy ke sekolah, agar tidak ngantuk selama jam pelajaran.
Namun sebaliknya, tidak untuk pekerja kantoran. Ada beberapa langganannya yang kerap membayar lebih dari yang ia makan. Kata mereka itu harga yang pantas untuk rasa masakannya.
 Malah Silvia, seorang ibu muda, cantik, dan ramah yang bekerja di suatu bank BUMN sering minta dibungkus. Kadang tiga atau empat untuk koleganya di kantor. Sebab katanya masakan istri bapak setara yang biasa ia makan di rumah makan.
"Ini bener lho, pak. Kok rasanya enak sekali nasi uduk ini. Kapan waktu saya mau mampir ya ke rumah bapak. Minta resep masakan dari ibu,"katanya senang. Dan Tejo tak sungkan memberikan nomor hp.nya untuk wanita itu.
Begitu juga dengan orang yang sedang ada di halte. Kadang sambil nunggu bis, atau kendaraan jemputan senantiasa mampir membeli sebungkus nasinya untuk dibawa ke kantor atau ke rumah. Dan, itu sudah sering demikian.
Pendek kata, Tejo sudah dikenal sebagai pedagang nasi uduk di dekat halte yang rasanya tidak kalah dengan menu di rumah makan.Praktis selama melayani pembeli di pagi itu tidak ada halangan. Hingga Tinah di pukul delapan sudah menghampirinya untuk mendampingi suaminya itu.
"Sudah mas, istirahat saja. Biar saya yang melayani pembeli,"ucapnya.
Tejo tersenyum, dan ia hanya membantu sekadarnya. Sebagaimana biasa Tinah yang murah senyum, dan cantik wajahnya dibungkus hijab, terkesan bukan seperti penjual nasi uduk. Ia mirip orang terpelajar.
Paling tidak itu diperlihatkan tatkala melayani pembeli, maupun bertutur kata. Selalu teduh jika ia berucap, dan itu yang juga pelanggannya senang, dan merasa tenang bila Tinah melayani mereka.
Jika pun ada yang menggoda, Tinah hanya merespon dengan tutur kata yang membuat mereka menjadi malu, dan salah tingkah. Dan, Tejo juga tidak perlu turun tangan sedemikian rupa. Biasanya ia hanya tersenyum saja kala ada godaan pada istrinya itu hingga dibalas dengan ucapannya yang ia dengar.
"Mas mau makan apa menggoda, hayo?? Kalau menggoda itu suami saya!"Begitu Tinah membalasnya dengan senyum.
Biasanya kalau sudah demikian, pelanggan itu jadi respek, dan menghargai sekali apa yang dilakukan Tinah. Dan, barangkali hal demikian menjadi pelajaran bagi mereka untuk dibawa pulang, dan selanjutnya merefresh cara bersikap istri mereka di rumah.
Tapi istrinya, Bahlul, kebalikannya. Bukannya senang malah emosian. Padahal antara usaha mereka itu tidak ada kaitannya sama sekali. Justru diuntungkan. Sebab pelanggan nasi uduk usai makan, selalu beli rokok atau minuman dingin padanya. Ini yang membuat Tinah juga merasa tidak nyaman. Apalagi mejanya itu meja pinjaman pula.
"Mejanya itu sudah diminta lagi ya, mas?Tanya Tinah.
"Tidak diminta, tapi malah disuruh bawa, dengan imbalan juga. Soal meja sih sudah aku putuskan tidak dibawa biar dibayar saja. Hitung-hitung sewa,"Jawab Tejo ringan dan tersenyum pada istrinya. Tinah tidak perlu membalasnya. Cukup ucapan suaminya itu sudah mewakili apa yang ada dibenaknya.
"Eh Tinah, kalau dagang itu pake modal. Dari dulu meja dipinjam, tapi gak bayar-bayar?!Seloroh istrinya Bahlul ujug-ujug mendekati Tinah yang sedang mencuci piring, dan gelasnya.
Tinah menoleh, dan berdiri menghadapinya. Ia bilang sudah mengerti hal itu, dan tidak perlu diributkan. Nanti dibayar usai dagang. Sekalian ia minta maaf selama ini merepotkan. Istrinya Bahlul cuma melengos mendengar itu, dan kembali lagi ke gerobaknya. Tejo juga ringan saja tidak kuatir dengan istrinya itu.
Saat usai dagang itu, Jam 9 pagi, Tejo menghampiri Bahlul seraya menempatkan meja di dekat gerobak, dan bilang.
 "Ini mas uangnya 750 ribu. Hitung-hitung sewa meja selama ini. Terima ya mas. Dan, meja tidak perlu saya bawa. Biar saja itu kan punya mas."
"Saya jadi gak enak sama mas Tejo ini. Sebenarnya bukan kemauan saya, tapi istri saya itu marah-marah terus. Saya juga belum tahu apa nanti bisa dipakai mas lagi atau tidak,"jawab Bahlul tidak enak hati. Â
"Gak usah mas, biar nanti saya yang pikirkan soal meja itu. Terima kasih ya,"ujar Tejo lagi, lalu meninggalkannya.
Bahlul tampak tidak nyaman, tapi istrinya senang bukan kepalang. Uang yang dipegang Bahlul, cepat direbutnya seraya bilang,"gitu dong, mana ada yang gratis di Jakarta sini. Ke kakus aja udah naik jadi tiga ribu!!"
Tejo dan Tinah sudah tidak mendengar ucapan itu. Namun suaminya, Bahlul yang kenyang dengan mulut istrinya, tiap saat malah.
***
Sedang persiapan untuk membawa pulang perlengkapan dagangnya itu, Tinah dan Tejo terkejut. Beberapa pelapak yang ada di sekitarnya, berhamburan lari. Sebab ada petugas tramtib datang. Juga Bahlul, dan istrinya panik.
Tejo dan Tinah sudah mengikat perlengkapannya itu di motor, dan hendak dibawa oleh Tejo namun dua orang petugas menyergap, dan menahannya. Sementara Bahlul dan istrinya bertahan mati-matian. Segala macam omongan yang bersumber dari ragunan dikeluarkan istrinya, seraya meraung-raung kencang.
Gerobak terus saja ditarik petugas, padahal sudah diingatkan petugas supaya barangnya dikeluarkan. Bahlul sudah setuju, tapi istrinya seperti kesetanan. Ia lawan sekuat yang ia bisa. Ia teriak sekuat ia punya suara, dan memancing orang untuk melihatnya.
Tapi karena tugas, dan wilayah ini sesuai peraturan yang baru harus bersih dari pelapak, maka tidak ada artinya untuk melawan. Walhasil gerobak itu diangkut, dan istrinya Bahlul ngedeprok sembari sesunggukkan di jalanan.
Tejo, dan Tinah tidak bereaksi. Mereka paham aturan, dan mengerti yang petugas perbuat. Makanya enteng saja buat mereka untuk tidak perlu meresponnya dengan giat segala macam. Cukup mendengar apa yang dikatakan petugas, mereka manut.
Karenanya tanpa airmata ataupun tangisan sebagaimana perempuan umumnya di situasi demikian, Tinah hanya berharap motor suaminya dikembalikan, juga semua perlengkapan usahanya. Petugas itu juga mengerti, malah menyanggupi, dan bilang, semuanya aman bila sudah diselesaikan di kantor tramtib. Dan, itu dilakukan petugas dengan mencatat identitas Tejo, dan barangnya.
Usai diangkut semuanya itu, Tejo, dan Tinah menghampiri Bahlul, dan istrinya hendak mengajaknya untuk ke kantor tramtib. Namun ajakan itu disambut istrinya Bahlul, dengan sumpah serapah.
"Gara-gara elu nih Tinah, dagangan gue ancur!!
Mendengar itu Tinah diam, dan digandeng Tejo untuk tinggalkan tempat itu. Berdua mereka menuju kantor tramtib. Di sana rupanya sudah antri orang yang mengambil barang usahanya. Segala macam dagangan ada, dan tindak serentak ini dilakukan di satu kecamatan di mana mereka menggelar lapaknya. Satu-satu mereka dipanggil. Dan, kini giliran Tejo.
Ia datangi di mana ia dipanggil. Saat petugas meneliti catatan barangnya itu, dan Tejo juga memverifikasi, kala itu ada tepukan di punggung yang ia rasakan. Sementara petugas yang ada dihadapannya, tiba-tiba berdiri tegap. Tejo menoleh, dan tidak mengenali siapa yang menepuknya. Setidaknya orang ini disegani di kantor sini.
"Mas Tejo kan?Tanyanya sembari tersenyum lebar.
"Iya, pak. Saya Tejo,"jawabnya sopan masih tidak mengenali.
Jawaban Tejo itu rupanya membuatnya tertawa nyaris keras. Orang ini kemudian membuka kacamata hitamnya, dan topi yang ia kenakan. Lalu masih tertawa lebar. Baru Tejo mengenali.
"Gilang, ini!Ya ampun rupanya kamu."
Mereka pun berpelukan satu sama lain. Petugas yang berada di dekatnya segera bergegas tanpa diperintah, mencari barang yang dipunyai Tejo untuk kemudian ditempatkan di luar menjadi satu. Motor, dan keperluan dagangnya. Masih di ruang itu mereka bicara singkat, kemudian Tejo menggandengnya untuk dikenalkan pada istrinya, Tinah.
"Dek, siapa ini?Masih kenal ndak?Tanya Tejo pada istrinya, sementara Gilang tersenyum lebar juga.
"Gilang, bukan mas?Jawabnya, dan Gilang juga tertawa geli melihat ekspresi Tinah.
Mereka karib sekali. Gilang sangat senang berada di antara mereka. Â Orang baik, dengan prestasi yang baik pula. Ketika di lembaga pendidikan dulu, Tejo satu tingkat di atas Gilang. Tapi soal prestasi Karate, Tejo juaranya. Dan, Gilang belajar banyak darinya. Begitu juga Tinah.
Maka tak heran jika Gilang sangat beruntung berkarib dengan mereka. Hanya saja jalan hidup mereka berbeda. Tapi menilik apa yang dilakukan Tejo, Gilang terkejut. Bahkan tidak menyangka semua yang dikisahkan Tejo akhirnya. Hingga berada di kantor tramtib ini.
"Saya Camat di sini, mas!Kata Gilang menerangkan posisinya sekarang. Seterusnya tidak terlalu lama mereka bicara, dan Gilang pun mengantar Tejo untuk kembali membawa barangnya usai semua administrasi dipenuhi.
Sementara Tinah pamit untuk naik ojek ke kediamannya. Gilang menaruh hormat pada Tejo, dan Tinah. Mereka orang cerdas, dan berprestasi pula. Idealismenya tak pernah luntur, persis sama sebagaimana masa kuliah dan aktivitasnya dulu.
***
Sudah tiga hari wilayah itu bersih dari pelapak. Dan, di pagi Jum'at itu pula, Silvia heran. Biasanya ada penjual nasi uduk langganannya, tapi kali ini bersih di dekat halte sini. Sementara selama waktu itu pula ia tugas keluar kota, tidak mengetahui apa yang terjadi.
Ia kemudian ingat nomor hp yang diterimanya tempo hari itu. Lalu menelponnya, dan dari ujung telpon sana mengiyakan, sekaligus memberikan alamat yang diminta Silvia. Esoknya Silvia ditemani senior rekan kerjanya, Indah mengunjungi kediaman Tejo, dan Tinah.
Rumah sederhana, dan tidak luas, hanya ada bunga bakung di halaman yang tidak luas juga, mereka mengetuk pintu, dan mengucap salam. Tejo menyambutnya di muka pintu, dan memintanya masuk. Di ruang tamu itu mereka duduk, dan sesekali melihat pajangan foto keluarga. Indah memperhatikan dengan seksama foto perempuan di sisi Tejo. Ia merasa kenal dekat dengan perempuan itu.
 Pikirnya, itu pasti Hartinah Prameswari. Pasti!!
Silvia heran dan terkejut melihat sikap Indah yang terlihat matanya berkaca-kaca tatkala melihat foto pernikahan mereka itu.
"Mbak, kenapa?"
"Oh gak apa-apa aku Vie,"timpalnya seraya melepas kacamatanya untuk mengusap tetes air matanya.
Indah selanjutnya duduk di sisi rekannya itu, kemudian bicara singkat pada Silvia.
"Aku seperti kenal sekali dengan ibu di foto itu."
Tidak berapa lama, Tejo pun keluar diringi Tinah di belakangnya. Dan ia memperkenalkan istrinya itu pada mereka. Namun sesaat saja, Indah menubruk Tinah dan memeluknya erat. Tinah juga demikian menguatkan pelukan itu penuh haru, kala Indah tak kuasa menahan tangis harunya.
Tinah sangat mengenali, juga Indah. Sementara Tejo, dan Silvia heran, melihat polah mereka berdua. Usai drama itu, Tinah memberi salam pada Silvia yang tidak menyangka, Indah seniornya di kantor kenal dekat dengan Tinah.
Kata Silvia,"bapak ini gak pernah bilang punya istri cantik di rumah. Juga gak pernah bilang suka ke halte itu kalau jam delapan. Makanya saya tidak tahu!"
Tejo hanya tersenyum. Dan, Tinah menjelaskan akhirnya, ia dulu juga karyawati sebagaimana Indah. Hanya saja dulu ada persoalan yang membuatnya harus rela keluar dari kantor di daerah sana itu. Indah mengangguk, dan dalam hatinya berbisik, semua yang dilakukan Tinah adalah untuk membela dirinya. Tapi ia tidak ceritakan, cukup Tinah dan dirinya yang tahu soal itu.
Silvia pun tertegun akhirnya. Tidak menyangka. Soal nasi uduk membawanya pada tali persahabatan yang kembali menguat setelah sekian waktu tidak ada jejak di antara mereka.
"Jadi gimana mbak Indah soal nasi uduknya?"Tanya Silvia pada Indah, sementara Tinah dan Tejo tersenyum mendengarnya.
"Gini Vie, aku kok jadi malu untuk beli nasi uduknya. Lebih bagus lagi aku gak beli. Tapi aku mau bikin restoran saja yang ada menu ini. Biar sahabatku ini yang buat. Setuju ya mbak ayu?!Kata Indah yang tentu tidak perlu lagi minta persetujuan Tinah. Ia sudah yakin dengan apa yang dilakukan Tinah sahabatnya ini. Tinah hanya tersenyum, dan juga memastikan semoga niatnya itu cepat terwujud.
Dan, memang rumah makan dengan menu nasi uduk di antaranya itu tersohor kemudian. Siapa sangka juga persahabatan yang tulus dari Tinah maupun Tejo lakukan dulu itu  berbuah manis saat ini. Benar sebagaimana kata bijak, "Seorang sahabat yang mengerti air mata kamu jauh lebih berharga daripada banyak sahabat yang hanya tahu senyum kamu."
Sekian, dan salam persahabatan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H