Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tetes Haru Air Mata Persahabatan

25 September 2019   00:57 Diperbarui: 27 September 2019   15:27 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sudah mas, istirahat saja. Biar saya yang melayani pembeli,"ucapnya.

Tejo tersenyum, dan ia hanya membantu sekadarnya. Sebagaimana biasa Tinah yang murah senyum, dan cantik wajahnya dibungkus hijab, terkesan bukan seperti penjual nasi uduk. Ia mirip orang terpelajar.

Paling tidak itu diperlihatkan tatkala melayani pembeli, maupun bertutur kata. Selalu teduh jika ia berucap, dan itu yang juga pelanggannya senang, dan merasa tenang bila Tinah melayani mereka.

Jika pun ada yang menggoda, Tinah hanya merespon dengan tutur kata yang membuat mereka menjadi malu, dan salah tingkah. Dan, Tejo juga tidak perlu turun tangan sedemikian rupa. Biasanya ia hanya tersenyum saja kala ada godaan pada istrinya itu hingga dibalas dengan ucapannya yang ia dengar.

"Mas mau makan apa menggoda, hayo?? Kalau menggoda itu suami saya!"Begitu Tinah membalasnya dengan senyum.

Biasanya kalau sudah demikian, pelanggan itu jadi respek, dan menghargai sekali apa yang dilakukan Tinah. Dan, barangkali hal demikian menjadi pelajaran bagi mereka untuk dibawa pulang, dan selanjutnya merefresh cara bersikap istri mereka di rumah.

Tapi istrinya, Bahlul, kebalikannya. Bukannya senang malah emosian. Padahal antara usaha mereka itu tidak ada kaitannya sama sekali. Justru diuntungkan. Sebab pelanggan nasi uduk usai makan, selalu beli rokok atau minuman dingin padanya. Ini yang membuat Tinah juga merasa tidak nyaman. Apalagi mejanya itu meja pinjaman pula.

"Mejanya itu sudah diminta lagi ya, mas?Tanya Tinah.

"Tidak diminta, tapi malah disuruh bawa, dengan imbalan juga. Soal meja sih sudah aku putuskan tidak dibawa biar dibayar saja. Hitung-hitung sewa,"Jawab Tejo ringan dan tersenyum pada istrinya. Tinah tidak perlu membalasnya. Cukup ucapan suaminya itu sudah mewakili apa yang ada dibenaknya.

"Eh Tinah, kalau dagang itu pake modal. Dari dulu meja dipinjam, tapi gak bayar-bayar?!Seloroh istrinya Bahlul ujug-ujug mendekati Tinah yang sedang mencuci piring, dan gelasnya.

Tinah menoleh, dan berdiri menghadapinya. Ia bilang sudah mengerti hal itu, dan tidak perlu diributkan. Nanti dibayar usai dagang. Sekalian ia minta maaf selama ini merepotkan. Istrinya Bahlul cuma melengos mendengar itu, dan kembali lagi ke gerobaknya. Tejo juga ringan saja tidak kuatir dengan istrinya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun