“Mau mencari siapa, pak?”Tanya petugas itu dengan penuh selidik.
“Saya mau cari tempat untuk duduk, saya capek pak?” Jawab Badri pasrah.
“Bapak undangan,”?
“Undangan?Saya bukan undangan, tapi orang asli Kuningan.”
“Kalau begitu bapak tidak boleh ada di sini. Ayo keluar!
Petugas itu menggiringnya ke luar. Badri hanya diam, pasrah. Ia turuti kemauan petugas itu seraya menahan rasa kecewa. Wajahnya murung, dan terus pergi, lalu menjauh dari lokasi. Langkah kakinya di arahkan ke tempat di mana sepeda onthelnya di ikat tadi.
Sampai di sini, ia duduk dan bersandar pada pohon, di sisi sepeda. Udara dingin mulai menerpa. Angin terus saja berhembus yang datang dari lembah sekitar bukit. Badri menahannya dengan jaket yang ia kenakan sembari ambil sebatang rokok dari sakunya. Sesaat kemudian asap mulai membentuk bulatan dari mulutnya, namun pecah ditepis angin. Dan, batuk kecil Badri pun keluar seirama dengan musik tari.
Tapi pendengaran Badri tidak terbiasa dengan musik itu. Suara musik tari berbeda dengan biasanya.
“Mungkin Nenden sudah tampil,”pikirnya.
Ia tak beranjak. Telinganya di pasang kuat untuk nikmati bunyi musik dari kejauhan. Namun sejauh mata memandang, ia awasi langkah seorang perempuan renta menuju lokasi pertunjukan. Perempuan itu datang sendiri di malam yang dingin, tanpa sanak atau pun teman. Langkahnya cepat setengah berlari. Wajahnya samar terlihat oleh Badri. Hanya saja Badri amat kenal dengan pakaian yang dikenakannya.
“Siapa dia yang menggunakan pakaian tari topeng zaman dulu?Tanyanya pelan.