Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tetes Haru Air Mata Persahabatan

25 September 2019   00:57 Diperbarui: 27 September 2019   15:27 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karenanya untuk tidak mengganggu fokus usahanya itu, soal remeh temeh semacam meja bisa ia singkirkan sementara. Paling tidak ia sudah ada niat untuk membayar meja itu sebagai imbalannya selama ia dagang. Tentu tidak untuk dibawa pulang meja itu. "Untuk apa?"Pasti repot nantinya.

Belum lagi soal pungutan liar dari orang yang merasa punya wilayah. 10 ribu itu keharusan, juga sebungkus nasi uduk yang dimintanya gratis. Tapi bagi Tejo itu lumrah, namanya juga lapak liar. Ia juga sudah hati-hati, jika suatu saat tempat usahanya ini dilarang oleh pemerintah daerah cq kecamatan atau kelurahan, terus hingga ke RT.

Jam enam kurang lebih, ia sudah dihampiri oleh  dua anak sekolah lanjutan. Pesan nasi, lalu melahapnya senang. Nikmat rasanya, kata mereka. Saat kenyang dan membayar dua puluh ribu berdua, Tejo kembalikan lagi 10 ribunya.

"Kok sering dikembalikan sih, pak?Kan emang segitu harganya."

"Iya, tidak apa-apa nak. Kalian kan masih sekolah. Lumayan itu untuk jajan tambahan di sekolahnya,"sering Tejo menjawab demikian, dan langganannya itu juga riang.

Tejo tahu persis, sebab ia juga punya anak yang masih sekolah. Keadaan demikian tentu sama saja. Orang tua anak itu barangkali belum sempat menyiapkan sarapannya, makanya selalu disiapkan uang untuk menambah energy ke sekolah, agar tidak ngantuk selama jam pelajaran.

Namun sebaliknya, tidak untuk pekerja kantoran. Ada beberapa langganannya yang kerap membayar lebih dari yang ia makan. Kata mereka itu harga yang pantas untuk rasa masakannya.

 Malah Silvia, seorang ibu muda, cantik, dan ramah yang bekerja di suatu bank BUMN sering minta dibungkus. Kadang tiga atau empat untuk koleganya di kantor. Sebab katanya masakan istri bapak setara yang biasa ia makan di rumah makan.

"Ini bener lho, pak. Kok rasanya enak sekali nasi uduk ini. Kapan waktu saya mau mampir ya ke rumah bapak. Minta resep masakan dari ibu,"katanya senang. Dan Tejo tak sungkan memberikan nomor hp.nya untuk wanita itu.

Begitu juga dengan orang yang sedang ada di halte. Kadang sambil nunggu bis, atau kendaraan jemputan senantiasa mampir membeli sebungkus nasinya untuk dibawa ke kantor atau ke rumah. Dan, itu sudah sering demikian.

Pendek kata, Tejo sudah dikenal sebagai pedagang nasi uduk di dekat halte yang rasanya tidak kalah dengan menu di rumah makan.Praktis selama melayani pembeli di pagi itu tidak ada halangan. Hingga Tinah di pukul delapan sudah menghampirinya untuk mendampingi suaminya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun